Kiat Menggapai Mahabbah Allah SWT
4/09/2011 06:30:00 PM Posted In Amar Ma'ruf Edit This 0 Comments »Segala puji hanyalah milik Allah semata. Shalawat dan salam semoga senantiasa dilimpahkan ke haribaan Nabi kita Muhammad bin Abdullah, segenap keluarga dan para sahabatnya serta setaiap orang yang mengikuti mereka dengan ihsan. Amma ba’du:
Dari Anas bin Malik, ia berkata: “Saat kami bersama Rasulullah r keluar dari masjid, kami bertemu dengan seseorang di sekitar masjid, lal dia bertanya: “Wahai Rasulullah, kapan terjadinya hari Qiamat?” Beliau menjawab: “Apa yang telah kamu persiapkan untuk menyambutnya?” Anas mengatakan: “Orang tadi diam sejenak, lalu ia berkata: “Wahai Nabi, saya tidak menyiapkan banyak shalat, tidak pula banyak puasa dan juga tidak banyak sedekah. Hanya saja saya mencintai Allah dan NabiNya.” Rasulullah r bersabda: “Kamu akan bersama orang yang kamu cintai.” (HR. Bukhari dan Muslim).
Setelah itu Anas berkata: “Tiada sesuatu yang menyenangkan kami setelah itu kecuali ucapan Nabi, “”Kamu akan bersama orang yang kamu cintai.”"
Dalam riwayat Muslim, Anas berkata: “Sungguh saya amat mencintai Allah, Nabi, Abu Bakar dan Umar. Saya berharap bisa bersama mereka walau saya tidak mampu beraamal seperti amal ibadah mereka.”
Ibnul Qayyim berkomentar: “Mahabbah (cinta) ialah suatu manzilah yang diburu banyak orang. Untuknya orang-orang bekerja dengan keras. Guna mengerjakan tuntutannya banyak orang saling berlomba tiada yang mau ketinggalan. Orang-orang yang saling mencintai rela mempertaruhkan dirinya. Para ahli ibadah bergerak dengan ruh lembutnya. Mahabbah adalah suatu kehidupan, karena orang yang tidak memilikinya dianggap telah mati. Ia merupakan cahaya dan orang kehilangan ia, maka orang tersebut berada pada kegelapan yang kelam. Ia juga obat penawar, orang yang tidak memiliknya maka hatinya penhu dengan berbagai penyakit. Demikian pula, mahabbah iala sebuah kenikmatan dan orang yang tidak mendapatkannya maka kehidupannya akan penuh dengan kesedihan dan duka nestapa. Demi Allah, para pemiliknya telah pergi dengan kemuliaan dunia akhirat. Karena mereka mendapati bagian kebersamaan yang dicintainya dengan jumlah yang cukup melimpah. Maka dari itu, saya tulis makalah ini untuk setiap orang yang ingin mendaki tinggi dari kedudukan cinta karena Allah kepada yang dicintai dari Allah. Sumbernya adalah kitab “Madaarijus Saalikiin” karya imam Ibnul Qayyim Al-Jauzi rahimahullah.
Kiat pertama: Membaca Al-Qur’an dengan mencerna dan memahami kandungan dan maksudnya.
Sungguh, siapa saja yang ingin berdialog dengan Allah maka hendaknya ia membaca Al-Qur’an. Hasan bin Ali pernah berkata: “Sesungguhnya para ssahabat, melihat bahwa Al-Qur’an itu adalah surat dari Tuhan mereka. Oleh karena itu, mereka senantiasa mengulasnya pada malam hari dan menggali hokum-hukumnya pada siang hari.”
Ibnul Qayyim Al-Jauzi berkata: “Hendaknya orang yang membaca Al-Qur’an itu berpikir, bagaimana Allah menyayangi makhlukNya dengan menyampaikan kepada mereka kepahaman makna Al-Qur’an. Demikian pula sebaknya ia mengetahui bahwa yang ia baca bukanlah ucapan manusia, juga merasakan keagungan Dzat yang mengucapkannya kemudian ia mencernanya.”
Imam Nawawi berkata: “Kewajiban pertama atas orang yang membaca Al-Qur’an ialah ia harus menghadirkan dalam jiwanya perasaaan bahwa ia dalam kondisi bermunajat kepada Allah. Oleh karena itu, tak heran jika salah seorang sahabat dapat menghasilkan mahabbatullah hanya dengan membaca sebuah surat sembari menghayati arti serta mencintainya. Surat itu adalah surat Al-Ikhlas yang berisi sifat Allah Yang Maha Tinggi. Orang tersebut selalu mengulang-ulangnya dalam shalatnya. Ketika ditanya tentang tindakannya itu, ia mengatakan: Karena surat ini (berisi) sifat Allah, maka saya amat suka membacanya. Lalu Nabi r bersabda: “Beritahukan kepadanya bahwa Allah mencintai dirinya.” (HR. Bukhari)
Sebaiknya kita tahu maksud bacaan tersebut yaitu dengan menghayatinya. Jika tiada mendapatkannya kecuali dengan mengulang-ulang ayat, maka lakukanlah hal itu karena Rasulullah r dan para sahabatnya pernah melakukannya. Abu Dzar telah meriwayatkan, dari Rasulullah r bahwa beliau telah melakukan qiyamullail dengan mengulang-ulang ayat: “In tu’adz dzibhum fa-innahum ‘ibaaduk, wa intaghfir lahum fa-innaka antal ‘Aziizul hakiim.” Artinya: “Jika Engkau siksa mereka, sungguh mereka itu adalah para hambaMu. Dan bila Engkau ampuni mereka, sesungguhnya Engkau Maha Perkasa dan Bijaksana.” (Al-Maidah: 118)
Sedangkan Tamim Ad-daari pernah mengulang-ulang dalam shalat malamnya, ayat: “Am hasibal ladziinaj-tarahus sayyi-aati an naj’alahum kalladziina aamanuu wa ‘amilus shaalihaati sawaa-am mahyaahum wa mamaatuhum, saaa-a maa yahkumuu,.” Artinya: “Apakah orang-orang yang berbuat dosa itu menyangka bahwa Kami akan menjadikan mereka seperti orang-orang yang beriman dan mengerjakan amal shalih, yaitu sama antara kehidupan dan kematian mereka? Amat buruklah apa yang mereka sangka itu.” (Al-Jaatsiyah: 21)
Kiat kedua: Melakukan shalat sunnah peyerta shalat fardhu. Sebab hal ini menghantarkan kepada tingkatan mahbub (tercinta) setelah fase mahabbah (kecintaan).
Dalam menerangkan hal ini, Nabi r bersabda: “Allah berfirman: “Siapa saja yang memusuhi para wali-Ku, maka sungguh telah Ku-umumkan perang dengannya. Tiada hal yang dilakukan hambaKu yang lebih Aku cintai daripada apa yang telah Aku wajibkan atas dirinya. HambaKu senantiasa bertaqarrub kepadKu dengan aneka amal sunnah hingga AKu mencintainya. Jika Aku telah mencintainya maka jadilah Aku pendengarannya, peglihatan, tangan dan kakinya. Bila ia meminta kepadaKu niscaya Aku kabulkan dan jika ia berlindung diri kepadaKu pasti Aku lindungi.“” (HR. Bukhari)
Hadits ini telah menerangkan dua kelompok yang sukses dan selamat, yaitu: 1- Orang yang mencintai Allah dengan melaksanakan ibadah fardhu dan berdiri di atas batasan-batsannya. 2- Mahbub minallah yang mendekatkan diri kepada Allah dengan melakukan amalan sunnah setelah amalan fardhu. Ini iala yang dimaksudkan oleh Ibnul Qayyim Al-Jauzi dengan ungkapan beilau di atas.
