Al-Qosim Bin Muhammad Bin Abu Bakar Ash-Shiddiq (Bag 2)

8/28/2010 12:50:00 PM Posted In Edit This 0 Comments »
Menginjak remaja, cucu Abu Bakar ini telah hafal Kitabullah dan menimba hadits-hadits dari bibinya, Aisyah Rodhiallahu 'anha sebanyak yang dike hendaki Allah. Dia tekun mendatangi Al-Haram Nabawi dan duduk dalam halaqah-halaqah ilmu yang terhampar di setiap sudut-sudut masjid laksana bintang-bintang gemerlap yang bertaburan di langit yang terang.
Beliau menghadiri majlisnya Abu Hurairah, Abdullah bin Umar, Abdullah bin Abbas, Abdullah bin Zubair, Abdullah bin Ja'far, Abdullah bin Khabbab, Rafi' bin Khudaij, Aslam pembantu Umar bin Khathab dan sebagainya. Hingga pada gilirannya beliau menjadi imam mujtahid dan menjelma menjadi manusia yang paling pandai dalam hal sunnah pada zamannya, di mana ketika itu seseorang belumlah dianggap sebagai tokoh sebelum dia mendalami sunnah-sunnah Rasulullah Sholallahu 'alaihi wasallam.

Setelah sempurna perlengkapan ilmu pemuda yang merupakan cucu Abu Bakar ini, orang-orang banyak belajar kepadanya dengan penuh perhatian. Sementara beliau memberikan ilmunya tanpa pamrih atau jual mahal. Beliau tak pemah absen untuk pergi ke masjid Nabawi setiap hari lalu shalat dua rekaat tahiyatul masjid kemudian duduk di bekas tempat Umar Rodhiallahu 'anhu di Raudhah, yakni tempat antara kubur Nabi Sholallahu 'alaihi wasallam dengan mimbarnya. Selanjutnya berkumpullah murid-muridnya dari segala penjuru untuk menimba ilmu dari sumber yang segar dan bersih, melegakan jiwa-jiwa yang haus akan ilmu.

Tidak membutuhkan waktu lama, akhirnya Al-Qasim bin Muhammad dan putera bibinya, Salim bin Abdullah bin Umar, menjadi dua imam Madinah yang terpercaya. Keduanya menjadi tokoh yang ditaati dan didengar perkataannya, meskipun keduanya tidak memiliki wilayah jabatan ataupun kekuasaan. Masyarakat mengangkat keduanya kare na sifat takwa dan wara'nya. Juga karena pusaka yang berada di dalam dadanya berupa ilmu dan pemahamannya, ditambah lagi karena sifat zuhudnya terhadap apa yang dimiliki oleh manusia serta berharap banyak terhadap apa-apa yang berada di sisi Allah Subhanahu wa Ta'ala.

Martabat keduanya mencapai puncaknya hingga khalifah-khalifah Bani Umayah dan para bawahannya hormat kepadanya. Penguasa- penguasa tersebut bahkan tidak pernah memutuskan suatu masalah yang pelik kecuali setelah mendengarkan pendapat kedua ulama tersebut.

Sebagai contoh, ketika Al-Walid bin Abdul Malik berkeinginan untuk memperluas Al-Haram Nabawi yang mulia. Rencana ini tidak bisa dilaksanakan tanpa membongkar masjid yang lama pada keem pat arahnya dan menggusur rumah istri-istri Nabi Sholallahu 'alaihi wasallam untuk perluasan.

Persoalan ini rentan dengan perpecahan antara kaum muslimin dan menyakiti perasaan mereka. Mengingat hal ini, maka khalifah menulis surat kepada Umar bin Abdul Aziz, wali Madinah, yang isinya sebagai berikut:

"Saya memandang perlunya memperluas Masjid Nabawi Asy Syarif sampai 200 hasta persegi. Untuk kebutuhan ini, keempat dindingnya perlu dirobohkan dan rumah istri-istri Nabi terpaksa kena perluasan. Selain itu rumah-rumah yang ada di sekitarnya perlu dibeli dan kiblatnya dimajukan kalau bisa. Anda mampu mewujudkan hal itu, mengingat kedudukan Anda di antara paman-paman Anda adalah keturunan lbnul Khathab dan besarnya pengaruh mereka di masyarakat.

Jika penduduk Madinah menolaknya, Anda bisa minta bantuan pada Al-Qasim dan Salim bin Abdullah. Sertakan keduanya dalam rencana pemugaran dan perluasan ini. Jangan lupa, bayarlah ganti rugi rumah-rumah rakyat dengan harga setinggi mungkin. Bagi Anda pahala yang baik seperti yang dilakukan Umar bin Khathab dan Utsman bin Affan."

Dengan segera, gubernur Madinah Umar bin Abdul Aziz mengun dang Al-Qasim bin Muhammad dan Salim bin Abdullah bin Umar dan para pemuka kaum muslimin Madinah. Kepada mereka dibacakan surat perintah khalifah yang baru saja diterima. Ternyata mereka gem bira dengan apa yang direncanakan oleh Amirul Mukminin dan siap sedia untuk mendukung rencana tersebut.

Demi melihat imam-imam dan ulama mereka turun tangan sendiri melaksanakan pemugaran masjid, penduduk Madinah secara serentak turut membantu dan melaksanakan sebagaimana yang diperintahkan amirul mukminin dalam suratnya.

