7 Indikator Kebahagian
4/18/2011 01:28:00 PM Posted In Amar Ma'ruf Edit This 0 Comments »Mendengar jawaban itu Rasulullah SAW hanya berkomentar begini : Kamu mau enggak aku tunjukkan doa yang lebih bagus ? Lalu kata Nabi SAW : Kenapa kamu tidak berdoa begini : Rabbanaa aatina fid dun-yaa hasanaw wa fil aakhirati hasanaw wa qinaa ‘adzaaban naar.
Cerita di atas merupakan asal usul doa tersebut, sehingga di dalam Al Qur’an surat Al-Baqarah ayat 201 ada kata-kata wa minhum yang artinya dan diantara mereka ada yang berdoa rabbanaa aatina fid dun-yaa hasanaw wa fil aakhirati hasanaw wa qinaa ‘adzaaban naar. Pengertian wa minhum disini, selain ada yang berdoa menurut Al-Qur’an tersebut, tersirat pula arti ada yang berdoa tidak seperti itu, yaitu seperti orang yang ditanya Rasulullah SAW itu tadi. Sebagian arti doa tersebut adalah: Ya Allah berilah kebahagiaan dunia. Sesungguhnya kebahagiaan dunia itu adalah sebuah konsep. Yang menjadi pertanyaan sekarang adalah, indikator kebahagiaan dunia itu apa ? Karena masing-masing orang mempunyai pendapat yang berbeda tentang kebahagiaan dunia, sehingga perlu ada kesepakatan mengenai arti dari kebahagiaan dunia itu sendiri.
Di dalam sebuah tafsir, Ibnu Abbas (Salah seorang sahabat Nabi SAW yang sangat telaten melayani Rasulullah SAW dan pernah didoakan Rasulullah SAW. Selain itu pula pada saat sembilan tahun Ibnu Abbas telah hafal Al-Quran dan telah menjadi imam di mesjid) ditanya oleh para Tabi’in mengenai apa yang dimaksud dengan kebahagiaan dunia. Jawab Ibnu Abbas ada 7 (tujuh) indikator kebahagiaan dunia, yaitu :
Pertama Qalbun syakirun atau hati yang selalu bersyukur.
Jadi kalau kita ingin bahagia di dunia, hati kita harus selalu mempunyai jiwa syukur,
artinya selalu menerima apa adanya. Apapun yang ada digenggaman kita harus disyukuri, walaupun dalam keadaan sulit. Supaya bersyukur dalam keadaan sulit Nabi SAW mengatakan: Kalau kita sedang sulit perhatikan orang yang lebih sulit dari kita.
Kedua. Al azwaju shalihah, yaitu pasangan hidup yang sholeh.
Dalam surat At-Tahriim ayat 9, 10, dan 11, disebutkan ada tiga tipe pasangan hidup yaitu: Tipe pertama adalah tipe pasangan Nabi Nuh AS, dimana Nabi Nuh soleh tetapi istrinya tidak. Tipe pasangan kedua adalah tipe pasangan hidup Fir’aun. Fir’aun begitu dholim tetapi istrinya begitu sholeh. Sehingga istrinya Fir’aun tersebut termasuk ke dalam tiga wanita paling soleh, yaitu Siti Khadijah istri Rasulullah SAW, Siti Maryam ibunya Nabi Isa AS, dan Siti Asiyah istrinya Firaun. Siti Asiyah ini di dalam surat At-Tahriim merupakan istri yang telah dijanjikan Allah surga. Tipe pasangan ketiga adalah tipe pasangan Imran. Imran itu seorang yang soleh, punya istri yang soleh, punya anak yang bernama Maryam serta punya cucu bernama Nabi Isa AS yang juga soleh. Jadi keluarga Imran ini, merupakan gambaran keluarga yang semuanya soleh, selain Imran sendiri soleh, istri, anak, dan cucu juga orang-orang yang soleh. Sekarang kita tinggal mengevaluasi mengenai pasangan hidup kita, apakah seperti Nabi Nuh AS, seperti Firaun, ataukah seperti Imran. Sedikit tambahan mengenai Fir’aun. Fir’aun itu berkuasa, kaya dan sombong. Kata Imam Ghazali ada 3 hal yang membuat kita sombong, pertama ilmu dan kecerdasan. Ilmu dan kecerdasan itu sangat rawan mengantarkan kita kepada kesombongan, makanya Allah sangat cinta kepada orang-orang yang berilmu tetapi rendah hati, dan Allah sangat murka kepada orang-orang bodoh dan takabur. Yang kedua adalah kekuasaan. Sedang yang ketiga adalah kekayaan. Jadi yang membuat kita sombong itu ialah harta, ilmu dan kekuasaan. Fir’aun mempunyai ketiga-tiganya, sehingga dia sombong hingga mengaku sebagai Tuhan.
Ketiga Ukuran kebaikan dunia itu adalah al auladun abrar, anak yang soleh.
Dicontohkan, di Bandung ada seorang petugas pembersih sampah yang anak-anaknya sukses. Anak yang pertama kuliah di MIT dan anak yang kedua sedang co-assistant di Fakultas Kedokteran Unpad. Karena kesuksesan dalam mendidik anak-anaknya itu banyak orang di sekitarnya yang memujinya. Ini menunjukkan bahwa anak merupakan ukuran kesuksesan. Bagi yang telah berkeluarga dan telah dikaruniai titipan anak, perlu pula diingat bahwa kita selain sebagai orangtua, kita juga adalah sebagai anak. Artinya kita juga harus menjadi anak yang soleh terhadap orang tua kita. Ada cerita pada saat Rasulullah SAW lagi thawaf. Rasulullah SAW bertemu dengan seorang anak muda yang pundaknya lecet-lecet. Setelah selesai thawaf Rasulullah SAW bertanya kepada anak muda itu : Kenapa pundakmu itu ? Jawab anak muda itu : Ya Rasulullah, saya dari Yaman, saya mempunyai seorang ibu yang sudah udzur. Saya sangat mencintai dia dan saya tidak pernah melepaskan dia. Saya melepaskan ibu saya hanya ketika buang hajat, ketika sholat, atau ketika istirahat, selain itu sisanya saya selalu menggendongnya. Lalu anak muda itu bertanya: Ya Rasulullah apakah kalau sudah melakukan itu, apakah aku termasuk kedalam orang yang sudah berbakti kepada orang tua ? Nabi SAW sambil memeluk anak muda itu mengatakan: Sungguh Allah ridho kepadamu, kamu anak yang soleh, anak yang berbakti, tapi anakku ketahuilah, cinta orangtuamu tidak akan terbalaskan olehmu. Dari Hadist tersebut kita mendapat gambaran bahwa oleh karena kita tidak mungkin membalas cinta dan kebaikan orang tua, setidak-tidaknya kita bisa menjadi anak yang soleh. Hal ini merupakan salah satu cara untuk membahagiakan mereka, karena ukuran kebahagiaan dunia itu adalah anak yang soleh.
Keempat. Ukuran kebahagiaan dunia itu adalah albiatu sholihah,
Yaitu lingkungan yang kondusif untuk iman kita. Yang dimaksud dengan lingkungan yang kondusif ialah, kita boleh mengenal siapapun tetapi untuk menjadikannya sebagai sahabat karib kita, haruslah orang-orang yang mempunyai nilai tambah terhadap keimanan kita. Komunitas kecil yang soleh itu luar biasa sekali. Dicontohkan ada mahasiswa yang kuliah di Ummul Qura dan ada mahasiswa yang kuliah di Sapporo, Jepang sini. Walaupun kedua mahasiswa tersebut soleh, yang kuliah di sini statusnya bisa jadi lebih soleh daripada yang kuliah di Ummul Qura karena lingkungan keduanya berbeda. Di Ummul Qura ada keterbatasan mengenai apa yang bisa dilihat, untuk pergi ke Masjidil Haram bisa dilakukan tiap hari, untuk melihat video film juga tidak ada, selain itu majalah yang aneh-aneh juga tidak ada, yang ada hanyalah majalah yang berbahasa Arab. Makin berat tantangan lingkungan kita tetapi kita mampu membentuk komunitas yang soleh berarti nilainya Insya Allah lebih tinggi.
Kelima. Ukuran kebahagiaan dunia adalah al malul halal, atau harta yang halal.
Paradigma dalam Islam mengenai harta bukanlah banyaknya harta tetapi halalnya. Ini tidak berarti Islam tidak menyuruh umatnya untuk kaya. Sebaliknya, Islam itu menyuruh kaum muslimin menjadi orang kaya Dimana hal ini tersirat di dalam sabda Rasulullah SAW: Ajarilah anakmu berenang, berkuda dan memanah. Di dalam sabda Nabi SAW ini tersirat bahwa seorang muslim harus kaya, tetapi dengan catatan untuk mendapatkannya jangan sampai menghalalkan segala cara. Dalam riwayat Imam Muslim di dalam bab sadaqoh, Rasulullah SAW pernah bertemu dengan seorang sahabat yang berdoa mengangkat tangan. Kamu berdoa sudah bagus, kata Nabi SAW, Namun sayang makanan, minuman dan pakaian dan tempat tinggalnya didapat secara haram, bagaimana doanya dikabulkan. Jadi salah satu penyebab doa tidak dikabulkan adalah karena ada yang haram. Yang haram itu dibedakan menjadi dua macam, yaitu zat yang haram dan cara yang haram. Mengenai zat yang haram umumnya kita bisa meninggalkannya tetapi untuk cara yang haram kadang-kadang masih suka ditekuni.
Keenam. Tafakuh fi dien. Semangat untuk memahami agama.
Jadi kalau kita bersemangat dalam memahami agama, berarti itu ciri kebahagiaan dunia. Umat islam itu terbagi ke dalam tiga kelompok, yaitu ada orang yang mengaku muslim, namun tidak mau mengamalkan Islam apalagi belajar Islam, tetapi orang itu kalau disebut kafir marah. Kelompok kedua, orang yang mengaku dirinya muslim, rajin mengamalkan Islam tetapi tidak mau belajar Islam. Kelompok ketiga, orang yang rajin mengamalkan Islam dan mau belajar Islam.
Ketujuh, yaitu umur yang baroqah.
Umur yang baroqah itu artinya umur yang semakin tua semakin soleh. Kita semua sebenarnya sedang antri untuk masuk ke lubang kubur, masalahnya adalah kita tidak tahu kapan kita meninggal. Kalau menggunakan teori probabilitas kita bisa melihatnya dari tahun kelahiran, artinya siapa yang lahir lebih dulu besar peluangnya duluan meninggal. Hanya saja, persoalannya Malakul Maut tidak pernah menggunakan teori probabilitas, Malakul Maut itu menggunakan teori determinan, atau teori kapling. Contohnya almarhumah Nike Ardilla, ia meninggal pada usia muda yaitu baru berusia 19 tahun dan sedang di puncak karir. Nike Ardilla meninggal tanpa disangka-sangka, ia meninggal seketika saat mobil yang dikendarainya kecelakaan karena bannya pecah. Demikian pula Lady Diana meninggal pada saat usia 37 tahun lebih 6 bulan. Karena kecelakaan mobil pula. Dari sini kita ketahui bahwa kematian itu gaib. Sehingga kita perlu merenungkan bahwa kita itu sesungguhnya mempunyai kapling, hanya saja kita tidak tahu kapling kita pada umur berapa. Walaupun demikian, kita tidak perlu takut dengan kematian, yang harus kita khawatirkan itu adalah apa yang kita bawa pada saat kita mati.
Dalam surat Fushshilat disebutkan bahwa orang meninggal itu ada dua macam, pertama adalah meninggalnya orang yang soleh. Orang yang soleh itu kalau rohnya diambil disambut oleh Malaikat Rahmat. Kata Malaikat Rahmat itu : ‘ala takhafu wa la takhzanu (jangan takut jangan khawatir). Sehingga orang yang soleh itu jasadnya ingin segera dikuburkan, qodimuni qodimuni, segera saya kuburkan. Sebaliknya dari meninggalnya orang soleh adalah meninggalnya orang yang bergelimang dengan maksiat, untuk mengerjakan sholat yang lima waktu saja tidak sempat, karena berbagai alasan kesibukan. Maka ketika rohnya lepas dari jasadnya, ia dicaci oleh malaikat azab, sampai ia berteriak begini rabbirijiun la alli amalu sholihan fima taraqtu, Tuhan kembalikan roh ke dalam jasad saya agar saya bisa beramal soleh. Kata-kata ini mencerminkan suatu penyesalan yang abadi. Jadi kalau kita evaluasi sekali lagi ketika kita mengatakan ya Allah berilah kebahagiaan dunia, menurut Ibnu Abbas indikatornya ada 7 yaitu : hati yang selalu syukur, pasangan hidup yang soleh, anak yang soleh, teman-teman atau lingkungan yang soleh, harta yang halal, semangat untuk memahami ajaran agama, dan umur yang baroqah. Sekali lagi, ketika kita meminta ya Allah berilah kebahagiaan dunia, sebenarnya kita minta tujuh hal itu. Walaupun kita akui jarang yang tujuh itu ada di dalam genggaman kita, setidak-tidaknya kalau kita mendapat enam saja sudah bagus.
Yang menjadi masalah adalah kalau kita tidak mendapat satupun dari ketujuh indikator kebahagiaan itu. Sedangkan mengenai kebahagiaan akhirat, artinya sudah jelas yaitu rahmat Allah. Kebahagiaan akhirat itu bukan surga tetapi rahmat Allah, kasih sayang Allah. Surga itu hanyalah bagian kecil dari rahmat Allah, kita masuk surga bukan karena amal soleh kita, tetapi karena rahmat Allah. Amal soleh yang kita lakukan tidak cukup untuk tiket masuk surga Kata Nabi SAW, : Amal soleh yang kalian lakukan tidak bisa
memasukan kalian ke surga. Lalu para sahabat bertanya: Bagaimana dengan Engkau ya Rasulullah ? Jawab Rasulullah SAW:Amal soleh saya juga tidak cukup. Lalu para sahabat kembali bertanya: Kalau begitu kita masuk surga dengan apa ? Nabi SAW kembali menjawab: Kamu masuk surga itu dengan rahmat dan cinta Allah.
Jadi sholat kita, puasa kita, taqarub kita kepada Allah sebenarnya bukan untuk surga tetapi untuk mendapatkan rahmat Allah. Dengan rahmat Allah itulah kita mendapatkan surga Allah (Insya Allah, Amiin). Jadi surga mitu adalah bagian dari rahmat. Wallahu a’lam.
0 komentar:
Posting Komentar