Kiat ketiga: melanggengkan dzikrullah dalam segala kondisi; baik dengan lisan, hati ataupun tindakan. Maka ia akan mendapatkan mahabbah sebesar kadar dzikirnya. Dalam sebuah ayat ditegaskan: “Ingatlah (berdzikirlah) kepadaKu niscaya Aku mengingat kalian.” Rasulullah r bersabda: Allah berfirman: “Aku beserta hambaKu selama ia mengingatKu dan menggerakkan bibirnya dengan (asma)Ku.” (HR. Ibnu Majah) Dalam riwayat Muslim, beliau r menegaskan: “Telah pergi jauh al-mutafarriduun“, para sahabat bertanya: “Siapa al-mutafarriduun itu ya Rasul?” beliau menjawab: “Mereka itu adalah kaum pria atau wanita yang banyak berdzikir kepada Allah.” Dalam kesempatan lain beliau menjelaskan: “Tiada kaum yang meninggalkan majlisnya yang tak berisi dzikrullah, melainkan seperti halnya mereka berdiri dari bangkai keledai dan mereka akan tertimpa penyesalan.” (HR. Abu Daud)
Suatu saat, ada seseorang datang kepada Rasulullah r dan bertanya: “Wahai Rasulullah, sungguh syariat-syari’at Islam amat banyak dan membebani kami, tolong beritahukan kami sesuatu yang lengkap untuk pegangan kami, maka beliau menjawab: “Hendaknya lisanmu sselalu basah dengan dzikrullah.” (HR. Ib Majah)
Sungguh para sahabat telah memahami betul wasiat Rasulullah r ini, hingga Abu Darda’ pernah berkata: “Seseorang yang mampu memerdekakan 100 budak, pasti memerlukan banyak uang. Padahal ada yang lebih afdhal daripadanya yaitu iman yang didukung dengan ibadah siang dan malam serta hendaknya lisan kalian selalu berdzikir kepada Allah.” (HR. Ahmad)
Kiat keempat: Lebih mendahulukan apa yang dicintai Allah daripada cinta hawa nafsunya walau hal itu amat berat. Ibnul Qayyim Al-Jauzi menjelaskannya, yaitu lebih mndahulukan ridha Allah atas selainNya, walau fitnah besar menghadangnya, banyak menelan biaya dan atau menguras banyak tenaganya. Beliau melanjutkan: Al-Itsar (upaya lebih mendahulukan) ridha Allah daripada ridha selainNya, yaitu kerelaan berkorban untuk melakukan sesuatu yang mengandung ridha Allah walau dibenci dan dimusuhi manusia. Hal tersebut merupakan tingkatan itsar tertinggi seperti yang dimiliki para Rasul terutama yang ulul azmi. Sedangkan yang tertinggi dari semuanya itu adalah milik Nabi kita Muhammad r.”
Semuanya itu tak akan terealisasi kecuali dengan tiga perkara; 1)-Menundukkan hawa nafsu. 2)-Menentang hawa nafsu dan 3)-Memerangi setan dan para walinya.
Ibnu Taimiyah berkata: “Seorang muslim harus takut kepada Allah, mengekang hawa nafsu dan syahwatnya. Jika hawa nafsunya berkehendak lalu dia dapat menahannya maka tiiinddakan ini merupakan suatu bentuk ibadah kepada Allah dan suatu bentuk amal shalih.” (Majmu’ Fatawa: 10/635)
Kiat kelima: Menghayati sifat dan asma Allah, meyakininya dan mengetahuinya. Lalu dia berkubang dalam ilmunya tersebut. Siapa saja yang mengetahui Allah; baik asma, sifat dan af’alNya maka Allah pasti mencintainya.
Ibnul Qayyim Al-Jauzi berkata: Seseorang belum dapat disebut mengetahui kecuali ia tahu mengenai Allah dan jalan yang menghantarkanny sampai ke sana. Oleh karena itu, orang yang tahu ialah yang mengetahui Allah dengan seluruh asmaNya, sifat-sifat dan af’alNya. Lalu ia membenarkan Allah dalam muamalahnya, kemudian ia mengikhlaskan niat dan tujuannya hanya kepada Allah.
Siapa saja yang tidak mempercaya sifat-sifat Allah maka ia telah menghancurkan asas agama dan iman, juga merusak tatanan pohon al-ihsan. Bagaimana mungkin ia termasuk ahli irfan (orang yang mengetahui Tuhannya)?
Sedangkan orang-orang yang mentakwilkan sifat-sifat Allah maka ia telah menuduh Nabi mengurangi risalah. Sebab dalam penjelasan dan penjabaran masalah yang amat penting ini tidak mungkin lepas dari Rasulullah r. memang telah datang keterangan dari beliau: “Sungguh Allah memiliki 99 nama, siapa yang menghafal dan mempraktekkannya pasti masuk surga.”
Kiat keenam: Bersaksi dan mengakui kebaikan Allah, anugerah dan segala nikmatNya; baik yang jelas atau yang tersamar. Sungguh hal ini akan mendatangkan mahabbah kepadaNya.
Seorang hamba adalah tawanan kebaikan. Dengan memberi suatu anugerah, kebaikan dan keramahan maka dapat menarik perasaanya, menguasai hatinya dan mendorongnya menuju mahabbah kepada pemberinya. Pada hakekatnya tida pemberi nikmat melainkan hanya Allah. Ini merupakan bukti dari akal sehat dan dalil yang jelas. Maka dari itu, tiada mahabbah yang hakiki menurut pemilik hati bersih kecuali hanya untuk Allah. Tiada yang berhak atas seluruh mahabbah tersebut kecauali Dia. Bersegera untuk menolong hamba dan melumpuhkan musuh-musuhnya serta membantunya dalam menggapai segala keperluannya. Jika seorang hamba mengetahui dengan ilmu yang sebenarnya, maka ia kan tahu bahwasanya yang memberi segala anugerah hanyalah Allah semata. Sedangkan ke-aneka ragaman anugerahNya tidak terhitung adanya. “Jika kalian menghitung nikmat-nikmat Allah niscaya kalian tidak akan mampu menghitungnya. Sesungguhnya manusia itu sunngguh amat dzalim dan mengingkari kenikmatan.” (Ibrahim: 34)
Sayyid Qutub berkata: “Sedangkan hati, adalah suatu hal yang menjadikan manusia sebagai manusia. Hati merupakan kekuatan untuk menemukan, membedakan dan mengetahui hal yang ditinggalkan manusia dalam kepemilikan yang amat luas ini. Hati juga yang digunakan manusia untuk mengemban amanat yang dirasa amat berat oleh langit, bumi dan gunung. Yaitu amanah beriman dengan sukarela , mencari petunjuk pribadi dan keinginan komit atas manhaj Allah yang lurus. Tak seorangpun mengetahui inti kekuatan ini dan sentralnya yang berada pada tubuh manusia atau bagian luarnya. Karena hal ini merupakan rahasia Allah yang terdapat pada manusia, tidak ada yang mengetahuinya kecauli Allah semata. Dengan aneka pemberian hebat ini yang dianugerahkan kepada manusia agar mereka bangkit dalam membawa amanah agung tersebut, tapi mereka tidak mau bersyukur. “Hanya sedikit dari kalian yang bersyukur.” Hal ini merupakan sesuatu yang menimbulkan rasa malu yang sedemian rupa saat mengingatnya. Sebagimana mereka diingatkan oleh Al-Qur’an tentang masalah ini, juga mengingatkan orang yang ingkar dan tidak mau mensyukuri nikmat Allah yang diterimanya.
Kiat ketujuh: Yaitu sebab yang paling menakjubkan , yakni kekhusyu’an hati secara keseluruhan di hadapan Allah. “Dan merendahlah semua suara kepada Tuhan Yang Maha Pemurah, maka kamu tidak mendengar kecuali bisikan saja.”(Thaha: 108)
Ar-Raghib al-Asfihani berkata: Khusyu’ sama dengan dhoro’ah. Kata khusyu’ lebih banyak digunakan dalam hal-hal yang berkaitan dengan anggota bada, sedangkan dhoro’ah lebih banyak dipergunakan dalam hal yang berkaitan dengan isi hati. Oleh karena itu, jika dikatakan, dhoro’ah hatinya, maka seluruh anggotanya dalam keadaan khusyu’.
Ibnul Qayyim Al-Jauzi berkata: Yang benar ialah, bahwa khusyu’ merupakan arti yang sesuai dengan pengagungan, kecintaan, kehinaan, dan kekhusyu’an. Seungguh para salaful ummah memiliki sikap yang amat menakjubkan di bidang kekhusyu’an di hadapan Tuhan mereka. Hal ini adalah bukti kejernihan dan kebersihan hati mereka, mari kita lihat sebagian contoh berikut ini:
Abdullah bin Zubair jika mendirikan shalat maka beliau seperti sebuah tiang karena khusyu’nya. Suatu kali beliau sujud lalu ada beberapa burung usfur hinggap di punggungnya sebab beliau diam seperti dinding tembok.
Sedangkan Ali bin Husain jika beliau usai melakukan wudhu, maka berubah pucat raut wajahnya. Saat ditanya, beliau menjawab: “Tahukah kalian, kepada Siapa saya akan menghadap?”
Kiat kedelapan: Menyendiri dan menyepi -saat Allah turun ke langi bumi- untuk bermunajat kepadaNya, membaca kalamNya, menghadap sepenuh hati dan sopan dalam beribadah di hadapanNya. Kemudian diakhiri dengan istighfar dan taubat. Ayat mengatakan: “Lambung mereka jauh dari tempat tidurnya (kiasan; tidak tidur), sedangkan mereka berdoa kepada Tuhannya dengan rasa takut dan penuh harap, dan mereka menafkahkan dari sebagian rizki yang Kami berikan kepadanya.” (As-sajdah: 16)
Sungguh para pecandu ibadah malam merupakan pemilik mahabbah. Bahkan mereka termasuk pemilik mahabbah yang termulia. Karena ibadah malamnya merupakan kumpulan factor-faktor yang mendatangkan mahabbah. Maka dari itu, tak heran bila Jibril turun kepada Nabi Muhammad r dan berkata kepada beliau: “Ketahuilah, bahwa kemuliaan seorang mukmin adalah tertumpu pada qiyamullail (shalat malam), sedangkan harkatnya terletak pada kadan kemandiriannya terhadap yang lain.”
Imam Hasan al-Basri berkata: “Tidak saya temukan ibadah yang lebih berat daripada shalat tengah malam.” Beliau ditanya: Bagaimana bias terjadi, orang yang rajin shalat malam wajahnya menjadi paling cerah? Beliau menjawab: “Karena mereka menyepi dengan Allah, lalu mereka diberi sebagian dari nurNya.”
Kiat kesembilan: Suka berkumpul dengan para pendamba mahabbah yang jujur, hingga dapat memetik ucapan baik mereka. Lalu menjadikan kita tidak berbicara kecuali dengan yang berguna bagi diri kita dan orang lain. Rasulullah bersabda: “Allah berfirman: “Orang-orang yang saling mencintai karenaKu berhak mendapatkan cintaKu, demikian pula bagi orang-orang yang saling berkumpul karenaku dan orang-orang yang saling mengunjungi karena Aku.“” Dalam kesempatan lain beliau bersabda: “Tali buhul yang paling kokoh ialah mencintai dan membenci karena Allah.”
Oleh sebab itu, cinta seorang muslim kepada saudaranya muslim yang lain karena Allah merupakan buah dari kejujuran iman dan budi pekertinya yang baik.
Kiat kesepuluh: Menajuhi segala factor yang menghalangi hati dengan Allah. Sebab, jika hati seseorang rusak maka ia tak akan dapat memtik manfaat dari kehidupan dunia dan akhiratnya. Ayat menegaskan: “Yaitu pada hari harta dan anak-anak lelaki tiada guna, kecuali orang-orang yang menghadap Allah dengan hati yang bersih” (As-syu’ara’: 88)
Demikian, shalawat dan salam semoga selalu dilimpahkan kepada Rasulullah, segenap keluarga dan seluruh sahabatnya serta semua orang yang mengikuti jejaknya dengan baik sampai hari Kemudian.
0 komentar:
Posting Komentar