Demi Jiwa dan Penyempurnaan-Nya

1/16/2011 07:26:00 PM Posted In Edit This 0 Comments »

Apa yang dikehendakinya hancur, maka hancurlah ia, meski Allah telah berkehendak atas kejadiannya, menciptakan banyak dimensi keindahan dan menjadikan semua makhluk bergantung dan terpesona atas apa yang diciptakannya, menumbuhkan cinta yang mampu menembus waktu dan menghampiri setiap jiwa dalam persemayamannya. Maka hancur…sehancur-hancurnya, tiada kuasa yang mampu mencegahnya, tiada do’a yang bisa menawarnya dan tiada juga cinta yang mampu mengundurkannya, ketika Allah berkehendak hancur, maka hancurlah dia.
Sungguh, malang jiwa yang membelakangi bagai mana ia diciptakan, bagaimana seharusnya ia melewati dan mencapai penyempurnaannya. Jiwa yang disamarkan oleh nafsu fatamorgana, dan terhanyut oleh tipu daya dunia, yang gemerlapnya hanya sebuah pentas sementara. Jiwa yang terkunci oleh keinginan nafsu akan kemegahan, cinta semu, obsesi demi menjadi pusat dimana ia di elu-elukan dan menikmati kepuasan manakala ia mampu menciptakan keterpukauan manusia-manusia disekelilingnya.
Seharusnya dia menjadi kebanggaan dari penciptaannya, bukan hanya sebatas lakon yang harus dimainkan agar jiwa-jiwa yang lain dapat menarik pelajaran, apatah lagi jika hanya sebagai batu ujian bagi hamba-hamba Allah yang lain.
Sebagaimana fitrah kemanusiaannya, jiwa memiliki batasannya, ia bagaikan tanaman yang bergantung pada bagaimana akarnya mampu menyerap saripati dari tanah dan sinar matahari sebagai sumber hidupnya yang menyuburkan dan memberi manfaat bagi sekelilingnya. Jika saripati tanah itu tercemar, maka akar tanaman itu akan menyebar racun keseluruh pori-pori tubuhnya, hingga manfaatnya tak lagi serupa dengan tujuan awal penciptaannya. Demikianlah sifat jiwa, yang bergantung pada apa yang mengendalikannya yaitu, akal, hati nurani, panca indra, dan nafsu manusia, dimana Allah telah menjadikan empat potensi tersebut sebagai penyempurnaan awalnya. Beruntunglah bagi manusia yang menjadikan potensi itu sebagai media mensucikan jiwanya hingga sampai pada penyempurnaan utuhnya, yaitu insan kamil, manusia yang menyerap cahaya Allah (Alqur’an) dan memantulkannya pada sekeliling dirinya.
“sesungguhnya usaha kamu memang berbeda-beda.Adapun orang yang memberikan (hartanya di jalan Allah) dan bertakwa,dan membenarkan adanya pahala yang terbaik (surga),maka Kami kelak akan menyiapkan baginya jalan yang mudah.Dan adapun orang-orang yang bakhil dan merasa dirinya cukup,serta mendustakan pahala yang terbaik,maka kelak Kami akan menyiapkan baginya (jalan) yang sukar.Dan hartanya tidak bermanfaat baginya apabila ia telah binasa.Sesungguhnya kewajiban Kamilah memberi petunjuk”, QS. al-Lail (92) : 4 12
Sungguh mulia, bagi jiwa yang telah sampai pada tugas penyempurnaannya, melalui hidup dimana ujian memainkan jiwa manusia melaui cinta, harapan, obsesi, kekaguman, keinginana, dan dikali lain kesedihan, ketakutan, kelaparan, kebencian, kedengkian, ketidak puasan menjadi bagian pelengkap bagai mana jiwa dihadapkan kepada ujiannya.
Jiwa menjadi sempurna, ketika ia mampu menjadikan potensi yang diberikan oleh Allah untuk menyerap cahaya petunjuk yang secara verbal (alqur’an), maupun melalui gerak dan bentuknya ( dari langit dan bumi, serta apa yang ada diantaranya dan apa yang ada pada dirinya sendiri). Bagaikan bulan purnama yang menyerap sinar matahari memberikan keindahan di antara gelap malam yang bersekat-sekat menyembunyikan gerak hidup manusia. Dan jiwa semakin mendekati sempurnanya, manakala ia mampu menjadikan setiap objek disekitarnya sebagai wejangan hidup yang terus berganti konteksnya.
Sebagai apapun peran setiap manusia, jiwa yang bersih akan membawanya pada nilai hakiki sebagai makhluk yang dimuliakan berkat perjuangnnya melebihi makhluk-makhluk Allah lainnya. Maka ketika setiap jiwa telah sampai pada batas perannya, ketika hari penghisaban sampai pada waktunya, dimana semua yang menjadi bagian dari tempat jiwa bersemayam menjadi saksi tanpa mampu dicegah, maka bertemulah jiwa dengan takdirnya. Jiwa yang suci, yang telah dibersihkan oleh kesabaran, kerendahan hati akan pengakuan terhadap Allah yang menjadi sumber segala penciptaan, masuk dan bersemayam abadi dalam kemuliaan dan keagungan, serta terpenuhinya segala apa yang di inginkan oleh manusia dengan sifatnya. Seorang muslim yang mu’min, mengikuti keimanannya dengan rasa syukur dan kepuasan tiada terperi. Duka dan peluh selama hidup telah tunai oleh Rahimnya Allah yang tak diberi batas, jiwa yang bersemayan dalam adn, tempat dimana segala keinginan telah ada sebelum sempat terfikirkan.
Namun jauh jaraknya, bagi jiwa yang lalai dan dibiarkan terkotori oleh si empunya, wajahnya tertutupi oleh mendung ketakutan, penyesalan dan harapan yang tidak akan lagi menemukan ujungnya. Jiwa yang sepanjang hidupnya, diliputi oleh kedengkian, kesombongan. Meskipun pada akhirnya keimanan itu menyentuh juga jiwanya, membangunkan fitrahnya sebagaimana ia diciptakan pada awalnya, namun terlanjur waktu telah sampai pada ujungnya, layar pentas telah sampai pada akhir ceritanya, dunia telah putus dari masanya, dan segala keindahan yang dimilki setiap jiwa yang lalai tak ayal lagi menemui kehendakNya untuk dihancurkan, menuai kesakitan yang tak akan berujung pada kematian, mengintai waktu yang tak lagi diberi batas. Meski malaut cinta seorang hamba pada jiwa yang pernah menjadi kemilau dunia, tak akan mampu mengusik kehendak Allah dari murkanya. Ribuan do’a berakhir bagaikan tinta yang di goreskan diatas air, hanyut, lebur.
dan Allah tidak takut terhadap akibat tindakan-Nya itu.
QS. asy-Syams (91) : 15
Maka, jadikanlah shalat sebagai ikatan yang terus dijalin, disempurnakan hingga hati mampu menembus keterbatasan mata dalam menjangkau kehadiran dan kedekatannya, dan menjadikan dzikir sebagai penyambung kata disetiap helaan jiwa dari keletihannya, agar tetap terjaga kewaspadaanya. Tidaklah kurang juga, sambungkan rahmatNya dengan bersedekah dan memberi manfaat sebanyak mungkin bagi manusia lain disekitar kita, agar jiwa menjadi lembut geraknya, dan kalahkan keakuan dengan memperbaiki silaturahmi, menjadikan musuh sebagai kawan yang setia dan memelihara ikatan persaudaraan serata pertemanan dalam iktan keimanan dan ketaqwaan. Tidak hanya satu langkah, kendalikan jiwa dengan shaum sunnah demi menyempurnakan yang wajib, agar tersapih segala keinginan hawa nafsu tak terkendali, yang akan membawa jiwa pada kelemahan.
“Dan jiwa serta penyempurnaannya (ciptaannya),maka Allah mengilhamkan kepada jiwa itu (jalan) kefasikan dan ketakwaannya,sesungguhnya beruntunglah orang yang mensucikan jiwa itu,dan sesungguhnya merugilah orang yang mengotorinya” QS. asy syam 91: 7-10

0 komentar: