Pandangan Islam Terhadap Cinta

1/06/2010 10:16:00 PM Posted In Edit This 0 Comments »

Cinta adalah satu kata yang tidak asing lagi di telinga kita. Apalagi di kalangan remaja, karena sudah menjadi anggapan umum bahwa cinta identik dengan ungkapan rasa sepasang sejoli yang dimabuk asmara. Ada yang mengatakan cinta itu suci, cinta itu agung, cinta itu indah dan saking indahnya tak bias diungkapkan dengan kata-kata, hanya bisa dirasakan dll. Bahkan Jalaludin Rumi menggambarkan saking indahnya cinta, setan pun berubah menjadi bidadari. Yang jelas karena cinta, banyak orang yang merasa bahagia namun sebaliknya karena cinta banyak pula orang yang dibuat tersiksa dan merana. Cinta dapat membuat seseorang menjadi sangat mulia, dan cinta pula yang menjadikan seseorang menjadi sangat tercela.

Kita tahu bagaimana kecintaan Khadijah ra kepada Rasulullah saw yang rela mengorbankan apa saja yang dimilikinya dengan perasaan bahagia demi perjuangan sang kekasih yang menjadikannya mulia. Sebaliknya ada pemudi yang mengorbankan kehormatannya demi untuk menyenangkan sang kekasih yang dia lakukan atas nama cinta. Atau ada remaja yang menghabiskan nyawanya dengan baygon hanya karena cinta. Cinta yang demikian yang membawanya kepada kehinaan.

Lalu, apa sebenarnya makna daripada cinta? Benarkah cinta hanyalah sepenggal kata namun mengandung sejuta makna? Atau pendapat para filosof bahwa makna cinta tergantung siapa yang memandang? Rupanya tepat seperti uangkapan Ibnu Qayyim Al Jauziah tentang cinta, bahwasanya, “Tidak ada batasan tentang cinta yang lebih jelas daripada kata cinta itu sendiri.”

Ada pun kata cinta itu sendiri secara bahasa adalah kecenderungan atau
keberpihakan. Bertolak dari sini cinta dapat didefinisikan sebagai sebuah gejolak jiwa dimana hati mempunyai kecenderungan yang kuat terhadap apa yang disenanginya sehingga membuat untuk tetap mengangankannya, menyebut namanya, rela berkorban atasnya dan menerima dengan segenap hati apa adanya dari yang dicintainya serasa kurang sekalipun, dan ia tumpahkan dengan kata-kata dan perbuatan.


Pandangan Islam terhadap Cinta

Cinta dalam pandangan Islam adalah suatu hal yang sakral. Islam adalah agama fitrah, sedang cinta itu sendiri adalah fitrah kemanusiaan. Allah telah menanamkan perasaan cinta yang tumbuh di hati manusia. Islam tidak pula melarang seseorang untuk dicintai dan mencintai, bahkan Rasulullan menganjurkan agar cinta tersebut diutarakan.

“Apabila seseorang mencintai saudaranya maka hendaklah ia memberitahu bahwa ia mencintainya.” (HR Abu Daud dan At-Tirmidzy).

Seorang muslim dan muslimah tidak dilarang untuk saling mencintai, bahkan dianjurkan agar mendapat keutamaan-keutamaan. Islam tidak membelenggu cinta,karena itu Islam menyediakan penyaluran untuk itu (misalnya lembaga pernikahan)dimana sepasang manusia diberikan kebebasan untuk bercinta.

“Dan di antara tanda-tanda kekuasaan-Nya, Dia menciptakan untukmu
pasangan-pasangan dari jenismu sendiri, supaya kamu cenderung dan merasa tentram kepadanya dan dijadikan-Nya di antaramu rasa cinta dan kasih sayang,…”(Ar-Ruum: 21)

Ayat di atas merupakan jaminan bahwa cinta dan kasih sayang akan Allah
tumbuhkan dalam hati pasangan yang bersatu karena Allah (setelah menikah). Jadi tak perlu menunggu “jatuh cinta dulu” baru berani menikah, atau pacaran dulu baru menikah sehingga yang menyatukan adalah si syetan durjana (na’udzubillahi min zalik). Jadi Islam jelas memberikan batasan-batasan, sehingga nantinya tidak timbul fenomena kerusakan pergaulan di masyarakat.

Dalam Islam ada peringkat-peringkat cinta, siapa yang harus didahulukan/diutamakan dan siapa/apa yang harus diakhirkan. Tidak boleh kita menyetarakan semuanya.

“Dan di antara manusia ada orang yang menyembah tandingan-tandingan selain Allah; Mereka mencintainya sebagaimana mereka mencintai Allah. Adapun orang-orang beriman amat sangat cintanya kepada Allah…” (Al-Baqarah: 165)

Menurut Syaikh Ibnul Qayyim, seorang ulama di abad ke-7, ada enam peringkat cinta (maratibul-mahabah), yaitu:
1) Peringkat ke-1 dan yang paling tinggi/paling agung adalah tatayyum, yang merupakan hak Allah semata.
“Sesungguhnya shalatku, ibadahku, hidupku dan matiku hanya untuk Rabbul
‘alamiin.”
“Dan orang-orang yang beriman amat sangat cintanya kepada Allah (S.2: 165)
Jadi ungkapan-ungkapan seperti: “Kau selalu di hatiku, bersemi di dalam qalbu”
atau “Kusebutkan namamu di setiap detak jantungku,” “Cintaku hanya untukmu,” dll selayaknya ditujukan kepada Allah. Karena Dialah yang memberikan kita segala nikmat/kebaikan sejak kita dilahirkan, bahkan sejak dalam rahim ibu… Jangan terbalik, baru dikasih secuil cinta dan kenikmatan sama si ‘do’i’ kita sudah mau menyerahkan jiwa raga kepadanya yang merupakan hak Allah. Lupa kepada Pemberi Nikmat, “Maka nikmat apa saja yang ada pada kalian, maka itu semua dari
Allah (S. 2: 165).
2) Peringkat ke-2; ‘isyk yang hanya merupakan hak Rasulullah saw.
Cinta yang melahirkan sikap hormat, patuh, ingin selalu membelanya, ingin mengikutinya,mencontohnya, dll, namun bukan untuk menghambakan diri kepadanya.
“Katakanlah jika kalian cinta kepada Allah, maka ikutilah aku (Nabi saw) maka Allah mencintai kalian dan mengampuni dosa-dosa kalian.” (Ali Imran: 31)
3) Peringkat ke-3; syauq yaitu cinta antara mukmin dengan mukmin lainnya. Antara suami istri, anatar orang tua dan anak, yang membuahkan rasa mawaddah wa rahmah.
4) Peringkat ke-4; shababah yaitu cinta sesama muslim yang melahirkan ukhuwah Islamiyah.
5) Peringkat ke-5; ‘ithf (simpati) yang ditujukan kepada sesama manusia.Rasa simpati ini melahirkan kecenderungan untuk menyelamatkan manusia, berdakwah, dll.
6) Peringkat ke-6 adalah cinta yang paling rendah dan sederhana, yaitu cinta/keinginan kepada selain manusia: harta benda. Namun keinginan ini sebatas intifa’ (pendayagunaan/pemanfaatan).

Jangan Biarkan Umur Berlalu Tanpa Amal

1/05/2010 08:52:00 AM Posted In , Edit This 0 Comments »

Sumber : Matan al-Hikam Syaikh Ibnu ‘Athaillah Al-Sukandari

Firman Allah Ta’ala:
“Dialah yang menciptakan kamu dari tanah, kemudian dari (setitis) air benih, kemudian dari sebuku darah beku, kemudian dari seketul daging; kemudian Dia mengeluarkan kamu berupa kanak-kanak; kemudian kamu (dipelihara) hingga sampai ke peringkat umur dewasa; kemudian kamu (dipanjangkan umur) hingga sampai menjadi tua dan (dalam pada itu) ada di antara kamu yang dimatikan sebelum itu. (Allah melakukan kejadian yang demikian) supaya kamu sampai ke masa yang ditentukan (untuk menerima balasan) dan supaya kamu memahami (hikmat-hikmat kejadian itu dan kekuasaan Tuhan).” (Surah Al-Mu’min : 67)
Syaikh Ibnu ‘Athaillah mengatakan:
“Apa yang telah luput daripada umurmu itu tidak akan ada ganti baginya. Dan apa yang telah berjaya bagimu daripada umurmu itu, tidak ternilai harganya.”
Usia manusia bagaikan awan yang berlalu. Sekali melintas maka selama-lamanya dia tidak pernah kembali. Oleh yang demikian, selagi hayat dikandung badan dan selagi kita mempunyai kesempatan, maka gunakanlah umur yang demikian amat berharga itu untuk melakukan dan mengumpulkan amal kebajikan sebanyak-banyaknya.
Sungguh rugi seseorang manusia yang tidak menggunakan usianya dengan baik. Kesempatan itu hanya datang sekali, selepas itu kita akan dihadapkan kepada Allah Ta’ala untuk mempertanggungjawabkan segala sesuatu yang telah lakukan selama hidup di dunia ini.
Perhatikanlah firman Allah Ta’ala, yang berbunyi:
Terjemahan: “Demi masa. Sesungguhnya manusia berada dalam kerugian. Kecuali orang-orang yang beriman dan beramal salih dan memberi nasihat dengan kebenaran dan memberi nasihat dengan kesabaran.” (Surah Al-’Asr : 1-3)
Begitu pentingnya masa (usia) itu, hinggakan Allah bersumpah dengannya. Sehubungan dengan hal ini, Imam Syafi’i pernah mengatakan:
“Jika sekiranya Al-Quran itu terdiri daripada satu surah saja, maka surah Al-’Asr sudah cukup untuk menjadi pedoman kehidupan manusia.”
Adapun mutiara yang dapat kita raih adalah sebagai berikut:
• Iman sebagai landasan hidup
Semenjak kecil, kita sudah diajar dan disuruh untuk menghafal rukun Iman yang enam, yakni percaya kepada Allah, percaya kepada malaikat-Nya, percaya kepada kitab-kitab-Nya, percaya kepada Rasul-Nya, percaya kepada hari kiamat dan percaya kepada qada’ dan qadar daripada Allah.
Bagaimanapun, rukun iman itu tidak memadai kalau hanya dihafal saja. Tetapi hendaklah ia diresapkan ke dalam hati kemudian dibuktikan dengan amal perbuatan.
Renungkan firman Allah Ta’ala:
“Tidakkah engkau melihat bagaimana Allah mengemukakan satu perbandingan, iaitu kalimah yang baik adalah sebagai sebatang pohon yang baik, yang akar tunjangnya tetap teguh, dan cabang pucuknya menjulang ke langit. Ia mengeluarkan buahnya pada setiap masa dengan izin Tuhannya. Dan Allah membuat perbandingan itu untuk manusia, supaya mereka beringat. Dan perbandingan kalimah yang buruk seperti pohon yang tidak berguna yang terjungkit akar-akarnya dari bumi; tidak ada tapak baginya untuk tetap hidup. Allah menetapkan pendirian orang yang beriman dengan kalimah yang tetap teguh dalam kehidupan dunia dan akhirat; dan Allah menyesatkan orang yang berlaku zalim; dan Allah berkuasa melakukan apa yang dikehendaki-Nya.” (Surah Ibrahim : 24-27)
Iman sebagai landasan hidup, adalah bagaikan sebatang pohon yang akarnya menghunjam ke dalam bumi, berdaun rendang (rimbun), berbuah lebat dan batangnya tegak dengan kukuhnya. Pohon seperti ini tidak akan tumbang walaupun dilanda oleh angin kencang. Daunnya yang rendang dijadikan tempat berteduh, batangnya dijadikan tempat bersandar dan buahnya untuk dimakan. Secara keseluruhannya, pohon itu mendatangkan manfaat yang amat besar kepada manusia.
Demikian juga dengan iman. Sebagai seorang yang beriman, hendaknya kita tidak mudah terumbang ambing oleh sebarang keadaan, yang sekaligus mendatangkan keberkatan dan manfaat kepada manusia.
• Mengerjakan amal salih
Menurut ajaran Islam, amal salih itu amat luas sekali. Bahkan segala sesuatu yang boleh mendatangkan kebaikan apabila dikerjakan (menurut syariat Al-Quran dan Sunnah), baik untuk diri sendiri, ahli keluarga mahupun orang lain, adalah tergolong dalam amal salih.
• Saling menasihati dengan kebenaran
Di dalam Al-Quran, surah Al-Ra’d ayat 17:
“Ia menurunkan air dari langit, lalu membanjiri tanah-tanah lembah menurut kadarnya, kemudian banjir itu membawa buih yang mengembang. Dan dari apa yang dibakar di dalam api untuk dijadikan barang perhiasan atau perkakasan, juga timbul buih seperti itu. Demikianlah Allah memberi misal perbandingan tentang perkara yang benar dan salah. Adapun buih itu maka akan hilang lenyaplah ia tak berharga, manakala benda-benda yang berfaedah kepada manusia maka ia tetap tinggal di bumi. Demikianlah Allah menerangkan misal perbandingan.”
Allah Ta’ala mengumpamakan kebenaran itu bagaikan air hujan dan kebatilan itu bagaikan buihnya. Maka air hujan itu akan mendatangkan manfaat yang besar bagi manusia, sedangkan buihnya akan lenyap tanpa bekas.
Oleh yang demikian, kebenaran hendaklah selalu ditegakkan, walaupun untuk melakukannya itu diperlukan perjuangan dan pengorbanan yang besar.
• Saling menasihati dengan kesabaran
Sabar adalah tahan menderita terhadap sesuatu yang tidak disenanginya, serta merasa redha terhadap segala sesuatu yang menimpa. Ikhlas dan menyerahkan diri sepenuhnya kepada ketentuan Allah setelah berikhtiar dan mengusahakan yang terbaik.
Dari penjelasan surah Al-’Asr di atas, jelaslah bagi kita bahawa orang-orang yang mengamalkan apa yang terkandung di dalamnya dengan sebaik-baiknya, akan beruntung sebesar-besarnya.
Akhirnya marilah kita renungkan pula sebuah syair para ahli hikmah berikut ini:
“Aku tangisi zaman muda yang telah pergi. Wahai kiranya muda, bilakah akan kembali lagi kepada kami? Sekiranya muda dapat dijual, maka akan ku bayar kepada penjualnya berapapun harga yang dikehendakinya. Tetapi masa muda itu, bila dia telah pergi menjauh, maka dia tidak akan kembali lagi…”