Di tempat lain, pasukan muslimin terus mendapatkan kemena ngan gemilang. Mereka berhasil menjatuhkan benteng-benteng mu suh di Konstantinopel dan merebut kota demi kota di bawah pimpinan komandan yang tangkas dan pemberani, Maslamah bin Abdul Malik bin Marwan. Ini adalah awal terbukanya Konstantinopel.

Kaisar Romawi mendengar rencana pemugaran dan perluasan masjid Nabawi, maka dia ingin menyenangkan dan mengambil hati Amirul Mukminin. Dikirimnya 100 kilogram emas murni disertai 100 arsitek dari Romawi dan membawa ubin-ubin marmer yang indah. Bantuan tersebut dikirimkan oleh Al-Walid kepada Umar bin Abdul Aziz. Wali Madinah ini baru mau memanfaatkannya setelah terlebih dahulu bermusyawarah dengan Al-Qasim bin Muhammad.

Alangkah miripnya Al-Qasim dengan kakeknya, Abu Bakar Ash- Shidiq Rodhiallahu 'anhu, sampai orang-orang berkomentar: "Tidak ada anak ke turunan Abu Bakar Rodhiallahu 'anhu yang lebih mirip dengan beliau dari Al-Qasim. Dia begitu serupa dalam akhlak, bentuk fisik, keteguhan iman maupun kezuhudannya..." Dan banyak sekali sikap dan perbuatannya yang membuktikan hal ini.

Sebagai contoh, ketika ada seorang dusun datang ke masjid lalu bertanya kepada beliau: "Siapakah yang lebih pandai, Anda ataukah Salim bin Abdullah?" Al-Qasim berpura-pura sibuk sehingga si penanya mengulangi pertanyaannya. Beliau menjawab: "Subhanallah."

Pertanyaan itu diulang untuk ketiga kalinya, lalu Al-Qasim ber kata: "Itu dia, Salim putera bibiku duduk di sebelah sana." Orang- orang yang di majelis itu saling berbisik: "Sungguh mirip dia dengan kakeknya. Dia tidak suka dan sangat benci untuk berkata: "Aku lebih pandai," karena hal itu berarti menyombongkan diri. Namun dia ti dak pula berkata: " Dia lebih pandai," Sebab itu berarti dusta, meng ingat sebenarnya dia lebih pandai daripada Salim.

Suatu ketika, di Mina terlihat para jama'ah haji ke Baitullah berdatangan dari segala penjuru negeri dan mereka bertanya tentang agama kepada Al-Qasim. Beliau menjawab sebatas apa yang beliau ketahui. Kepada mereka yang menanyakan masalah yang dia tidak menge tahuinya, tanpa rasa malu beliau berkata: "Aku tidak tahu ... aku tidak mengerti ... aku tidak tahu." Nampaknya orang-orang heran dan pe nasaran dengan jawaban tersebut, maka beliau menegaskan kepada mereka: "Aku tidak tahu apa yang kalian tanyakan itu. Seandainya saya tahu, tentu tidak akan aku sembunyikan. Sungguh seseorang hidup dalam keadaan bodoh -selain berma'rifah kepada hak-hak Allah- adalah lebih baik daripada seseorang mengatakan apa yang tidak dia ketahui ilmunya."

Pernah pula ketika beliau ditugaskan untuk membagikan harta sedekah kepada orang-orang yang berhak menerimanya. Maka beliau melaksanakannya sebaik mungkin dan memberikan bagian kepada yang benar-benar berhak atasnya.

Namun ada satu orang yang tidak puas dengan bagiannya dan mendatanginya di masjid: Beliau tengah melakukan shalat ketika orang itu datang dan bicara soal harta sedekah. Putera Al-Qasim yang mendengarnya dengan dongkol berkata: "Demi Allah engkau telah melem parkan tuduhan terhadap orang yang tidak sepeserpun mengambil bagian dari harta sedekah itu dan tidak makan walau sebutir kurma."

Setelah menyelesaikan shalatnya, Al-Qasim menoleh kepada puteranya seraya berkata: "Wahai puteraku, mulai hari ini janganlah engkau berbicara tentang masalah yang tidak engkau ketahui."

Orang-orang berkata: "Apa yang dikatakan anaknya memang be nar, namun beliau ingin mendidik putranya agar menjaga lidah dalam mencampuri urusan orang lain. Al-Qasim bin Muhammad hidup sampai usia 72 tahun, menjadi buta di hari tuanya. Dalam usianya yang lanjut, beliau menuju Makkah untuk naik haji, dalam perjalanan inilah beliau wafat.

Ketika beliau merasa ajalnya telah dekat, beliau berpesan kepada puteranya: "Bila aku mati, kafanilah aku dengan pakaian yang aku pakai untuk shalat. Gamisku, kainku dan surbanku. Seperti itulah kafan kakekmu, Abu Bakar Ash-Shidiq Rodhiallahu 'anhu. Kemudian ratakanlah makamku dan segera kembalilah kepada keluargamu. Jangan engkau berdiri di atas kuburanku seraya berkata: "Dia dulu begini dan begitu ... karena aku bukanlah apa-apa."

0 komentar: