Tidak Suka Bicara

8/23/2010 09:40:00 PM Posted In Edit This 0 Comments »
Oleh : Al-Habib Muhammad bin Abdurrahman Assaggaf


Segala puji bagi Allah. Shalawat dan salam semoga tercurahkan kepada Sayyidina Muhammad, beserta keluarga dan para sahabatnya. Berkata Imam Nawawi - semoga Allah merahmatinya dan memberikan kemanfaatan kepada kita dengan keberadaannya dan semua ulama.

Dari hadits yang kelima, dari Abu Hurairoh (semoga Allah meridhoinya), sesungguhnya Rasulullah SaW berkata,

“Barangsiapa beriman kepada Allah dan hari akhir, hendaklah berkata kebaikan atau diamlah. Barangsiapa beriman kepada Allah dan hari akhir, hendaklah menghormati tetangganya. Barangsiapa beriman kepada Allah dan hari akhir, hendaklah menghormati tamunya.”
(Diriwayatkan oleh Bukhari dan Muslim)

Hadits ini pada awalnya berhubungan dengan hadits yang sebelumnya dan kita sudah membacanya bahwa sesungguhnya dari sebagian kesempurnaan iman seseorang adalah meninggalkan sesuatu yang tidak ada arti/manfaatnya. Kami telah menyebutkan bahwa yang termasuk sebagian daripada sesuatu yang tidak ada artinya adalah berlebih-lebihan secara umum, dan terutama berlebih-lebihan dalam berbicara. Dan di sini Rasulullah SAW mengkhususkan dalam hal ini dengan berkata, “Barangsiapa beriman kepada Allah dan hari akhir, hendaklah berkata sesuatu yang baik atau diamlah.”

Diam dan tidak berkata apa-apa daripada sesuatu yang tidak ada artinya adalah sukuut ikhtiyaariy (diam karena pilihan kehendak sendiri). Karena manusia terkadang diam, akan tetapi itu karena bohong, sakit, lemah, atau rasa takut. Adapun yang dimaksud disini adalah sukuut ikhtiyaariy, seseorang yang mencegah lisannya daridapa berbicara. Dikatakan bahwa sesungguhnya syahwatil kalam (nafsu untuk berbicara) lebih berbahaya daripada syahwatit tho’am (nafsu untuk makan). Ini termasuk diantara syahwat yang paling berbahaya.

Di sini, sikap diam adalah termasuk sebagian daripada hikmah yang luar biasa. Demikian juga, sikap diam ini adalah termasuk haal (keadaan) sebagian besar orang-orang sholeh, dimana sesungguhnya mereka pada umumnya sedikit berbicara. Anda akan tahu hikmah pada seseorang dari lamanya dia bersikap diam. Dan sesungguhnya sikap lama tidak berbicara akan memancarkan hikmah pada hati seorang mukmin, jika ia membiasakan dirinya lama tidak berbicara, ia tidak berbicara kecuali berdzikir kepada Allah kecuali jika ada kebutuhan. Karena itu, seseorang itu selama ia tidak berbicara, maka ia berada dalam keadaan aman.

Diceritakan bahwa Nabi SAW pada malam Isra’ Mi’raj melihat seekor ular keluar dari suatu lubang dan kemudian ular itu ingin kembali ke lubang itu akan tetapi ia tidak bisa. Kemudian beliau bertanya kepada Jibril, “Apa itu wahai Jibril?.” Maka Jibril menjawab, “Itu adalah orang yang berkata dengan suatu kalimat melayang di angkasa, kemudian ia ingin mengembalikan perkataannya tadi, akan tetapi ia tidak mampu.”

Oleh karena itu, dikatakan bahwa Allah menciptakan mulut itu dengan dua penjaga. Penjaga yang pertama adalah gigi-gigi. Penjaga yang kedua adalah kedua bibir. Mulut dikunci dengan gigi-gigi dan kedua bibir. Sedangkan telinga, tidak ada di sana penjaga. Ini dimaksudkan bahwa anda hendaknya lebih banyak mendengar daripada berbicara. Sebagian manusia tidak suka mendengar. Mereka hanya suka berbicara. Cobalah anda lihat, ketika anda duduk-duduk (di perkumpulan), ada orang yang sukanya berbicara. Jika ada orang lain yang berbicara, ia tidak mau mendengar. Jika ia berbicara, ia menginginkan orang lain mendengarkan bicaranya. Ini merupakan cacat dan aib. Dan oleh karena itu, hendaklah seseorang membiasakan dirinya atas keadaan, “Barangsiapa beriman kepada Allah dan hari akhir, hendaklah berkata kebaikan atau diamlah.”

Karena sebab itu, sebagian daripada orang-orang sholeh menaruh batu di mulut mereka. Pernah suatu ketika salah seorang masyaikh (guru) sedang berbicara. Pada saat itu ada suatu masalah atau pertanyaan dan tiba-tiba salah seorang muridnya nyeletuk menjawabnya. Sang murid begitu gembira karena ia dapat menjawab masalah tersebut. Sang masyaikh berkata, “Masya Allah. Barakallah fiika wahai anak muda. Keluarlah dan ambilkan aku batu.”

Keluarlah sang murid dengan gembiranya tanpa mengira bahwa gurunya ingin memberikan pelajaran kepadanya dengan batu itu. Setelah sang murid mengambil batu itu, sang masyaikh berkata, “Cucilah batu itu.”

Setelah itu ia mencucinya dan menyerahkan ke gurunya dengan perasaan senang. Lalu sang masyaikh berkata, “Taruhlah batu itu di mulutmu.”

Hal ini untuk memberikan pelajaran agar seseorang itu belajar adab dan tidak cepat-cepat berbicara sebelum diberikan kesempatan.

Karena itu, pernah suatu saat berkumpullah para ulama, berdebat mengenai suatu masalah, dan disana ada Al-Imam Ja’far Ash-Shodiq sedang duduk bersama mereka. Disaat mereka saling berbicara dan berdebat satu sama lain, dan disitu ada Imam besar mereka, orang yang mengerti hukum di jaman itu, bahkan beliaulah pendiri ilmu figih, Al-Imam Ja’far, beliau ditanya, “Wahai Imam, mengapa engkau tidak berbicara?.”

Beliau menjawab, “Kami adalah suatu kaum yang tidak berbicara kecuali jika ditanya. Kami tidak berbicara yang tidak perlu kecuali jika kami diam, lalu ditanya suatu masalah, maka kami menjawabnya sepanjang yang kami ketahui.”

Itulah mereka ahlul adab (orang yang mempunyai adab), radhiyallohu anhum wa ardhoohum.

Itulah hikmah daripada orang-orang yang tidak suka berbicara. Dan ini adalah riyadhoh (melatih diri) daripada bentuk riyadhoh-riyadhoh yang lain. Ini juga dipraktekkan oleh orang-orang Hindu, mereka membiasakan diri mereka dan bermujahadah daripada bersikap diam dan duduk di tempat-tempat yang gelap sampai dapat menundukkan nafsu. Adakalanya bahwa di dalam diri terdapat kekuatan, sampai seseorang dapat menjatuhkan sesuatu dari jauh tanpa memukulnya. Ini karena sebab ruh mempunyai kekuatan. Akan tetapi seorang mukmin menginginkan ruhnya bersih dalam bermuamalah kepada Tuhannya Subhanahu wa Ta’ala.

Begitu juga yang terjadi pada para sahabat radhiyallohu anhum, mereka tidak berbicara kecuali dalam kebaikan. Bahkan seringkali terjadi pada orang-orang sholeh yang berkumpul pada satu tempat, mereka tidak berbicara satu sama lain pada masa yang lama. Satu sama lain berpikir karena masing-masing dari mereka sibuk dengan keadaan mereka dan kepada Tuhannya Subhanahu wa Ta’ala.

Dan berbicara mengenai diam adalah sangat panjang. Kami menunjuk pada sebagian darinya. Kesimpulannya apa yang saya sampaikan kepada kalian adalah bahwa kalian hendaklah membiasakan diri untuk tidak banyak berbicara, karena sikap suka berbicara itu ada kelezatan.

Begitu juga, sebagaimana di dalam sikap diam adakalanya terdapat kebaikan, maka adakalanya di dalam sikap berbicara itu juga terdapat kebaikan. Kami bertanya kepada guru kami Al-Habib Abdul Qodir (bin Ahmad Assaggaf) - semoga Allah memberikan kenikmatan kepada kami dengan hidupnya di dalam kebaikan dan kesehatan, “Kami kuatir daripada syahwatil kalam sewaktu mengajar kepada orang lain. Kami kuatir ini termasuk dalam syahwat, keluar daripada nafsu. Maka doakanlah kami.”

Maka beliau menjawab, “Begitu juga dalam sikap diam, terkadang juga terdapat syahwat. Sebagaimana dengan berbicara terkadang kita menginginkan suatu ketenaran, maka terkadang di dalam sikap diam kita menginginkan juga suatu ketenaran. Sehingga orang lain menilainya, 'Orang ini berwibawa.' Maka ia diam supaya orang lain menilai, memuji, melihat, dan mengagungkannya seperti itu. Dan ini semuanya tidaklah membawa kemanfaatan dan kemudharatan."

Maka jika anda ingin berbicara, berbicaralah karena Allah. Dan jika anda ingin diam, maka diamlah karena Allah. Biasakanlah dirimu karena Allah di segala keadaan.

0 komentar: