MAKNA IDUL ADHA BAGI KEHIDUPAN

11/02/2011 10:46:00 PM Posted In Edit This 0 Comments »


Sesungguhnya Kami telah memberikan kepadamu ni’mat yg banyak. Maka dirikanlah salat krn Tuhanmu dan sembelihlah hewan . Sesungguhnya orang-orang yg membenci kamu dialah yg terputus?

Pemberian ni’mat oleh Allah kepada manusia tak terhingga. Anak isteri dan harta kekayaan adl sebagian ni’mat dari Allah. Kesehatan dan kesempatan juga ni’mat yg sangat penting. Manusia juga diberi ni’mat pangkat kedudukan jabatan dan kekuasaan. Segala yg dimiliki manusia adl ni’mat dari Allah baik berupa materi maupun non materi. Namun bersanmaan itu pula semua ni’mat tersebut sekaligus menjadi cobaan atau ujian fitnah atau bala? bagi manusia dalam kehidupannya. Allah berfirman ?Dan ketahuilah bahwasanya harta kekayaanmu dan anak-nakmu adl fitnah . Dan sesungguhnya Allah mempunyai pahala yg besar?.

Meskipun Allah memberikan ni’mat-Nya yg tak terhingga kepada manusia tetapi dalam kenyataan Allah melebihkan apa yang diberikan kepada seseorang daripada yg lain. Sehingga ada yg kaya raya cukup kaya miskin bahkan ada yang menjadi seorang papa gelandangan berteduh di kolong langit. Demikian juga ada yg menjadi penguasa ada yg rakyat jelata. Ada pimpinan/ kepala dan ada bawahan / anak buah. Ini semua juga dalam rangka cobaan bagi siapa yang benar-benar mukmin dan siapa yg hanya mukmin di bibir saja.

Salah satu bukti bahwa seorang mukmin telah lulus cobaan dalam ni’mat harta kekayaan adl ia dgn ikhlas mengunakannya utk ibadah haji. Sehingga bagi orang demikian akan memperoleh haji yg mabrur. Sedang haji mabrur pahalanya hanyalah surga sebagaimana sabda Nabi SAW ?Orang yg dapat mencapai haji yg mabrur tiada pahala yg pantas baginya selain surga?. .

Betapa gembira dan bahagianya orang kaya yg dapat mencapai haji mabrur demikian. Belum lagi jika ia sempat salat berjamaah di Masjidil Haram dan Masjid Nabawi maka tiada terkira lagi pahalanya. Namun ini konteksnya adl orang yang kaya. Sedang orang yg tidak mampu / miskin tidak perlu berkecil hati. Bagi kita yg tidak mampu maka konteksnya terkandung dalam hadis Nabi SAW berikut “Hajinya orang yg tidak mampu adalah berpuasa pada hari Arafah .?

Itulah maka sangat disayangkan bila di antara kita ada yg menyia-siakan kesempatan dari Allah yakni tidak mau berpuasa pada tanggal 9 Zul Hijjah yg disebut puasa Arafah itu.

Cobaan tentang harta kekayaan juga berkaitan dgn pelaksanaan ibadah udhiyah yakni menyembelih hewan yang terkenal dgn hewan qurban di hari raya. Karena pada hari ini Allah mensyariatkan utk ber-udhiyah {menyembelih hewan} maka hari raya ini disebut dgn hari raya Adha wa biha sumiya yaumal-adha. Demikian juga penjelasan Rasulullah SAW ?Hari raya fitrah adl pada hari manusia berbuka menyudahi puasa Ramadan. Sedangkan hari raya Adha adl pada hari manusia ber-udhiyah ? .

Maka salah satu bukti lagi bahwa seseorang lulus dari cobaan harta adl ia dgn ikhlas mau mengunakannya untuk ber-udhiyah baik itu berupa sapi kerbau maupun kambing. Ini tergantung pada kemampuan masing-masing. Seekor kambing boleh digunakan utk satu orang beserta keluarga seisi rumahnya. Sedang sapi / kerbau boleh utk tujuh orang beserta keluarga seisi rumah mereka masing-masing. Daging sembelihan ini termasuk syiar agama yakni utk dimakan menjamu tamu diberikan kepada yg meminta atau yg tidak meminta {orang mampu}. Daging ini juga boleh disimpan utk dimakan hingga hari tasyrik . Allah berfirman ?Makanlah sebagiannya dan utk memberi makan orang yg tidak meminta dan orang yg meminta?. {QS. Al-Hajj 36}.

Sementara Nabi bersabda ?Makanlah utk memberi makan dan simpanlah !?

Sementara itu cobaan besar terhadap sesuatu yg dimiliki manusia pernah dialami Abul Anbiya? Khalilurrahman Ibrahim AS. Beliau telah lulus ujian atau cobaan dari Allah. Hal ini didokumentasikan dalam Al-Qur?an ?Dan ketika Ibrahim diberi cabaan oleh Tuhannya dgn beberapa kalimat lalu Ibrahim lulus dalam cobaan itu. Allah berfirman ?Sesungguhnya Aku menjadikan kamu hai Ibrahim Imam semua manusia ..?. ?

Kelulusan Ibrahim tidak hanya dalam melaksanakan perintah Allah tetapi juga dalam kebijaksanaannya menyampaikan perintah itu kepada anaknya yg sangat dicintainya. Beliau tidak langsung mengambilnya tiba-tiba dan tidak pula mencari kelengahan atau dgn taktik menculik teror dan intimidasi. Meskipun Ibrahim memiliki massa yg banyak tetapi beliau tidak menggunakan massa agar anaknya bertekuk lutut di hadapannya. Perintah Allah disampaikannya dgn transparan penuh argumentasi Ilahiah.

Sedangkan Ismail anak yg patuh dan mengerti kedudukan orang tuanya dan posisinya sebagai anak ia tidak membangkang dan tidak bimbang. Ismail memberikan jawaban yg memancarkan keimanan tawaddu? dan tawakkal kepada Allah bukan utk menonjolkan kepahlawanan atau kegagahan mencari popularitas. Ia tidak melakukan unjuk rasa yang konfrontatif tanpa mengindahkan akhlakul karimah atau dgn kekerasan utk memprotes kehendak bapaknya.

Sungguh dua tokoh bapak dan anak ini merupakan uswah hasanah bagi umat manusia. Bahkan syariat Nabi Muhammad SAW merupakan syariat yg dulunya telah diwahyukan Allah kepada Ibrahim . Maka kita menyembelih hewan qurban di hari ?Idul Adha ini termasuk meneladani sunnah Ibrahim sebagaimana sabda Nabi SAW ?Sunnatu abikum Ibrahim.? .

?Idul Adha memiliki makna yg penting dalam kehidupan. Makna ini perlu kita renungkan dalam-dalam dan selalu kita kaji ulang agar kita lulus dari berbagai cobaan Allah. Makna ?Idul Adha tersebut

Menyadari kembali bahwa makhluk yg namanya manusia ini adl kecil belaka betapapun berbagai kebesaran disandangnya. Inilah makna kita mengumandangkan takbir Allahu akbar !
Menyadari kembali bahwa tiada yg boleh di-Tuhankan selain Allah. Menuhankan selain Allah bukanlah semata-mata menyembah berhala seperti di zaman jahiliah. Di zaman globalisasi ini orang dapat menuhankan tokoh lebih-lebih lagi si Tokoh itu sempat menjadi pucuk pimpinan partainya menjadi presiden/wakil presiden atau ketua lembaga perwakilan rakyat. Orang sekarang juga cenderung menuhankan politik dan ekonomi. Politik adalah segala-galanya dan ekonomi adl tujuan hidupnya yg sejati. Bahkan HAM menjadi acuan utama segala gerak kehidupan sementara HAT diabaikan. Inilah makna kita kumandangkan kalimah tauhid La ilaha illallah !
Menyadari kembali bahwa pada hakikatnya yg memiliki puja dan puji itu hanyalah Allah. Maka alangkah celakanya orang yg gila puja dan puji sehingga kepalanya cepat membesar dadanya melebar dan hidungnya bengah bila dipuji orang lain. Namun segera naik pitam wajah merah dan jantung berdetak melambung bila ada orang yang mencela mengkritik dan mengoreksinya. Inilah makna kita kumandangkan tahmid Wa lillahil-hamd !
Menyadari kembali bahwa manusia ini ibarat sedang melancong atau bepergian yg suatu saat rindu utk pulang ke tempat tinggal asal yakni tempat yg mula-mula dibangun rumah ibadah bagi manusia Ka?bah Baitullah. Inilah salah satu makna bagi yg istita?ah tidak menunda-nunda lagi berhaji ke Baitullah. Di sini pula manusia disadarkan kembali bahwa pada hakikatnya manusia itu satu keluarga dalam ikatan satu keimanan. Siaopa pun dia dari bangsa apapun adl saudara bila ia mukmin atau muslim. Tetapi bila seseorang itu kafir adl bukan saudara kita meskipun dia lahir dari rahim ibu yg sama. Maka orang yg pulang dari haji hendaknya menjadi uswah hasanah bagi warga sekitarnya tidak membesar-besarkan perbedaan yg dimiliki sesama muslim terutama dalam hal yg disebut furu?iyah.
Menyadari kembali bahwa segala ni’mat yg diberikan Allah pada hakikatnaya adl sebagai cobaan atau ujian. Apabila ni’mat itu diminta kembali oleh yg memberi maka manusia tidak dapat berbuat apa-apa. Hari ini jadi konglomerat esok bisa jadi melarat dgn hutang bertumpuk jadi karat. Sekarang berkuasa lusa bisa jadi hina tersia-sia oleh massa. Kemaren jadi kepala kantor dgn mobil Timor entah kapan mungkin bisa jadi bahan humor krn naik sepeda bocor. Sedang ni’mat yg berupa harta hendaknya kita ikhlas utk berinfaq di jalan Allah seperti utk ber-udhiyah .
Percayalah dalam hal harta apabila kita ikhlas di jalan Allah niscaya Allah akan membalasnya dgn berlipat ganda. Tetapi jika kita justru kikir pelit tamak bahkan rakus tunggulah kekurangan kemiskinan dan kegelisahan hati selalu menghimpitnya.
Akhirnya semoga ?Idul Adha dgn berbagai ibadah yg kita laksanakan sekarang ini dapat membangunkan kembali tidur kita . Kemudian kita berihtiar lagi sekuat tenaga utk memperbanyak amal saleh sebagai pelebur amal-amal buruk selama ini. Amin !

5 Fakta Mengagumkan Seputar Adzan

4/18/2011 10:25:00 PM Posted In Edit This 0 Comments »
Adzan adalah media luar biasa untuk mengumandangkan tauhid terhadap yang Maha Kuasa dan risalah (kenabian) Nabi Muhammad saw. Adzan juga merupakan panggilan shalat kepada umat Islam, yang terus bergema di seluruh dunia lima kali setiap hari.
Betapa mengagumkan suara adzan itu, dan bagi umat Islam di seluruh dunia, adzan merupakan sebuah fakta yang telah mapan. Indonesia misalnya, sebagai sebuah negara terdiri dari ribuan pulau dan dengan penduduk muslim terbesar di dunia.
1 . Kalimat Penyeru Yang Mengandung “Kekuatan Supranatural”
Ketika azdan berkumandang, kaum yang bukan sekedar muslim, tetapi juga beriman, bergegas meninggalkan seluruh aktivitas duniawi dan bersegera menuju masjid untuk menunaikan sholat berjamaah. Simpul-simpul kesadaran psiko-religius dalam otak mereka mendadak bergetar hebat, terhubung secara simultan, dan dengan totalitas kesadaran seorang hamba (abdi) mereka bersimpuh, luruh dalam kesyahduan ibadah sholat berjamaah.
2. Asal Mula Yang Menakjubkan:
Pada jaman dulu, Rasulullah SAW kebingungan untuk menyampaikan saat waktu shalat tiba kepada seluruh umatnya. Maka dicarilah berbagai cara. Ada yang mengusulkan untuk mengibarkan bendera pas waktu shalat itu tiba, ada yang usul untuk menyalakan api di atas bukit, meniup terompet, dan bahkan membunyikan lonceng. Tetapi semuanya dianggap kurang pas dan kurang cocok.

Adalah Abdullah bin Zaid yang bermimpi bertemu dengan seseorang yang memberitahunya untuk mengumandangkan adzan dengan menyerukan lafaz-lafaz adzan yang sudah kita ketahui sekarang. Mimpi itu disampaikan Abdullah bin Zaid kepada Rasulullah Saw. Umar bin Khathab yang sedang berada di rumah mendengar suara itu. Ia langsung keluar sambil menarik jubahnya dan berkata: ”Demi Tuhan Yang mengutusmu dengan Hak, ya Rasulullah, aku benar-benar melihat seperti yang ia lihat (di dalam mimpi). Lalu Rasulullah bersabda: ”Segala puji bagimu.” yang kemudian Rasulullah menyetujuinya untuk menggunakan lafaz-lafaz adzan itu untuk menyerukan panggilan shalat.
3. Adzan Senantiasa Ada Saat Peristiwa2 Penting:
Adzan Digunakan islam untuk memanggil Umat untuk Melaksanakan shalat. Selain itu adzan juga dikumandangkan disaat-saat Penting. Ketika lahirnya seorang Bayi, ketika Peristiwa besar.
Peristiwa besar yang dimaksud adalah:
Fathu Makah : Pembebasan Mekkah merupakan peristiwa yang terjadi pada tahun 630 tepatnya pada tanggal 10 Ramadan 8 H, dimana Muhammad beserta 10.000 pasukan bergerak dari Madinah menuju Mekkah, dan kemudian menguasai Mekkah secara keseluruhan, sekaligus menghancurkan berhala yang ditempatkan di dalam dan sekitar Ka’bah. Lalu Bilal Mengumandangkan Adzan Diatas Ka’bah
Perebutan kekuasaan Konstatinopel: Konstantinopel jatuh ke tangan pasukan Ottoman, mengakhiri Kekaisaran Romawi Timur. lalu beberapa perajurit ottoman masuk kedalam Ramapsan terbesar Mereka Sofia..lalu mengumandangkan adzan disana sebagai tanda kemenangan meraka.
4. Adzan Sudah Miliyaran kali Dikumandangkan:
Sejak pertama dikumandangkan sampai saat ini mungkin sudah sekitar 1500 tahunan lebih adzan dikumandangkan. Anggaplah setahun 356 hari, berarti 1500 tahun X 356 hari = 534000 dan kalikan kembali dengan jumlah umat islam yang terus bertambah tiap tahunnya. Kita anggap umat islam saat ini sekitar 2 miliyar orang dengan persentase 2 milyar umat dengan 2 juta muadzin saja. Hasilnya =
534.000 x 2.000.000 = 1.068.000.000.000 dikalikan 5 = 5.340.000.000.000.
5. Adzan Ternyata Tidak Pernah Berhenti Berkumandang
Proses itu terus berlangsung dan bergerak ke arah barat kepulauan Indonesia. Perbedaan waktu antara timur dan barat pulau-pulau di Indonesia adalah satu jam. Oleh karena itu, satu jam setelah adzan selesai di Sulawesi, maka adzan segera bergema di Jakarta, disusul pula sumatra. Dan adzan belum berakhir di Indonesia, maka ia sudah dimulai di Malaysia. Burma adalah di baris berikutnya, dan dalam waktu beberapa jam dari Jakarta, maka adzan mencapai Dacca, ibukota Bangladesh. Dan begitu adzan berakhir di Bangladesh, maka ia telah dikumandangkan di barat India, dari Kalkuta ke Srinagar. Kemudian terus menuju Bombay dan seluruh kawasan India.
Srinagar dan Sialkot (sebuah kota di Pakistan utara) memiliki waktu adzan yang sama. Perbedaan waktu antara Sialkot, Kota, Karachi dan Gowadar (kota di Baluchistan, sebuah provinsi di Pakistan) adalah empat puluh menit, dan dalam waktu ini, (Dawn) adzan Fajar telah terdengar di Pakistan. Sebelum berakhir di sana, ia telah dimulai di Afghanistan dan Muscat. Perbedaan waktu antara Muscat dan Baghdad adalah satu jam. Adzan kembali terdengar selama satu jam di wilayah Hijaz al-Muqaddas (Makkah dan Madinah), Yaman, Uni Emirat Arab, Kuwait dan Irak.
Perbedaan waktu antara Bagdad dan Iskandariyah di Mesir adalah satu jam. Adzan terus bergema di Siria, Mesir, Somalia dan Sudan selama jam tersebut. Iskandariyah dan Istanbul terletak di bujur geografis yang sama. Perbedaan waktu antara timur dan barat Turki adalah satu setengah jam, dan pada saat ini seruan shalat dikumandangkan.

Iskandariyah dan Tripoli (ibukota Libya) terletak di lokasi waktu yang sama. Proses panggilan Adzan sehingga terus berlangsung melalui seluruh kawasan Afrika. Oleh karena itu, kumandang keesaan Allah dan kenabian Muhammad saw yang dimulai dari bagian timur pulau Indonesia itu tiba di pantai timur Samudera Atlantik setelah sembilan setengah jam.
Sebelum Adzan mencapai pantai Atlantik, kumandang adzan Zhuhur telah dimulai di kawasan timur Indonesia, dan sebelum mencapai Dacca, adzan Ashar telah dimulai. Dan begitu adzan mencapai Jakarta setelah kira-kira satu setengah jam kemudian, maka waktu Maghrib menyusul. Dan tidak lama setelah waktu Maghrib mencapai Sumatera, maka waktu adzan Isya telah dimulai di Sulawesi! Bila Muadzin di Indonesia mengumandangkan adzan Fajar, maka muadzin di Afrika mengumandangkan adzan untuk Isya.

7 AMALAN Yang Dibayar TUNAI, Siapa Yang MENANAM, Dia Yang akan MENUAI

4/18/2011 10:02:00 PM Posted In Edit This 0 Comments »
Siapa Yang Menanam, Dia Yang akan Menuai

Segala puji itu hanyalah milik Allah. Dialah zat yang telah menyempurnakan nikmat-Nya untuk kita dan secara berturut-turut memberikan berbagai
pemberian dan anugerah kepada kita.
Semoga Allah menyanjung dan memberi keselamatan untuk Nabi kita Muhammad,
keluarganya yang merupakan manusia pilihan dan semua sahabatnya yang
merupakan manusia-manusia yang bertakwa seiring silih bergantinya malam dan siang.
Kita pasti pernah mendengar peribahasa ini, "Siapa yang menanam, Dia yang akan menuai."
Maksudnya, jika seseorang menanam kebaikan, maka ia akan menuai kebaikan pula.
Dan jika seseorang menanam kejelekan, maka ia akan menuai hasil yang jelek pula.
Berikut beberapa contoh dalam Al Quran dan hadits yang menceritakan maksud dari peribahasa ini.

1. Menjaga Hak Allah, Menuai Penjagaan Allah

Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam pernah mengajarkan pada Ibnu Abbas
-radhiyallahu anhuma- sebuah kalimat,
احْفَظِ اللَّهَ يَحْفَظْكَ
"Jagalah Allah, niscaya Allah akan menjagamu."[1]
Yang dimaksud menjaga Allah di sini adalah menjaga batasan-batasan,
hak-hak, perintah, dan larangan-larangan Allah. Yaitu seseorang menjaganya
dengan melaksanakan perintah Allah, menjauhi larangan-Nya, dan tidak
melampaui batas dari batasan-Nya (berupa perintah maupun larangan Allah).
Orang yang melakukan seperti ini, merekalah yang menjaga diri dari
batasan-batasan Allah. Yang utama untuk dijaga adalah shalat lima waktu
yang wajib. Dan yang patut dijaga lagi adalah pendengaran, penglihatan dan
lisan dari berbagai keharaman. Begitu pula yang mesti dijaga adalah
kemaluan, yaitu meletakkannya pada yang halal saja dan bukan melalui jalan
haram yaitu zina.[2]
Barangsiapa menjaga diri dengan melakukan perintah dan menjauhi larangan,
maka ia akan mendapatkan dua penjagaan.
Penjagaan pertama: Allah akan menjaga urusan dunianya yaitu ia akan
mendapatkan penjagaan diri, anak, keluarga dan harta.
Ibnu Rajab Al Hambali mengatakan, "Barangsiapa menjaga (hak-hak) Allah,
maka Allah akan menjaganya dari berbagai gangguan."
Sebagian salafmengatakan, "Barangsiapa bertakwa pada Allah, maka Allah akan menjaga dirinya. Barangsiapa lalai dari takwa kepada Allah, maka Allah tidak ambil
peduli padanya. Orang itu berarti telah menyia-nyiakan dirinya sendiri.
Allah sama sekali tidak butuh padanya."
Jika seseorang berbuat maksiat, maka ia juga dapat melihat tingkah laku
yang aneh pada keluarganya bahkan pada hewan tunggangannya. Sebagaimana
sebagian salaf mengatakan, "Jika aku bermaksiat pada Allah, maka pasti aku
akan menemui tingkah laku yang aneh pada budakku bahkan juga pada hewan
tungganganku."[3]
Penjagaan kedua: Penjagaan yang lebih dari penjagaan pertama, yaitu Allah
akan menjaga agama dan keimanannya. Allah akan menjaga dirinya dari
pemikiran rancu yang bisa menyesatkan dan dari berbagai syahwat yang
diharamkan.[4]
Semoga dengan menjaga hak-hak Allah, kita semua bisa menuai dua penjagaan
ini.

2. Berlaku Jujur, Menuai Kebaikan

Dari sahabat Abdullah bin Masud, ia menuturkan bahwa Rasulullah shallallahu
alaihi wa sallam bersabda,
عَلَيْكُمْ بِالصِّدْقِ فَإِنَّ الصِّدْقَ يَهْدِى إِلَى الْبِرِّ وَإِنَّ الْبِرَّ يَهْدِى إِلَى الْجَنَّةِ وَمَا يَزَالُ الرَّجُلُ يَصْدُقُ وَيَتَحَرَّى الصِّدْقَ حَتَّى يُكْتَبَ عِنْدَ اللَّهِ صِدِّيقًا وَإِيَّاكُمْ وَالْكَذِبَ فَإِنَّ الْكَذِبَ يَهْدِى إِلَى الْفُجُورِ وَإِنَّ الْفُجُورَ يَهْدِى إِلَى النَّارِ وَمَا يَزَالُ الرَّجُلُ يَكْذِبُ
وَيَتَحَرَّى الْكَذِبَ حَتَّى يُكْتَبَ عِنْدَ اللَّهِ كَذَّابًا

"Hendaklah kalian senantiasa berlaku jujur, karena sesungguhnya kejujuran akan megantarkan pada kebaikan dan sesungguhnya kebaikan akan mengantarkan pada surga.
Jika seseorang senantiasa berlaku jujur dan berusaha untuk jujur, maka dia
akan dicatat di sisi Allah sebagai orang yang jujur.
Hati-hatilah kalian dari berbuat dusta, karena sesungguhnya dusta akan mengantarkan kepada kejahatan dan kejahatan akan mengantarkan pada neraka.
Jika seseorang sukanya berdusta dan berupaya untuk berdusta, maka ia akan
dicatat di sisi Allah sebagai pendusta."[5]
Terkhusus lagi, beliau memerintahkan kejujuran ini pada pedagang karena
memang kebiasaan para pedagang adalah melakukan penipuan dan menempuh
segala cara demi melariskan barang dagangan.
Dari Rifaah, ia mengatakan bahwa ia pernah keluar bersama Nabi shallallahu
alaihi wa sallam ke tanah lapang dan melihat manusia sedang melakukan
transaksi jual beli. Beliau lalu menyeru, "Wahai para pedagang!"
Orang-orang pun memperhatikan seruan Rasulullah shallallahu alaihi wa
sallam sambil menengadahkan leher dan pandangan mereka pada beliau. Lantas
Nabi shallallahu alaihi wa sallam bersabda,

إِنَّ التُّجَّارَ يُبْعَثُونَ يَوْمَ الْقِيَامَةِ فُجَّارًا إِلاَّ مَنِ اتَّقَى اللَّهَ وَبَرَّ وَصَدَقَ

"Sesungguhnya para pedagang akan dibangkitkan pada hari kiamat nanti
sebagai orang-orang fajir (jahat) kecuali pedagang yang bertakwa pada
Allah, berbuat baik dan berlaku jujur."[6]

Berlaku jujur juga akan menuai berbagai keberkahan. Yang dimaksud
keberkahan adalah tetapnya dan bertambahnya kebaikan.
Dari sahabat Hakim bin Hizam, Nabi shallallahu alaihi wa sallam bersabda,

الْبَيِّعَانِ بِالْخِيَارِ مَا لَمْ يَتَفَرَّقَا أَوْ قَالَ حَتَّى يَتَفَرَّقَا فَإِنْ صَدَقَا وَبَيَّنَا بُورِكَ لَهُمَا فِى بَيْعِهِمَا , وَإِنْ كَتَمَا وَكَذَبَا مُحِقَتْ بَرَكَةُ بَيْعِهِمَا

"Kedua orang penjual dan pembeli masing-masing memiliki hak pilih (khiyar)
selama keduanya belum berpisah. Bila keduanya berlaku jujur dan saling
terus terang, maka keduanya akan memperoleh keberkahan dalam transaksi
tersebut. Sebaliknya, bila mereka berlaku dusta dan saling menutup-nutupi,
niscaya akan hilanglah keberkahan bagi mereka pada transaksi itu."[7]
Inilah buah yang dipetik dari pedagang yang tidak berlaku jujur. Sedangkan
sebaliknya jika pedagang bisa berlaku jujur, maka ia pun akan menuai
berbagai kebaikan dan keberkahan.

3. Mudah Memaafkan dan Tawadhu, Menuai Kemuliaan

Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam bersabda,
مَا نَقَصَتْ صَدَقَةٌ مِنْ مَالٍ وَمَا زَادَ اللَّهُ رَجُلاً بِعَفْوٍ إِلاَّ عِزًّا وَمَا تَوَاضَعَ أَحَدٌ لِلَّهِ إِلاَّ رَفَعَهُ اللَّهُ

"Sedekah tidak mungkin mengurangi harta. Tidaklah seseorang suka memaafkan,
melainkan ia akan semakin mulia. Tidaklah seseorang bersikap tawadhu
(rendah diri) karena Allah, melainkan Allah akan meninggikan derajatnya."[8]
Seseorang yang selalu memaafkan akan semakin mulia dan bertambah
kemuliaannya. Ia juga akan mendapatkan balasan dan kemuliaan di akhirat.
Begitu pula orang yang tawadhu (rendah diri) karena Allah, ia akan
ditinggikan derajatnya di dunia, Allah akan senantiasa meneguhkan hatinya
dan meninggikan derajatnya di sisi manusia, serta kedudukannya pun akan
semakin mulia. Di akhirat pun, Allah akan meninggikan derajatnya karena
ketawadhuannya di dunia.[9]

4. Berperilaku Baik, Menjadi Teman Akrab

Allah Taala berfirman,
وَلَا تَسْتَوِي الْحَسَنَةُ وَلَا السَّيِّئَةُ ادْفَعْ بِالَّتِي هِيَ أَحْسَنُ فَإِذَا الَّذِي بَيْنَكَ وَبَيْنَهُ عَدَاوَةٌ كَأَنَّهُ وَلِيٌّ
حَمِيمٌ (34) وَمَا يُلَقَّاهَا إِلَّا الَّذِينَ صَبَرُوا وَمَا يُلَقَّاهَا إِلَّا ذُو حَظٍّ عَظِيمٍ (35(

"Dan tidaklah sama kebaikan dan kejahatan. Tolaklah (kejahatan itu) dengan
cara yang lebih baik, maka tiba-tiba orang yang antaramu dan antara dia ada
permusuhan seolah-olah telah menjadi teman yang sangat setia. Sifat-sifat
yang baik itu tidak dianugerahkan melainkan kepada orang-orang yang sabar
dan tidak dianugerahkan melainkan kepada orang-orang yang mempunyai
keuntungan yang besar." (QS. Fushilat: 34-35)
Sahabat yg mulia, Ibnu Abbas -radhiyallahu anhuma- mengatakan, Allah
memerintahkan pada orang beriman untuk bersabar ketika ada yang membuat
marah, membalas dengan kebaikan jika ada yang buat jahil, dan memaafkan
ketika ada yang buat jelek. Jika setiap hamba melakukan semacam ini, Allah
akan melindunginya dari gangguan setan dan akan menundukkan musuh-musuhnya.
Malah yang semula bermusuhan bisa menjadi teman dekatnya karena tingkah
laku baik semacam ini.
Ibnu Katsir rahimahullah mengatakan, Namun yang mampu melakukan seperti ini
adalah orang yang memiliki kesabaran. Karena membalas orang yg menyakiti
kita dengan kebaikan adalah suatu yang berat bagi setiap jiwa.[10]

5. Menolong dan Memudahkan Sesama, Menuai Pertolongan dan Kemudahan dari Allah

Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda,
مَنْ نَفَّسَ عَنْ مُؤْمِنٍ كُرْبَةً مِنْ كُرَبِ الدُّنْيَا نَفَّسَ اللَّهُ عَنْهُ كُرْبَةً مِنْ كُرَبِ يَوْمِ الْقِيَامَةِ وَمَنْ يَسَّرَ عَلَى
مُعْسِرٍ يَسَّرَ اللَّهُ عَلَيْهِ فِى الدُّنْيَا وَالآخِرَةِ وَمَنْ سَتَرَمُسْلِمًا سَتَرَهُ اللَّهُ فِى الدُّنْيَا وَالآخِرَةِ وَاللَّهُ فِى عَوْنِ
الْعَبْدِ مَا كَانَ الْعَبْدُ فِى عَوْنِ أَخِيهِ
"Barangsiapa meringankan sebuah kesusahan (kesedihan) seorang mukmin di dunia,
Allah akan meringankan kesusahannya pada hari kiamat.
Barangsiapa memudahkan urusan seseorang yang dalam keadaan sulit,
Allah akan memberinya kemudahan di dunia dan akhirat.
Barangsiapa menutup 'aib seseorang, Allah pun akan menutupi 'aibnya di dunia dan akhirat.
Allah akan senantiasa menolong hamba-Nya, selama hamba tersebut menolong saudaranya."[11]

Di antara bentuk pertolongan di sini adalah seseorang memberikan kemudahan
dalam masalah utang. Ini bisa dilakukan dengan dua cara. Cara pertama,
memberikan tenggang waktu pelunasan dari tempo yang diberikan, ini hukumnya
wajib. Karena Allah Taala berfirman,
وَإِنْ كَانَ ذُو عُسْرَةٍ فَنَظِرَةٌ إِلَى مَيْسَرَةٍ

"Dan jika (orang yang berhutang itu) dalam kesukaran, maka berilah tangguh
sampai dia berkelapangan." (QS. Al Baqarah: 280). Cara kedua, dengan
memutihkan hutang tersebut, dan ini dianjurkan. Sebagaimana Allah Taala
berfirman,
وَأَنْ تَصَدَّقُوا خَيْرٌ لَكُمْ إِنْ كُنْتُمْ تَعْلَمُونَ

"Dan menyedekahkan (sebagian atau semua utang) itu, lebih baik bagimu, jika
kamu mengetahui." (QS. Al Baqarah: 280)
Berkebalikan dari sikap baik ini adalah mengenakan riba pada saudaranya
yang menunda utang. Ini adalah berkebalikan dari memberi kemudahan. Maka
tentu saja orang yang memberi kesulitan pada saudaranya akan menuai hasil
yang sebaliknya.

6. Usaha disertai Tawakkal akan Menuai Hasil

Dari Umar bin Al Khoththob radhiyallahu 'anhu berkata bahwa Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda,
لَوْ أَنَّكُمْ تَتَوَكَّلُونَ عَلَى اللهِ حَقَّ تَوَكُّلِهِ لَرَزَقَكُمْ كَمَا يَرْزُقُ الطَّيْرَ , تَغْدُو خِمَاصاً وَتَرُوحُ بِطَاناً

"Seandainya kalian betul-betul bertawakkal pada Allah, sungguh Allah akan
memberikan kalian rizki sebagaimana burung mendapatkan rizki. Burung
tersebut pergi pada pagi hari dalam keadaan lapar dan kembali sore harinya
dalam keadaan kenyang."[12]
Burung ini melakukan usaha dan bertawakkal pada Allah,
akhirnya ia pun kenyang ketika pulang di sore hari.
Ini berarti tanpa usaha, tidak akan memperoleh hasil apa-apa. Dan usaha tanpa tawakkal,
hanya akan memperoleh sekadar yang Allah takdirkan. Yang tepat adalah usaha
disertai tawakkal, niscaya hasil memuaskan yang akan dituai.

7. Berbuat Curang, Menuai Berbagai Musibah

Nabi shallallahu alaihi wa sallam bersabda,
وَلَمْ يَنْقُصُوا الْمِكْيَالَ وَالْمِيزَانَ إِلاَّ أُخِذُوا بِالسِّنِينَ وَشِدَّةِ الْمَؤُنَةِ وَجَوْرِ السُّلْطَانِ عَلَيْهِمْ
"Dan tidaklah mereka berbuat curang ketika menakar dan menimbangm melainkan
mereka akan ditimpa kekeringan, mahalnya biaya hidup dan kelaliman para
penguasa."[13]
Dan sebab curang dalam perniagaaan inilah sebab dibinasakannya kaum Madyan,
umat Nabi Syuaib alaihis salam. Allah Taala memerintahkan pada kaum Madyan,
أَوْفُوا الْكَيْلَ وَلَا تَكُونُوا مِنَ الْمُخْسِرِينَ (181) وَزِنُوا بِالْقِسْطَاسِ الْمُسْتَقِيمِ (182) وَلَا تَبْخَسُوا النَّاسَ أَشْيَاءَهُمْ وَلَا تَعْثَوْا فِي الْأَرْضِ مُفْسِدِينَ (183(

"Sempurnakanlah takaran dan janganlah kamu termasuk orang- orang yang
merugikan; dan timbanglah dengan timbangan yang lurus. Dan janganlah kamu
merugikan manusia pada hak-haknya dan janganlah kamu merajalela di muka
bumi dengan membuat kerusakan." (QS. Asy Syuara: 181-183)

Jadi ingatlah, setiap yang kita tanam -baik kebaikan maupun kejelekan-,
pasti kita akan menuai hasilnya. Oleh karenanya, bersemangatlah dalam
menanam kebaikan dan janganlah pernah mau menanam kejelekan.
Para ulama seringkali mengutarakan, "Balasan dari kebaikan adalah kebaikan setelahnya.
Sedangkan balasan dari kejelekan adalah kejelekan setelahnya."[14]
Segala puji bagi Allah yang dengan nikmat-Nya segala kebaikan menjadi
sempurna.

8 Hal Yang Perlu di Perhatikan Muslimah

4/18/2011 01:49:00 PM Posted In Edit This 0 Comments »
kebanyakan saudari muslimah secara tidak sadar atau karena belum tahu hukumnya dalam islam, melakukan hal-hal yang tidak sesuai syariat islam. Hal-hal yang dilarang keras bahkan pelakunya diancam siksaan yang pedih. Padahal Allah sudah memberikan tuntunan dan peringatan serta balasan atas perbuatan yang dilakukan.

1.Kewajiban memakai Jilbab
Masih saja ada yang menanyakan(menyangsikan) kewajiban berjilbab. Padahal dasar hukumnya sudah jelas yaitu:
oSurat Al-Ahzab ayat 59 (33:59)

Hai Nabi katakanlah kepada istri-istrimu, anak-anak perempuanmu dan istri-istri orang mukmin: “Hendaklah mereka mengulurkan hijab keseluruh tubuh mereka.” Yang demikian itu supaya mereka lebihi mudah untuk dikenal, karena itu mereka tidak diganggu. Dan Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.
oSurat An-Nuur: ayat 31 (24:31)
Katakanlah kepada wanita yang beriman: “Hendaklah mereka menahan pandangannya, dan memelihara kemaluannya, dan janganlah mereka menampakkan perhiasanny, kecuali yang biasa tampak padanya. Dan hendaklah mereka menutup kain kudung kedadanya dan janganlah menampakkan perhiasannya kecuali kepada suami mereka atau ayah mereka, atau ayah suami mereka, atau putra-putri mereka atau putra-putri suami mereka, atau saudara-saudara laki-laki mereka, atau putra-putra saudara-saudara laki-laki mereka, atau putra-putra saudara perempuan mereka, atau wanita-wanita Islam, atau buda-budak yang mereka miliki, atau pelayan-pelayan lelaki yang tidak mempunyai keinginan terhadap wanita, atau anak-anak yang belum mengerti aurat wanita. Dan janganlah mereka memukulkan kakinya agar diketahui perhiasan yang mereka sembunyikan. Dan bertobatlah kamu sekalian kepada Allah hai orang-orang beriman supaya kamu beruntung ”

“(Ini adalah) satu surat yang kami turunkan dan kami wajibkan (menjalankan hukum-hukum yang ada di dalam)nya, dan kami turunkan di dalamnya ayat ayat yang jelas, agar kamu selalu mengingatinya”. (An-Nuur:1)

Ayat pertama Surat An-Nuur yang mendahului ayat-ayat yang lain. Yang berarti hukum-hukum yang berada di surat itu wajib hukumnya.
o Al-Hafizh Ibnu Katsir berkata dalam Tafsirnya:
“Janganlah kaum wanita menampakkan sedikitpun dari perhiasan mereka kepada pria-pria ajnabi (yang bukan mahram/halal nikah), kecuali yang tidak mungkin disembunyikan.”
o Ibnu Masud berkata : Misalnya selendang dan kain lainnya. “Maksudnya adalah kain kudung yang biasa dikenakan oleh wanita Arab di atas pakaiannya serat bagian bawah pakiannya yang tampak, maka itu bukan dosa baginya, karena tidak mungkin disembunyikan.”
o Al-Qurthubi berkata: Pengecualian itu adalah pada wajah dan telapak tangan. Yang menunjukkan hal itu adalah apa yang diriwayatkan oleh Abu Daud dari Aisyah bahwa Asma binti Abu Bakr menemui Rasulullah shalallohu 'alahi wa sallam sedangkan ia memakai pakaian tipis. Maka Rasulullah berpaling darinya dan berkata kepadanya :
“Wahai Asma ! Sesungguhnya jika seorang wanita itu telah mencapai masa haid, tidak baik jika ada bagian tubuhnya yang terlihat, kecuali ini.” Kemudian beliau menunjuk wajah dan telapak tangannya. Semoga Allah memberi Taufik dan tidak ada Rabb selain-Nya.”
o Juga berdasarkan sabda Nabi shalallohu 'alahi wa sallam:
“Ada tida golongan yang tidak akan ditanya yaitu, seorang laki-laki yang meninggalkan jamaah kaum muslimin dan mendurhakai imamnya (penguasa) serta meninggal dalam keadaan durhaka, seorang budak wanita atau laki-laki yang melarikan diri (dari tuannya) lalu ia mati, serta seorang wanita yang ditinggal oleh suaminya, padahal suaminya telah mencukupi keperluan duniawinya, namun setelah itu ia bertabarruj. Ketiganya itu tidak akan ditanya.” (Ahmad VI/19; Al-Bukhari dalam Al-Adab Al-Mufrad).
Tabarruj adalah perilaku wanita yang menampakkan perhiasan dan kecantikannya serta segala sesuatu yang wajib ditutup karena dapat membangkitkan syahwat laki-laki. (Fathul Bayan VII/19).

Masihkah menyangsikan kewajiban mamakai Jilbab?

2.Menggunjing, Gosip = Ghibah
Maaf saudari muslimah, ini juga sangat2 sering dilakukan tanpa sadar. Begitu saja terjadi dan tiak terasa bahwa itu salah satu dosa, karena begitu biasanya. Definisi ghibah dapat kita lihat dalam hadits Rasulullah berikut ini:

“Ghibah ialah engkau menceritakan saudaramu tentang sesuatu yang ia benci.” Si penanya kembali bertanya, “Wahai Rasulullah, bagaimanakah pendapatmu bila apa yang diceritakan itu benar ada padanya ?” Rasulullah menjawab, “kalau memang benar ada padanya, itu ghibah namanya. Jika tidak benar, berarti engkau telah berbuat buhtan (mengada-ada).” (HR. Muslim, Tirmidzi, Abu Dawud, dan Ahmad).

Berdasarkan hadits di atas telah jelas bahwa definisi ghibah yaitu menceritakan tentang diri saudara kita sesuatu yang ia benci meskipun hal itu benar. Ini berarti kita menceritakan dan menyebarluaskan keburukan dan aib saudara kita kepada orang lain. Allah sangat membenci perbuatan ini dan mengibaratkan pelaku ghibah seperti seseorang yang memakan bangkai saudaranya sendiri. Allah berfirman:

” Hai orang-orang yang beriman, jauhilah kebanyakan dari prasangka, sesungguhnya sebagian prasangka itu adalah dosa dan janganlah kamu mencari-cari kesalahan orang lain dan janganlah sebagian kamu menggunjing sebagian yang lain. Sukakah salah seorang diantara kamu memakan daging saudaranya yang sudah mati? Maka tentulah kamu merasa jijik kepadanya. Dan bertakwalah kepada Allah. Sesungguhnya Allah Maha Penerima taubat lagi Maha Penyayang.” (QS. Al-Hujurat: 12)

3. Menjaga Suara
Suara empuk dan tawa canda seorang wanita terlalu sering kita dengarkan di sekitar kita, baik secara langsung atau lewat radio dan televisi. Terlebih lagi bila wanita itu berprofesi sebagai penyiar atau MC karena memang termasuk modal utamanya adalah suara yang indah dan merdu. Begitu mudahnya wanita memperdengarkan suaranya yang bak buluh perindu, tanpa ada rasa takut kepada Allah Subhanahu Wa Ta’ala. Padahal Dia telah memperingatkan:

“Maka janganlah kalian merendahkan suara dalam berbicara sehingga berkeinginan jeleklah orang yang ada penyakit dalam hatinya dan ucapkanlah perkataan yang ma‘ruf.” (Al Ahzab: 32)

Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam juga telah bersabda : “Wanita itu adalah aurat, apabila ia keluar rumah maka syaitan menghias-hiasinya (membuat indah dalam pandangan laki-laki sehingga ia terfitnah)”. (HR. At Tirmidzi, dishahihkan dengan syarat Muslim oleh Asy Syaikh Muqbil bin Hadi Al Wadi`i dalam Ash Shahihul Musnad, 2/36).
Sebagai muslimah harus menjaga suara saat berbicara dalam batas kewajaran bukan sengaja dibikin mendesah-desah, mendayu-dayu, merayu, dan semisalnya. Wallahu a’lam

4. Mencukur alis mata
Abdullah bin Mas'ud RadhiyAllohu 'anhu, dia berkata :

"Alloh Subhanahu wa Ta’ala melaknat wanita yang mencukur alisnya dan wanita yang minta dicukurkan alisnya, wanita yang minta direnggangkan giginya untuk mempercantik diri, yang mereka semua merubah ciptaan Alloh".

Mencukur alis atau menipiskannya, baik dilakukan oleh wanita yang belum menikah atau sudah menikah, dengan alasan mempercantik diri untuk suami atau lainnya tetap diharamkan, sekalipun disetujui oleh suaminya. Karena yang demikian termasuk merubah penciptaan Allah yang telah menciptakannya dalam bentuk yang sebaik- baiknya. Dan telah datang ancaman yang keras serta laknat bagi pelakunya. Ini menunjukkan bahwa perbuatan tersebut adalah haram.

5.Memakai Wangi-wangian
Dari Abu Musa Al-Asyari bahwasannya ia berkata: Rasulullah shalallohu 'alahi wa sallam bersabda:

“Siapapun wanita yang memakai wewangian, lalu ia melewati kaum laki-laki agar mereka mendapatkan baunya, maka ia adalah pezina.” (Al-Hakim II/396 dan disepakati oleh Adz-Dzahabi).

Dari Zainab Ats-Tsaqafiyah bahwasannya Nabi bersabda shalallohu 'alahi wa sallam:

“Jika salah seorang diantara kalian (kaum wanita) keluar menuju masjid, maka jangan sekali-kali mendekatinya dengan (memakai) wewangian.” (Muslim dan Abu Awanah).

Dari Musa bin Yasar dari Abu Hurairah: Bahwa seorang wanita berpapasan dengannya dan bau wewangian tercium olehnya. Maka Abu Hurairah berkata :

Wahai hamba Allah ! Apakah kamu hendak ke masjid ? Ia menjawab : Ya. Abu Hurairah kemudian berkata : Pulanglah saja, lalu mandilah ! karena sesungguhnya aku telah mendengar Rasulullah bersabda : “Jika seorang wanita keluar menuju masjid sedangkan bau wewangian menghembus maka Allah tidak menerima shalatnya, sehingga ia pulang lagi menuju rumahnya lalu mandi.” (Al-Baihaqi III/133).

Alasan pelarangannya sudah jelas, yaitu bahwa hal itu akan membangkitkan nafsu birahi. Ibnu Daqiq Al-Id berkata :

“Hadits tersebut menunjukkan haramnya memakai wewangian bagi wanita yang hendak keluar menuju masjid, karena hal itu akan dapat membangkitkan nafsu birahi kaum laki-laki” (Al-Munawi : Fidhul Qadhir).

Syaikh Albani mengatakan: Jika hal itu saja diharamkan bagi wanita yang hendak keluar menuju masjid, lalu apa hukumnya bagi yang hendak menuju pasar, atau tempat keramaian lainnya ? Tidak diragukan lagi bahwa hal itu jauh lebih haram dan lebih besar dosanya. Berkata Al-Haitsami dalam AZ-Zawajir II/37

“Bahwa keluarnya seorang wanita dari rumahnya dengan memakai wewangian dan berhias adalah termasuk perbuatan dosa besar meskipun suaminya mengizinkan”.

6. Memakai Pakaian transparan dan membentuk tubuh/ketat

Sebab yang namanya menutup itu tidak akan terwujud kecuali tidak trasparan. Jika transparan, maka hanya akan mengundang fitnah (godaan) dan berarti menampakkan perhiasan. Dalam hal ini Rasulullah telah bersabda :

“Pada akhir umatku nanti akan ada wanita-wanita yang berpakain namun (hakekatnya) telanjang. Di atas kepala mereka seperti punuk unta. Kutuklah mereka karena sebenarnya mereka adalah kaum wanita yang terkutuk.” (At-Thabrani Al-Mujamusshaghir : 232).


Di dalam hadits lain terdapat tambahan yaitu :
“Mereka tidak akan masuk surga dan juga tidak akan mencium baunya, padahal baunya surga itu dapat dicium dari perjalanan sekian dan sekian.” (HR.Muslim).


Ibnu Abdil Barr berkata :
“Yang dimaksud oleh Nabi adalah kaum wanita yang mengenakan pakaian yang tipis, yang dapat mensifati (menggambarkan) bentuk tubuhnya dans tidak dapat menutup atau menyembunyikannya. Mereka itu tetap berpakaian namanya, akan tetapi hakekatnya telanjang.” ( Tanwirul Hawalik III/103).


Dari Abdullah bin Abu Salamah, bahawsanya Umar bin Al-Khattab pernah memakai baju Qibtiyah (jenis pakaian dari Mesir yang tipis dan berwarna putih) kemudian Umar berkata :

“Jangan kamu pakaikan baju ini untuk istri-istrimu !. Seseorang kemudian bertanya : Wahai Amirul Muminin, Telah saya pakaikan itu kepada istriku dan telah aku lihat di rumah dari arah depan maupun belakang, namun aku tidak melihatnya sebagai pakaian yang tipis !. Maka Umar menjawab : Sekalipun tidak tipis,namun ia menggambarkan lekuk tubuh.” (H.R. Al-Baihaqi II/234-235).


Usamah bin Zaid pernah berkata: Rasulullah shalallohu 'alahi wa sallam pernah memberiku baju Qibtiyah yang tebal yang merupakan baju yang dihadiahkan oleh Dihyah Al-Kalbi kepada beliau. Baju itu pun aku pakaikan pada istriku. Nabi bertanya kepadaku: “Mengapa kamu tidak mengenakan baju Qibtiyah ?” Aku menjawab : Aku pakaikan baju itu pada istriku. Nabi lalu bersabda :

“Perintahkan ia agar mengenakan baju dalam di balik Qibtiyah itu, karena saya khawatir baju itu masih bisa menggambarkan bentuk tulangnya.” (Ad-Dhiya Al-Maqdisi : Al-Hadits Al-Mukhtarah I/441).


Aisyah pernah berkata:
” Seorang wanita dalam shalat harus mengenakan tiga pakaian : Baju, jilbab dan khimar. Adalah Aisyah pernah mengulurkan izar-nya (pakaian sejenis jubah) dan berjilbab dengannya (Ibnu Sad VIII/71).


Pendapat yang senada juga dikatakan oleh Ibnu Umar : Jika seorang wanita menunaikan shalat, maka ia harus mengenakan seluruh pakainnya :
Baju, khimar dan milhafah (mantel)” (Ibnu Abi Syaibah: Al-Mushannaf II:26/1).


7. Memakai Pakaian menyerupai pakaian Laki-laki

Karena ada beberapa hadits shahih yang melaknat wanita yang menyerupakan diri dengan kaum pria, baik dalam hal pakaian maupun lainnya. Dari Abu Hurairah berkata:

“Rasulullah melaknat pria yang memakai pakaian wanita dan wanita yang memakai pakaian pria” (Al-Hakim IV/19 disepakati oleh Adz-Dzahabi).


Dari Abdullah bin Amru yang berkata: Saya mendengar Rasulullah shalallohu 'alahi wa sallam bersabda:
“Tidak termasuk golongan kami para wanita yang menyerupakan diri dengan kaum pria dan kaum pria yang menyerupakan diri dengan kaum wanita.” (Ahmad II/199-200)

Dari Ibnu Abbas yang berkata: Nabi shalallohu 'alahi wa sallam melaknat kaum pria yang bertingkah kewanita-wanitaan dan kaum wanita yang bertingkah kelaki-lakian. Beliau bersabda :
“Keluarkan mereka dari rumah kalian. Nabi pun mengeluarkan si fulan dan Umar juga mengeluarkan si fulan.”


Dalam lafadz lain :
“Rasulullah melaknat kaum pria yang menyerupakan diri dengan kaum wanita dan kaum wanita yang menyerupakan diri dengan kaum pria.” (Al-Bukhari X/273-274).

Dari Abdullah bin Umar, Rasulullah shalallohu 'alahi wa sallam bersabda:
“Tiga golongan yang tidak akan masuk surga dan Allah tidak akan memandang mereka pada hari kiamat; Orang yang durhaka kepada kedua orang tuanya, wanita yang bertingkah kelaki-lakian dan menyerupakan diri dengan laki-laki dan dayyuts (orang yang tidak memiliki rasa cemburu).” ( Al-Hakim I/72 dan IV/146-147 disepakati Adz-Dzahabi).

Dalam hadits-hadits ini terkandung petunjuk yang jelas mengenai diharamkannya tindakan wanita menyerupai kaum pria, begitu pula sebaiknya. Ini bersifat umum, meliputi masalah pakaian dan lainnya, kecuali hadits yang pertama yang hanya menyebutkan hukum dalam masalah pakaian saja.

8. Memakai Pakaian menyerupai pakaian Wanita Kafir

Syariat Islam telah menetapkan bahwa kaum muslimin (laki-laki maupun perempuan) tidak boleh bertasyabuh (menyerupai) kepada orang-orang kafir, baik dalam ibadah, ikut merayakan hari raya, dan berpakain khas mereka. Dalilnya Firman Allah Subhanahu Wa Ta'ala surat Al-Hadid ayat 16, yang artinya :

“Belumkah datang waktunya bagi orang-orang yang beriman, untuk tunduk hati mereka mengingat Allah dan kepada kebenaran yang telah turun (kepada mereka) dan janganlah mereka seperti orang-orang yang sebelumnya telah diturunkan Al-Kitab kepadanya, kemudian berlalulah masa yang panjang atas mereka lalu hati mereka menjadi keras. Dan kebanyakan di antara mereka adalah orang-orang yang fasik(Al-Hadid:16).”

Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah berkata: Firman Allah Subhanahu Wa Ta'ala dalam surat Al-Hadid ayat 16, yang artinya:
“Janganlah mereka seperti...” merupakan larangan mutlak dari tindakan menyerupai mereka, di samping merupakan larangan khusus dari tindakan menyerupai mereka dalam hal membatunya hati akibat kemaksiatan (Al-Iqtidha... hal. 43).

Ibnu Katsir berkata ketika menafsirkan ayat ini (IV/310): Karena itu Allah Subhanahu Wa Ta'ala melarang orang-orang beriman menyerupai mereka dalam perkara-perkara pokok maupun cabang. Allah berfirman : Artinya:
“Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu katakan (kepada Muhammad).“Raaina” tetapi katakanlah “Unzhurna” dan dengarlah. Dan bagi orang-orang yang kafir siksaan yang pedih” (Q.S. Al-baqarah:104).

Lebih lanjut Ibnu Katsir berkata dalam tafsirnya (I/148): Allah melarang hamba-hamba-Nya yang beriman untuk mnyerupai ucapan-ucapan dan tindakan-tindakan orang-orang kafir. Sebab, orang-orang Yahudi suka menggunakan plesetan kata dengan tujuan mengejek.

Jika mereka ingin mengatakan “Dengarlah kami” mereka mengatakan “Raaina” sebagai plesetan kata “ruunah” (artinya ketotolan) sebagaimana firman Allah dalam surat An-Nisa ayat 46. Allah juga telah memberi tahukan dalam surat Al-Mujadalah ayat 22, bahwa tidak ada seorang mu’min yang mencintai orang-orang kafir. Barangsiapa yang mencintai orang-orang kafir, maka ia bukan orang mu’min, sedangkan tindakan menyerupakan diri secara lahiriah merupakan hal yang dicurigai sebagai wujud kecintaan, oleh karena itu diharamkan.

Sumber:

1.mediamuslim.info

7 Indikator Kebahagian

4/18/2011 01:28:00 PM Posted In Edit This 0 Comments »
Berdasarkan riwayat dalam tafsir Ibnu Katsir, suatu saat Rasulullah SAW bertemu dengan salah seorang sahabat yang kondisinya memprihatinkan sekali. Saking miskinnya, Nabi SAW bertanya : Kenapa kamu mengalami kondisi seperti ini ? Orang itu menjawab dengan penuh percaya diri : Ya Rasulullah, saya miskin seperti ini justru karena doa saya. Kemudian Nabi SAW bertanya kembali : Kamu suka berdoa apa ? Saya suka berdoa begini: Ya Allah berilah aku kemelaratan dunia dan jadikanlah kemelaratan dunia itu menjadi perahu yang mengantarkan saya ke kebahagiaan akhirat. Jadi walaupun saya miskin begini, saya bangga karena doa saya terkabulkan. Ya mudah-mudahan akhirat ada digenggaman saya.
Mendengar jawaban itu Rasulullah SAW hanya berkomentar begini : Kamu mau enggak aku tunjukkan doa yang lebih bagus ? Lalu kata Nabi SAW : Kenapa kamu tidak berdoa begini : Rabbanaa aatina fid dun-yaa hasanaw wa fil aakhirati hasanaw wa qinaa ‘adzaaban naar.
Cerita di atas merupakan asal usul doa tersebut, sehingga di dalam Al Qur’an surat Al-Baqarah ayat 201 ada kata-kata wa minhum yang artinya dan diantara mereka ada yang berdoa rabbanaa aatina fid dun-yaa hasanaw wa fil aakhirati hasanaw wa qinaa ‘adzaaban naar. Pengertian wa minhum disini, selain ada yang berdoa menurut Al-Qur’an tersebut, tersirat pula arti ada yang berdoa tidak seperti itu, yaitu seperti orang yang ditanya Rasulullah SAW itu tadi. Sebagian arti doa tersebut adalah: Ya Allah berilah kebahagiaan dunia. Sesungguhnya kebahagiaan dunia itu adalah sebuah konsep. Yang menjadi pertanyaan sekarang adalah, indikator kebahagiaan dunia itu apa ? Karena masing-masing orang mempunyai pendapat yang berbeda tentang kebahagiaan dunia, sehingga perlu ada kesepakatan mengenai arti dari kebahagiaan dunia itu sendiri.
Di dalam sebuah tafsir, Ibnu Abbas (Salah seorang sahabat Nabi SAW yang sangat telaten melayani Rasulullah SAW dan pernah didoakan Rasulullah SAW. Selain itu pula pada saat sembilan tahun Ibnu Abbas telah hafal Al-Quran dan telah menjadi imam di mesjid) ditanya oleh para Tabi’in mengenai apa yang dimaksud dengan kebahagiaan dunia. Jawab Ibnu Abbas ada 7 (tujuh) indikator kebahagiaan dunia, yaitu :
Pertama Qalbun syakirun atau hati yang selalu bersyukur.
Jadi kalau kita ingin bahagia di dunia, hati kita harus selalu mempunyai jiwa syukur,
artinya selalu menerima apa adanya. Apapun yang ada digenggaman kita harus disyukuri, walaupun dalam keadaan sulit. Supaya bersyukur dalam keadaan sulit Nabi SAW mengatakan: Kalau kita sedang sulit perhatikan orang yang lebih sulit dari kita.
Kedua. Al azwaju shalihah, yaitu pasangan hidup yang sholeh.
Dalam surat At-Tahriim ayat 9, 10, dan 11, disebutkan ada tiga tipe pasangan hidup yaitu: Tipe pertama adalah tipe pasangan Nabi Nuh AS, dimana Nabi Nuh soleh tetapi istrinya tidak. Tipe pasangan kedua adalah tipe pasangan hidup Fir’aun. Fir’aun begitu dholim tetapi istrinya begitu sholeh. Sehingga istrinya Fir’aun tersebut termasuk ke dalam tiga wanita paling soleh, yaitu Siti Khadijah istri Rasulullah SAW, Siti Maryam ibunya Nabi Isa AS, dan Siti Asiyah istrinya Firaun. Siti Asiyah ini di dalam surat At-Tahriim merupakan istri yang telah dijanjikan Allah surga. Tipe pasangan ketiga adalah tipe pasangan Imran. Imran itu seorang yang soleh, punya istri yang soleh, punya anak yang bernama Maryam serta punya cucu bernama Nabi Isa AS yang juga soleh. Jadi keluarga Imran ini, merupakan gambaran keluarga yang semuanya soleh, selain Imran sendiri soleh, istri, anak, dan cucu juga orang-orang yang soleh. Sekarang kita tinggal mengevaluasi mengenai pasangan hidup kita, apakah seperti Nabi Nuh AS, seperti Firaun, ataukah seperti Imran. Sedikit tambahan mengenai Fir’aun. Fir’aun itu berkuasa, kaya dan sombong. Kata Imam Ghazali ada 3 hal yang membuat kita sombong, pertama ilmu dan kecerdasan. Ilmu dan kecerdasan itu sangat rawan mengantarkan kita kepada kesombongan, makanya Allah sangat cinta kepada orang-orang yang berilmu tetapi rendah hati, dan Allah sangat murka kepada orang-orang bodoh dan takabur. Yang kedua adalah kekuasaan. Sedang yang ketiga adalah kekayaan. Jadi yang membuat kita sombong itu ialah harta, ilmu dan kekuasaan. Fir’aun mempunyai ketiga-tiganya, sehingga dia sombong hingga mengaku sebagai Tuhan.
Ketiga Ukuran kebaikan dunia itu adalah al auladun abrar, anak yang soleh.
Dicontohkan, di Bandung ada seorang petugas pembersih sampah yang anak-anaknya sukses. Anak yang pertama kuliah di MIT dan anak yang kedua sedang co-assistant di Fakultas Kedokteran Unpad. Karena kesuksesan dalam mendidik anak-anaknya itu banyak orang di sekitarnya yang memujinya. Ini menunjukkan bahwa anak merupakan ukuran kesuksesan. Bagi yang telah berkeluarga dan telah dikaruniai titipan anak, perlu pula diingat bahwa kita selain sebagai orangtua, kita juga adalah sebagai anak. Artinya kita juga harus menjadi anak yang soleh terhadap orang tua kita. Ada cerita pada saat Rasulullah SAW lagi thawaf. Rasulullah SAW bertemu dengan seorang anak muda yang pundaknya lecet-lecet. Setelah selesai thawaf Rasulullah SAW bertanya kepada anak muda itu : Kenapa pundakmu itu ? Jawab anak muda itu : Ya Rasulullah, saya dari Yaman, saya mempunyai seorang ibu yang sudah udzur. Saya sangat mencintai dia dan saya tidak pernah melepaskan dia. Saya melepaskan ibu saya hanya ketika buang hajat, ketika sholat, atau ketika istirahat, selain itu sisanya saya selalu menggendongnya. Lalu anak muda itu bertanya: Ya Rasulullah apakah kalau sudah melakukan itu, apakah aku termasuk kedalam orang yang sudah berbakti kepada orang tua ? Nabi SAW sambil memeluk anak muda itu mengatakan: Sungguh Allah ridho kepadamu, kamu anak yang soleh, anak yang berbakti, tapi anakku ketahuilah, cinta orangtuamu tidak akan terbalaskan olehmu. Dari Hadist tersebut kita mendapat gambaran bahwa oleh karena kita tidak mungkin membalas cinta dan kebaikan orang tua, setidak-tidaknya kita bisa menjadi anak yang soleh. Hal ini merupakan salah satu cara untuk membahagiakan mereka, karena ukuran kebahagiaan dunia itu adalah anak yang soleh.
Keempat. Ukuran kebahagiaan dunia itu adalah albiatu sholihah,
Yaitu lingkungan yang kondusif untuk iman kita. Yang dimaksud dengan lingkungan yang kondusif ialah, kita boleh mengenal siapapun tetapi untuk menjadikannya sebagai sahabat karib kita, haruslah orang-orang yang mempunyai nilai tambah terhadap keimanan kita. Komunitas kecil yang soleh itu luar biasa sekali. Dicontohkan ada mahasiswa yang kuliah di Ummul Qura dan ada mahasiswa yang kuliah di Sapporo, Jepang sini. Walaupun kedua mahasiswa tersebut soleh, yang kuliah di sini statusnya bisa jadi lebih soleh daripada yang kuliah di Ummul Qura karena lingkungan keduanya berbeda. Di Ummul Qura ada keterbatasan mengenai apa yang bisa dilihat, untuk pergi ke Masjidil Haram bisa dilakukan tiap hari, untuk melihat video film juga tidak ada, selain itu majalah yang aneh-aneh juga tidak ada, yang ada hanyalah majalah yang berbahasa Arab. Makin berat tantangan lingkungan kita tetapi kita mampu membentuk komunitas yang soleh berarti nilainya Insya Allah lebih tinggi.
Kelima. Ukuran kebahagiaan dunia adalah al malul halal, atau harta yang halal.
Paradigma dalam Islam mengenai harta bukanlah banyaknya harta tetapi halalnya. Ini tidak berarti Islam tidak menyuruh umatnya untuk kaya. Sebaliknya, Islam itu menyuruh kaum muslimin menjadi orang kaya Dimana hal ini tersirat di dalam sabda Rasulullah SAW: Ajarilah anakmu berenang, berkuda dan memanah. Di dalam sabda Nabi SAW ini tersirat bahwa seorang muslim harus kaya, tetapi dengan catatan untuk mendapatkannya jangan sampai menghalalkan segala cara. Dalam riwayat Imam Muslim di dalam bab sadaqoh, Rasulullah SAW pernah bertemu dengan seorang sahabat yang berdoa mengangkat tangan. Kamu berdoa sudah bagus, kata Nabi SAW, Namun sayang makanan, minuman dan pakaian dan tempat tinggalnya didapat secara haram, bagaimana doanya dikabulkan. Jadi salah satu penyebab doa tidak dikabulkan adalah karena ada yang haram. Yang haram itu dibedakan menjadi dua macam, yaitu zat yang haram dan cara yang haram. Mengenai zat yang haram umumnya kita bisa meninggalkannya tetapi untuk cara yang haram kadang-kadang masih suka ditekuni.
Keenam. Tafakuh fi dien. Semangat untuk memahami agama.
Jadi kalau kita bersemangat dalam memahami agama, berarti itu ciri kebahagiaan dunia. Umat islam itu terbagi ke dalam tiga kelompok, yaitu ada orang yang mengaku muslim, namun tidak mau mengamalkan Islam apalagi belajar Islam, tetapi orang itu kalau disebut kafir marah. Kelompok kedua, orang yang mengaku dirinya muslim, rajin mengamalkan Islam tetapi tidak mau belajar Islam. Kelompok ketiga, orang yang rajin mengamalkan Islam dan mau belajar Islam.
Ketujuh, yaitu umur yang baroqah.
Umur yang baroqah itu artinya umur yang semakin tua semakin soleh. Kita semua sebenarnya sedang antri untuk masuk ke lubang kubur, masalahnya adalah kita tidak tahu kapan kita meninggal. Kalau menggunakan teori probabilitas kita bisa melihatnya dari tahun kelahiran, artinya siapa yang lahir lebih dulu besar peluangnya duluan meninggal. Hanya saja, persoalannya Malakul Maut tidak pernah menggunakan teori probabilitas, Malakul Maut itu menggunakan teori determinan, atau teori kapling. Contohnya almarhumah Nike Ardilla, ia meninggal pada usia muda yaitu baru berusia 19 tahun dan sedang di puncak karir. Nike Ardilla meninggal tanpa disangka-sangka, ia meninggal seketika saat mobil yang dikendarainya kecelakaan karena bannya pecah. Demikian pula Lady Diana meninggal pada saat usia 37 tahun lebih 6 bulan. Karena kecelakaan mobil pula. Dari sini kita ketahui bahwa kematian itu gaib. Sehingga kita perlu merenungkan bahwa kita itu sesungguhnya mempunyai kapling, hanya saja kita tidak tahu kapling kita pada umur berapa. Walaupun demikian, kita tidak perlu takut dengan kematian, yang harus kita khawatirkan itu adalah apa yang kita bawa pada saat kita mati.
Dalam surat Fushshilat disebutkan bahwa orang meninggal itu ada dua macam, pertama adalah meninggalnya orang yang soleh. Orang yang soleh itu kalau rohnya diambil disambut oleh Malaikat Rahmat. Kata Malaikat Rahmat itu : ‘ala takhafu wa la takhzanu (jangan takut jangan khawatir). Sehingga orang yang soleh itu jasadnya ingin segera dikuburkan, qodimuni qodimuni, segera saya kuburkan. Sebaliknya dari meninggalnya orang soleh adalah meninggalnya orang yang bergelimang dengan maksiat, untuk mengerjakan sholat yang lima waktu saja tidak sempat, karena berbagai alasan kesibukan. Maka ketika rohnya lepas dari jasadnya, ia dicaci oleh malaikat azab, sampai ia berteriak begini rabbirijiun la alli amalu sholihan fima taraqtu, Tuhan kembalikan roh ke dalam jasad saya agar saya bisa beramal soleh. Kata-kata ini mencerminkan suatu penyesalan yang abadi. Jadi kalau kita evaluasi sekali lagi ketika kita mengatakan ya Allah berilah kebahagiaan dunia, menurut Ibnu Abbas indikatornya ada 7 yaitu : hati yang selalu syukur, pasangan hidup yang soleh, anak yang soleh, teman-teman atau lingkungan yang soleh, harta yang halal, semangat untuk memahami ajaran agama, dan umur yang baroqah. Sekali lagi, ketika kita meminta ya Allah berilah kebahagiaan dunia, sebenarnya kita minta tujuh hal itu. Walaupun kita akui jarang yang tujuh itu ada di dalam genggaman kita, setidak-tidaknya kalau kita mendapat enam saja sudah bagus.
Yang menjadi masalah adalah kalau kita tidak mendapat satupun dari ketujuh indikator kebahagiaan itu. Sedangkan mengenai kebahagiaan akhirat, artinya sudah jelas yaitu rahmat Allah. Kebahagiaan akhirat itu bukan surga tetapi rahmat Allah, kasih sayang Allah. Surga itu hanyalah bagian kecil dari rahmat Allah, kita masuk surga bukan karena amal soleh kita, tetapi karena rahmat Allah. Amal soleh yang kita lakukan tidak cukup untuk tiket masuk surga Kata Nabi SAW, : Amal soleh yang kalian lakukan tidak bisa
memasukan kalian ke surga. Lalu para sahabat bertanya: Bagaimana dengan Engkau ya Rasulullah ? Jawab Rasulullah SAW:Amal soleh saya juga tidak cukup. Lalu para sahabat kembali bertanya: Kalau begitu kita masuk surga dengan apa ? Nabi SAW kembali menjawab: Kamu masuk surga itu dengan rahmat dan cinta Allah.
Jadi sholat kita, puasa kita, taqarub kita kepada Allah sebenarnya bukan untuk surga tetapi untuk mendapatkan rahmat Allah. Dengan rahmat Allah itulah kita mendapatkan surga Allah (Insya Allah, Amiin). Jadi surga mitu adalah bagian dari rahmat. Wallahu a’lam.

Kiat Menggapai Mahabbah Allah SWT

4/09/2011 06:30:00 PM Posted In Edit This 0 Comments »

Segala puji hanyalah milik Allah semata. Shalawat dan salam semoga senantiasa dilimpahkan ke haribaan Nabi kita Muhammad bin Abdullah, segenap keluarga dan para sahabatnya serta setaiap orang yang mengikuti mereka dengan ihsan. Amma ba’du:

Dari Anas bin Malik, ia berkata: “Saat kami bersama Rasulullah r keluar dari masjid, kami bertemu dengan seseorang di sekitar masjid, lal dia bertanya: “Wahai Rasulullah, kapan terjadinya hari Qiamat?” Beliau menjawab: “Apa yang telah kamu persiapkan untuk menyambutnya?” Anas mengatakan: “Orang tadi diam sejenak, lalu ia berkata: “Wahai Nabi, saya tidak menyiapkan banyak shalat, tidak pula banyak puasa dan juga tidak banyak sedekah. Hanya saja saya mencintai Allah dan NabiNya.” Rasulullah r bersabda: “Kamu akan bersama orang yang kamu cintai.” (HR. Bukhari dan Muslim).

Setelah itu Anas berkata: “Tiada sesuatu yang menyenangkan kami setelah itu kecuali ucapan Nabi, “”Kamu akan bersama orang yang kamu cintai.”"

Dalam riwayat Muslim, Anas berkata: “Sungguh saya amat mencintai Allah, Nabi, Abu Bakar dan Umar. Saya berharap bisa bersama mereka walau saya tidak mampu beraamal seperti amal ibadah mereka.”

Ibnul Qayyim berkomentar: “Mahabbah (cinta) ialah suatu manzilah yang diburu banyak orang. Untuknya orang-orang bekerja dengan keras. Guna mengerjakan tuntutannya banyak orang saling berlomba tiada yang mau ketinggalan. Orang-orang yang saling mencintai rela mempertaruhkan dirinya. Para ahli ibadah bergerak dengan ruh lembutnya. Mahabbah adalah suatu kehidupan, karena orang yang tidak memilikinya dianggap telah mati. Ia merupakan cahaya dan orang kehilangan ia, maka orang tersebut berada pada kegelapan yang kelam. Ia juga obat penawar, orang yang tidak memiliknya maka hatinya penhu dengan berbagai penyakit. Demikian pula, mahabbah iala sebuah kenikmatan dan orang yang tidak mendapatkannya maka kehidupannya akan penuh dengan kesedihan dan duka nestapa. Demi Allah, para pemiliknya telah pergi dengan kemuliaan dunia akhirat. Karena mereka mendapati bagian kebersamaan yang dicintainya dengan jumlah yang cukup melimpah. Maka dari itu, saya tulis makalah ini untuk setiap orang yang ingin mendaki tinggi dari kedudukan cinta karena Allah kepada yang dicintai dari Allah. Sumbernya adalah kitab “Madaarijus Saalikiin” karya imam Ibnul Qayyim Al-Jauzi rahimahullah.

Kiat pertama: Membaca Al-Qur’an dengan mencerna dan memahami kandungan dan maksudnya.

Sungguh, siapa saja yang ingin berdialog dengan Allah maka hendaknya ia membaca Al-Qur’an. Hasan bin Ali pernah berkata: “Sesungguhnya para ssahabat, melihat bahwa Al-Qur’an itu adalah surat dari Tuhan mereka. Oleh karena itu, mereka senantiasa mengulasnya pada malam hari dan menggali hokum-hukumnya pada siang hari.”

Ibnul Qayyim Al-Jauzi berkata: “Hendaknya orang yang membaca Al-Qur’an itu berpikir, bagaimana Allah menyayangi makhlukNya dengan menyampaikan kepada mereka kepahaman makna Al-Qur’an. Demikian pula sebaknya ia mengetahui bahwa yang ia baca bukanlah ucapan manusia, juga merasakan keagungan Dzat yang mengucapkannya kemudian ia mencernanya.”

Imam Nawawi berkata: “Kewajiban pertama atas orang yang membaca Al-Qur’an ialah ia harus menghadirkan dalam jiwanya perasaaan bahwa ia dalam kondisi bermunajat kepada Allah. Oleh karena itu, tak heran jika salah seorang sahabat dapat menghasilkan mahabbatullah hanya dengan membaca sebuah surat sembari menghayati arti serta mencintainya. Surat itu adalah surat Al-Ikhlas yang berisi sifat Allah Yang Maha Tinggi. Orang tersebut selalu mengulang-ulangnya dalam shalatnya. Ketika ditanya tentang tindakannya itu, ia mengatakan: Karena surat ini (berisi) sifat Allah, maka saya amat suka membacanya. Lalu Nabi r bersabda: “Beritahukan kepadanya bahwa Allah mencintai dirinya.” (HR. Bukhari)

Sebaiknya kita tahu maksud bacaan tersebut yaitu dengan menghayatinya. Jika tiada mendapatkannya kecuali dengan mengulang-ulang ayat, maka lakukanlah hal itu karena Rasulullah r dan para sahabatnya pernah melakukannya. Abu Dzar telah meriwayatkan, dari Rasulullah r bahwa beliau telah melakukan qiyamullail dengan mengulang-ulang ayat: “In tu’adz dzibhum fa-innahum ‘ibaaduk, wa intaghfir lahum fa-innaka antal ‘Aziizul hakiim.” Artinya: “Jika Engkau siksa mereka, sungguh mereka itu adalah para hambaMu. Dan bila Engkau ampuni mereka, sesungguhnya Engkau Maha Perkasa dan Bijaksana.” (Al-Maidah: 118)

Sedangkan Tamim Ad-daari pernah mengulang-ulang dalam shalat malamnya, ayat: “Am hasibal ladziinaj-tarahus sayyi-aati an naj’alahum kalladziina aamanuu wa ‘amilus shaalihaati sawaa-am mahyaahum wa mamaatuhum, saaa-a maa yahkumuu,.” Artinya: “Apakah orang-orang yang berbuat dosa itu menyangka bahwa Kami akan menjadikan mereka seperti orang-orang yang beriman dan mengerjakan amal shalih, yaitu sama antara kehidupan dan kematian mereka? Amat buruklah apa yang mereka sangka itu.” (Al-Jaatsiyah: 21)

Kiat kedua: Melakukan shalat sunnah peyerta shalat fardhu. Sebab hal ini menghantarkan kepada tingkatan mahbub (tercinta) setelah fase mahabbah (kecintaan).

Dalam menerangkan hal ini, Nabi r bersabda: “Allah berfirman: “Siapa saja yang memusuhi para wali-Ku, maka sungguh telah Ku-umumkan perang dengannya. Tiada hal yang dilakukan hambaKu yang lebih Aku cintai daripada apa yang telah Aku wajibkan atas dirinya. HambaKu senantiasa bertaqarrub kepadKu dengan aneka amal sunnah hingga AKu mencintainya. Jika Aku telah mencintainya maka jadilah Aku pendengarannya, peglihatan, tangan dan kakinya. Bila ia meminta kepadaKu niscaya Aku kabulkan dan jika ia berlindung diri kepadaKu pasti Aku lindungi.“” (HR. Bukhari)

Hadits ini telah menerangkan dua kelompok yang sukses dan selamat, yaitu: 1- Orang yang mencintai Allah dengan melaksanakan ibadah fardhu dan berdiri di atas batasan-batsannya. 2- Mahbub minallah yang mendekatkan diri kepada Allah dengan melakukan amalan sunnah setelah amalan fardhu. Ini iala yang dimaksudkan oleh Ibnul Qayyim Al-Jauzi dengan ungkapan beilau di atas.

Kiat ketiga: melanggengkan dzikrullah dalam segala kondisi; baik dengan lisan, hati ataupun tindakan. Maka ia akan mendapatkan mahabbah sebesar kadar dzikirnya. Dalam sebuah ayat ditegaskan: “Ingatlah (berdzikirlah) kepadaKu niscaya Aku mengingat kalian.” Rasulullah r bersabda: Allah berfirman: “Aku beserta hambaKu selama ia mengingatKu dan menggerakkan bibirnya dengan (asma)Ku.” (HR. Ibnu Majah) Dalam riwayat Muslim, beliau r menegaskan: “Telah pergi jauh al-mutafarriduun“, para sahabat bertanya: “Siapa al-mutafarriduun itu ya Rasul?” beliau menjawab: “Mereka itu adalah kaum pria atau wanita yang banyak berdzikir kepada Allah.” Dalam kesempatan lain beliau menjelaskan: “Tiada kaum yang meninggalkan majlisnya yang tak berisi dzikrullah, melainkan seperti halnya mereka berdiri dari bangkai keledai dan mereka akan tertimpa penyesalan.” (HR. Abu Daud)

Suatu saat, ada seseorang datang kepada Rasulullah r dan bertanya: “Wahai Rasulullah, sungguh syariat-syari’at Islam amat banyak dan membebani kami, tolong beritahukan kami sesuatu yang lengkap untuk pegangan kami, maka beliau menjawab: “Hendaknya lisanmu sselalu basah dengan dzikrullah.” (HR. Ib Majah)

Sungguh para sahabat telah memahami betul wasiat Rasulullah r ini, hingga Abu Darda’ pernah berkata: “Seseorang yang mampu memerdekakan 100 budak, pasti memerlukan banyak uang. Padahal ada yang lebih afdhal daripadanya yaitu iman yang didukung dengan ibadah siang dan malam serta hendaknya lisan kalian selalu berdzikir kepada Allah.” (HR. Ahmad)

Kiat keempat: Lebih mendahulukan apa yang dicintai Allah daripada cinta hawa nafsunya walau hal itu amat berat. Ibnul Qayyim Al-Jauzi menjelaskannya, yaitu lebih mndahulukan ridha Allah atas selainNya, walau fitnah besar menghadangnya, banyak menelan biaya dan atau menguras banyak tenaganya. Beliau melanjutkan: Al-Itsar (upaya lebih mendahulukan) ridha Allah daripada ridha selainNya, yaitu kerelaan berkorban untuk melakukan sesuatu yang mengandung ridha Allah walau dibenci dan dimusuhi manusia. Hal tersebut merupakan tingkatan itsar tertinggi seperti yang dimiliki para Rasul terutama yang ulul azmi. Sedangkan yang tertinggi dari semuanya itu adalah milik Nabi kita Muhammad r.”

Semuanya itu tak akan terealisasi kecuali dengan tiga perkara; 1)-Menundukkan hawa nafsu. 2)-Menentang hawa nafsu dan 3)-Memerangi setan dan para walinya.

Ibnu Taimiyah berkata: “Seorang muslim harus takut kepada Allah, mengekang hawa nafsu dan syahwatnya. Jika hawa nafsunya berkehendak lalu dia dapat menahannya maka tiiinddakan ini merupakan suatu bentuk ibadah kepada Allah dan suatu bentuk amal shalih.” (Majmu’ Fatawa: 10/635)

Kiat kelima: Menghayati sifat dan asma Allah, meyakininya dan mengetahuinya. Lalu dia berkubang dalam ilmunya tersebut. Siapa saja yang mengetahui Allah; baik asma, sifat dan af’alNya maka Allah pasti mencintainya.

Ibnul Qayyim Al-Jauzi berkata: Seseorang belum dapat disebut mengetahui kecuali ia tahu mengenai Allah dan jalan yang menghantarkanny sampai ke sana. Oleh karena itu, orang yang tahu ialah yang mengetahui Allah dengan seluruh asmaNya, sifat-sifat dan af’alNya. Lalu ia membenarkan Allah dalam muamalahnya, kemudian ia mengikhlaskan niat dan tujuannya hanya kepada Allah.

Siapa saja yang tidak mempercaya sifat-sifat Allah maka ia telah menghancurkan asas agama dan iman, juga merusak tatanan pohon al-ihsan. Bagaimana mungkin ia termasuk ahli irfan (orang yang mengetahui Tuhannya)?

Sedangkan orang-orang yang mentakwilkan sifat-sifat Allah maka ia telah menuduh Nabi mengurangi risalah. Sebab dalam penjelasan dan penjabaran masalah yang amat penting ini tidak mungkin lepas dari Rasulullah r. memang telah datang keterangan dari beliau: “Sungguh Allah memiliki 99 nama, siapa yang menghafal dan mempraktekkannya pasti masuk surga.”

Kiat keenam: Bersaksi dan mengakui kebaikan Allah, anugerah dan segala nikmatNya; baik yang jelas atau yang tersamar. Sungguh hal ini akan mendatangkan mahabbah kepadaNya.

Seorang hamba adalah tawanan kebaikan. Dengan memberi suatu anugerah, kebaikan dan keramahan maka dapat menarik perasaanya, menguasai hatinya dan mendorongnya menuju mahabbah kepada pemberinya. Pada hakekatnya tida pemberi nikmat melainkan hanya Allah. Ini merupakan bukti dari akal sehat dan dalil yang jelas. Maka dari itu, tiada mahabbah yang hakiki menurut pemilik hati bersih kecuali hanya untuk Allah. Tiada yang berhak atas seluruh mahabbah tersebut kecauali Dia. Bersegera untuk menolong hamba dan melumpuhkan musuh-musuhnya serta membantunya dalam menggapai segala keperluannya. Jika seorang hamba mengetahui dengan ilmu yang sebenarnya, maka ia kan tahu bahwasanya yang memberi segala anugerah hanyalah Allah semata. Sedangkan ke-aneka ragaman anugerahNya tidak terhitung adanya. “Jika kalian menghitung nikmat-nikmat Allah niscaya kalian tidak akan mampu menghitungnya. Sesungguhnya manusia itu sunngguh amat dzalim dan mengingkari kenikmatan.” (Ibrahim: 34)

Sayyid Qutub berkata: “Sedangkan hati, adalah suatu hal yang menjadikan manusia sebagai manusia. Hati merupakan kekuatan untuk menemukan, membedakan dan mengetahui hal yang ditinggalkan manusia dalam kepemilikan yang amat luas ini. Hati juga yang digunakan manusia untuk mengemban amanat yang dirasa amat berat oleh langit, bumi dan gunung. Yaitu amanah beriman dengan sukarela , mencari petunjuk pribadi dan keinginan komit atas manhaj Allah yang lurus. Tak seorangpun mengetahui inti kekuatan ini dan sentralnya yang berada pada tubuh manusia atau bagian luarnya. Karena hal ini merupakan rahasia Allah yang terdapat pada manusia, tidak ada yang mengetahuinya kecauli Allah semata. Dengan aneka pemberian hebat ini yang dianugerahkan kepada manusia agar mereka bangkit dalam membawa amanah agung tersebut, tapi mereka tidak mau bersyukur. “Hanya sedikit dari kalian yang bersyukur.” Hal ini merupakan sesuatu yang menimbulkan rasa malu yang sedemian rupa saat mengingatnya. Sebagimana mereka diingatkan oleh Al-Qur’an tentang masalah ini, juga mengingatkan orang yang ingkar dan tidak mau mensyukuri nikmat Allah yang diterimanya.

Kiat ketujuh: Yaitu sebab yang paling menakjubkan , yakni kekhusyu’an hati secara keseluruhan di hadapan Allah. “Dan merendahlah semua suara kepada Tuhan Yang Maha Pemurah, maka kamu tidak mendengar kecuali bisikan saja.”(Thaha: 108)

Ar-Raghib al-Asfihani berkata: Khusyu’ sama dengan dhoro’ah. Kata khusyu’ lebih banyak digunakan dalam hal-hal yang berkaitan dengan anggota bada, sedangkan dhoro’ah lebih banyak dipergunakan dalam hal yang berkaitan dengan isi hati. Oleh karena itu, jika dikatakan, dhoro’ah hatinya, maka seluruh anggotanya dalam keadaan khusyu’.

Ibnul Qayyim Al-Jauzi berkata: Yang benar ialah, bahwa khusyu’ merupakan arti yang sesuai dengan pengagungan, kecintaan, kehinaan, dan kekhusyu’an. Seungguh para salaful ummah memiliki sikap yang amat menakjubkan di bidang kekhusyu’an di hadapan Tuhan mereka. Hal ini adalah bukti kejernihan dan kebersihan hati mereka, mari kita lihat sebagian contoh berikut ini:

Abdullah bin Zubair jika mendirikan shalat maka beliau seperti sebuah tiang karena khusyu’nya. Suatu kali beliau sujud lalu ada beberapa burung usfur hinggap di punggungnya sebab beliau diam seperti dinding tembok.

Sedangkan Ali bin Husain jika beliau usai melakukan wudhu, maka berubah pucat raut wajahnya. Saat ditanya, beliau menjawab: “Tahukah kalian, kepada Siapa saya akan menghadap?”

Kiat kedelapan: Menyendiri dan menyepi -saat Allah turun ke langi bumi- untuk bermunajat kepadaNya, membaca kalamNya, menghadap sepenuh hati dan sopan dalam beribadah di hadapanNya. Kemudian diakhiri dengan istighfar dan taubat. Ayat mengatakan: “Lambung mereka jauh dari tempat tidurnya (kiasan; tidak tidur), sedangkan mereka berdoa kepada Tuhannya dengan rasa takut dan penuh harap, dan mereka menafkahkan dari sebagian rizki yang Kami berikan kepadanya.” (As-sajdah: 16)

Sungguh para pecandu ibadah malam merupakan pemilik mahabbah. Bahkan mereka termasuk pemilik mahabbah yang termulia. Karena ibadah malamnya merupakan kumpulan factor-faktor yang mendatangkan mahabbah. Maka dari itu, tak heran bila Jibril turun kepada Nabi Muhammad r dan berkata kepada beliau: “Ketahuilah, bahwa kemuliaan seorang mukmin adalah tertumpu pada qiyamullail (shalat malam), sedangkan harkatnya terletak pada kadan kemandiriannya terhadap yang lain.”

Imam Hasan al-Basri berkata: “Tidak saya temukan ibadah yang lebih berat daripada shalat tengah malam.” Beliau ditanya: Bagaimana bias terjadi, orang yang rajin shalat malam wajahnya menjadi paling cerah? Beliau menjawab: “Karena mereka menyepi dengan Allah, lalu mereka diberi sebagian dari nurNya.”

Kiat kesembilan: Suka berkumpul dengan para pendamba mahabbah yang jujur, hingga dapat memetik ucapan baik mereka. Lalu menjadikan kita tidak berbicara kecuali dengan yang berguna bagi diri kita dan orang lain. Rasulullah bersabda: “Allah berfirman: “Orang-orang yang saling mencintai karenaKu berhak mendapatkan cintaKu, demikian pula bagi orang-orang yang saling berkumpul karenaku dan orang-orang yang saling mengunjungi karena Aku.“” Dalam kesempatan lain beliau bersabda: “Tali buhul yang paling kokoh ialah mencintai dan membenci karena Allah.”

Oleh sebab itu, cinta seorang muslim kepada saudaranya muslim yang lain karena Allah merupakan buah dari kejujuran iman dan budi pekertinya yang baik.

Kiat kesepuluh: Menajuhi segala factor yang menghalangi hati dengan Allah. Sebab, jika hati seseorang rusak maka ia tak akan dapat memtik manfaat dari kehidupan dunia dan akhiratnya. Ayat menegaskan: “Yaitu pada hari harta dan anak-anak lelaki tiada guna, kecuali orang-orang yang menghadap Allah dengan hati yang bersih” (As-syu’ara’: 88)

Demikian, shalawat dan salam semoga selalu dilimpahkan kepada Rasulullah, segenap keluarga dan seluruh sahabatnya serta semua orang yang mengikuti jejaknya dengan baik sampai hari Kemudian.

Islam: Agama yang Berkembang Paling Pesat di Eropa

4/07/2011 07:28:00 PM Posted In Edit This 0 Comments »

Selama 20 tahun terakhir, jumlah kaum Muslim di dunia telah meningkat secara perlahan. Angka statistik tahun 1973 menunjukkan bahwa jumlah penduduk Muslim dunia adalah 500 juta; sekarang, angka ini telah mencapai 1,5 miliar. Kini, setiap empat orang salah satunya adalah Muslim. Bukanlah mustahil bahwa jumlah penduduk Muslim akan terus bertambah dan Islam akan menjadi agama terbesar di dunia. Peningkatan yang terus-menerus ini bukan hanya dikarenakan jumlah penduduk yang terus bertambah di negara-negara Muslim, tapi juga jumlah orang-orang mualaf yang baru memeluk Islam yang terus meningkat, suatu fenomena yang menonjol, terutama setelah serangan terhadap World Trade Center pada tanggal 11 September 2001. Serangan ini, yang dikutuk oleh setiap orang, terutama umat Muslim, tiba-tiba saja telah mengarahkan perhatian orang (khususnya warga Amerika) kepada Islam. Orang di Barat berbicara banyak tentang agama macam apakah Islam itu, apa yang dikatakan Al Qur'an, kewajiban apakah yang harus dilaksanakan sebagai seorang Muslim, dan bagaimana kaum Muslim dituntut melaksanakan urusan dalam kehidupannya. Ketertarikan ini secara alamiah telah mendorong peningkatan jumlah warga dunia yang berpaling kepada Islam. Demikianlah, perkiraan yang umum terdengar pasca peristiwa 11 September 2001 bahwa "serangan ini akan mengubah alur sejarah dunia", dalam beberapa hal, telah mulai nampak kebenarannya. Proses kembali kepada nilai-nilai agama dan spiritual, yang dialami dunia sejak lama, telah menjadi keberpalingan kepada Islam.
Hal luar biasa yang sesungguhnya sedang terjadi dapat diamati ketika kita mempelajari perkembangan tentang kecenderungan ini, yang mulai kita ketahui melalui surat-surat kabar maupun berita-berita di televisi. Perkembangan ini, yang umumnya dilaporkan sekedar sebagai sebuah bagian dari pokok bahasan hari itu, sebenarnya adalah petunjuk sangat penting bahwa nilai-nilai ajaran Islam telah mulai tersebar sangat pesat di seantero dunia. Di belahan dunia Islam lainnya, Islam berada pada titik perkembangan pesat di Eropa. Perkembangan ini telah menarik perhatian yang lebih besar di tahun-tahun belakangan, sebagaimana ditunjukkan oleh banyak tesis, laporan, dan tulisan seputar "kedudukan kaum Muslim di Eropa" dan "dialog antara masyarakat Eropa dan umat Muslim." Beriringan dengan berbagai laporan akademis ini, media massa telah sering menyiarkan berita tentang Islam dan Muslim. Penyebab ketertarikan ini adalah perkembangan yang terus-menerus mengenai angka populasi Muslim di Eropa, dan peningkatan ini tidak dapat dianggap hanya disebabkan oleh imigrasi. Meskipun imigrasi dipastikan memberi pengaruh nyata pada pertumbuhan populasi umat Islam, namun banyak peneliti mengungkapkan bahwa permasalahan ini dikarenakan sebab lain: angka perpindahan agama yang tinggi. Suatu kisah yang ditayangkan NTV News pada tanggal 20 Juni 2004 dengan judul "Islam adalah agama yang berkembang paling pesat di Eropa" membahas laporan yang dikeluarkan oleh badan intelejen domestik Prancis. Laporan tersebut menyatakan bahwa jumlah orang mualaf yang memeluk Islam di negara-negara Barat semakin terus bertambah, terutama pasca peristiwa serangan 11 September. Misalnya, jumlah orang mualaf yang memeluk Islam di Prancis meningkat sebanyak 30 hingga 40 ribu di tahun lalu saja.
Gereja Katolik dan Perkembangan Islam
Gereja Katolik Roma, yang berpusat di kota Vatican, adalah salah satu lembaga yang mengikuti fenomena tentang kecenderungan perpindahan agama. Salah satu pokok bahasan dalam pertemuan bulan Oktober 1999 muktamar gereja Eropa, yang dihadiri oleh hampir seluruh pendeta Katolik, adalah kedudukan Gereja di milenium baru. Tema utama konferensi tersebut adalah tentang pertumbuhan pesat agama Islam di Eropa. The National Catholic Reporter melaporkan sejumlah orang garis keras menyatakan bahwa satu-satunya cara mencegah kaum Muslim mendapatkan kekuatan di Eropa adalah dengan berhenti bertoleransi terhadap Islam dan umat Islam; kalangan lain yang lebih objektif dan rasional menekankan kenyataan bahwa oleh karena kedua agama percaya pada satu Tuhan, sepatutnya tidak ada celah bagi perselisihan ataupun persengketaan di antara keduanya. Dalam satu sesi, Uskup Besar Karl Lehmann dari Jerman menegaskan bahwa terdapat lebih banyak kemajemukan internal dalam Islam daripada yang diketahui oleh banyak umat Nasrani, dan pernyataan-pernyataan radikal seputar Islam sesungguhnya tidak memiliki dasar. (1)
Mempertimbangkan kedudukan kaum Muslim di saat menjelaskan kedudukan Gereja di milenium baru sangatlah tepat, mengingat pendataan tahun 1999 oleh PBB menunjukkan bahwa antara tahun 1989 dan 1998, jumlah penduduk Muslim Eropa meningkat lebih dari 100 persen. Dilaporkan bahwa terdapat sekitar 13 juta umat Muslim tinggal di Eropa saat ini: 3,2 juta di Jerman, 2 juta di Inggris, 4-5 juta di Prancis, dan selebihnya tersebar di bagian Eropa lainnya, terutama di Balkan. Angka ini mewakili lebih dari 2% dari keseluruhan jumlah penduduk Eropa. (2)
Kesadaran Beragama di Kalangan Muslim Meningkat di Eropa
Penelitian terkait juga mengungkap bahwa seiring dengan terus meningkatnya jumlah Muslim di Eropa, terdapat kesadaran yang semakin besar dalam menjalankan agama di kalangan para mahasiswa. Menurut survei yang dilakukan oleh surat kabar Prancis Le Monde di bulan Oktober 2001, dibandingkan data yang dikumpulkan di tahun 1994, banyak kaum Muslims terus melaksanakan sholat, pergi ke mesjid, dan berpuasa. Kesadaran ini terlihat lebih menonjol di kalangan mahasiswa universitas.(3)
Dalam sebuah laporan yang didasarkan pada media masa asing di tahun 1999, majalah Turki Aktüel menyatakan, para peneliti Barat memperkirakan dalam 50 tahun ke depan Eropa akan menjadi salah satu pusat utama perkembangan Islam.
Islam adalah Bagian Tak Terpisahkan dari Eropa
Bersamaan dengan kajian sosiologis dan demografis ini, kita juga tidak boleh melupakan bahwa Eropa tidak bersentuhan dengan Islam hanya baru-baru ini saja, akan tetapi Islam sesungguhnya merupakan bagian tak terpisahkan dari Eropa.
Eropa dan dunia Islam telah saling berhubungan dekat selama berabad-abad. Pertama, negara Andalusia (756-1492) di Semenanjung Iberia, dan kemudian selama masa Perang Salib (1095-1291), serta penguasaan wilayah Balkan oleh kekhalifahan Utsmaniyyah (1389) memungkinkan terjadinya hubungan timbal balik antara kedua masyarakat itu. Kini banyak pakar sejarah dan sosiologi menegaskan bahwa Islam adalah pemicu utama perpindahan Eropa dari gelapnya Abad Pertengahan menuju terang-benderangnya Masa Renaisans. Di masa ketika Eropa terbelakang di bidang kedokteran, astronomi, matematika, dan di banyak bidang lain, kaum Muslim memiliki perbendaharaan ilmu pengetahuan yang sangat luas dan kemampuan hebat dalam membangun.
Bersatu pada Pijakan Bersama: "Monoteisme"
Perkembangan Islam juga tercerminkan dalam perkembangan dialog antar-agama baru-baru ini. Dialog-dialog ini berawal dengan pernyataan bahwa tiga agama monoteisme (Islam, Yahudi, dan Nasrani) memiliki pijakan awal yang sama dan dapat bertemu pada satu titik yang sama. Dialog-dialog seperti ini telah sangat berhasil dan membuahkan kedekatan hubungan yang penting, khususnya antara umat Nasrani dan Muslim. Dalam Al Qur'an, Allah memberitahukan kepada kita bahwa kaum Muslim mengajak kaum Ahli Kitab (Nasrani dan Yahudi) untuk bersatu pada satu pijakan yang disepakati bersama:
Katakanlah: "Hai Ahli Kitab, marilah (berpegang) kepada suatu kalimat (ketetapan) yang tidak ada perselisihan antara kami dan kamu, bahwa tidak kita sembah kecuali Allah dan tidak kita persekutukan Dia dengan sesuatu pun dan tidak (pula) sebagian kita menjadikan sebagian yang lain sebagai tuhan selain Allah. Jika mereka berpaling maka katakanlah kepada mereka: "Saksikanlah bahwa kami adalah orang-orang yang berserah diri (kepada Allah)." (QS. Ali 'Imran, 3: 64)
Ketiga agama yang meyakini satu Tuhan tersebut memiliki keyakinan yang sama dan nilai-nilai moral yang sama. Percaya pada keberadaan dan keesaan Tuhan, malaikat, Nabi, Hari Akhir, Surga dan Neraka, adalah ajaran pokok keimanan mereka. Di samping itu, pengorbanan diri, kerendahan hati, cinta, berlapang dada, sikap menghormati, kasih sayang, kejujuran, menghindar dari berbuat zalim dan tidak adil, serta berperilaku mengikuti suara hati nurani semuanya adalah sifat-sifat akhak terpuji yang disepakati bersama. Jadi, karena ketiga agama ini berada pada pijakan yang sama, mereka wajib bekerja sama untuk menghapuskan permusuhan, peperangan, dan penderitaan yang diakibatkan oleh ideologi-ideologi antiagama. Ketika dilihat dari sudut pandang ini, dialog antar-agama memegang peran yang jauh lebih penting. Sejumlah seminar dan konferensi yang mempertemukan para wakil dari agama-agama ini, serta pesan perdamaian dan persaudaraan yang dihasilkannya, terus berlanjut secara berkala sejak pertengahan tahun 1990-an.
Kabar Gembira tentang Datangnya Zaman Keemasan
Dengan mempertimbangkan semua fakta yang ada, terungkap bahwa terdapat suatu pergerakan kuat menuju Islam di banyak negara, dan Islam semakin menjadi pokok bahasan terpenting bagi dunia. Perkembangan ini menunjukkan bahwa dunia sedang bergerak menuju zaman yang sama sekali baru. Yaitu sebuah zaman yang di dalamnya, insya Allah, Islam akan memperoleh kedudukan penting dan ajaran akhlak Al Qur'an akan tersebar luas. Penting untuk dipahami, perkembangan yang sangat penting ini telah dikabarkan dalam Al Qur'an 14 abad yang lalu:
Mereka berkehendak memadamkan cahaya (agama) Allah dengan mulut (ucapan-ucapan) mereka, dan Allah tidak menghendaki selain menyempurnakan cahaya-Nya, walaupun orang-orang yang kafir tidak menyukai. Dialah yang telah mengutus Rasul-Nya (dengan membawa) petunjuk (Al Qur'an) dan agama yang benar untuk dimenangkan-Nya atas segala agama, walaupun orang-orang musyrik tidak menyukai. (QS. At Taubah, 9: 32-33)
Tersebarnya akhlak Islami adalah salah satu janji Allah kepada orang-orang yang beriman. Selain ayat-ayat ini, banyak hadits Nabi kita SAW menegaskan bahwa ajaran akhlak Al Qur'an akan meliputi dunia. Di masa-masa akhir menjelang berakhirnya dunia, umat manusia akan mengalami sebuah masa di mana kezaliman, ketidakadilan, kepalsuan, kecurangan, peperangan, permusuhan, persengketaan, dan kebobrokan akhlak merajalela. Kemudian akan datang Zaman Keemasan, di mana tuntunan akhlak ini mulai tersebar luas di kalangan manusia bagaikan naiknya gelombang air laut pasang dan pada akhirnya meliputi seluruh dunia. Sejumlah hadits ini, juga ulasan para ulama mengenai hadits tersebut, dipaparkan sebagaimana berikut:
Selama [masa] ini, umatku akan menjalani kehidupan yang berkecukupan dan terbebas dari rasa was-was yang mereka belum pernah mengalami hal seperti itu. [Tanah] akan mengeluarkan panennya dan tidak akan menahan apa pun dan kekayaan di masa itu akan berlimpah. (Sunan Ibnu Majah)
… Penghuni langit dan bumi akan ridha. Bumi akan mengeluarkan semua yang tumbuh, dan langit akan menumpahkan hujan dalam jumlah berlimpah. Disebabkan seluruh kebaikan yang akan Allah curahkan kepada penduduk bumi, orang-orang yang masih hidup berharap bahwa mereka yang telah meninggal dunia dapat hidup kembali. (Muhkhtasar Tazkirah Qurtubi, h. 437)
Bumi akan berubah seperti penampan perak yang menumbuhkan tumbuh-tumbuhan ... (Sunan Ibnu Majah)
Bumi akan diliputi oleh kesetaraan dan keadilan sebagaimana sebelumnya yang diliputi oleh penindasan dan kezaliman. (Abu Dawud)
Keadilan akan demikian jaya sampai-sampai semua harta yang dirampas akan dikembalikan kepada pemiliknya; lebih jauh, sesuatu yang menjadi milik orang lain, sekalipun bila terselip di antara gigi-geligi seseorang, akan dikembalikan kepada pemiliknya… Keamanan meliputi seluruh Bumi dan bahkan segelintir perempuan bisa menunaikan haji tanpa diantar laki-laki. (Ibn Hajar al Haitsami: Al Qawlul Mukhtasar fi `Alamatul Mahdi al Muntazar, h. 23)
Berdasarkan pernyataan-pernyataan di atas, Zaman Keemasan akan merupakan suatu masa di mana keadilan, kemakmuran, keberlimpahan, kesejahteraan, rasa aman, perdamaian, dan persaudaraan akan menguasai kehidupan umat manusia, dan merupakan suatu zaman di mana manusia merasakan cinta, pengorbanan diri, lapang dada, kasih sayang, dan kesetiaan. Dalam hadits-haditsnya,Nabi kita SAW mengatakan bahwa masa yang diberkahi ini akan terjadi melalui perantara Imam Mahdi, yang akan datang di Akhir Zaman untuk menyelamatkan dunia dari kekacauan, ketidakadilan, dan kehancuran akhlak. Ia akan memusnahkan paham-paham yang tidak mengenal Tuhan dan menghentikan kezaliman yang merajalela. Selain itu, ia akan menegakkan agama seperti di masa Nabi kita SAW, menjadikan tuntunan akhlak Al Qur'an meliputi umat manusia, dan menegakkan perdamaian dan menebarkan kesejahteraan di seluruh dunia.
Kebangkitan Islam yang sedang dialami dunia saat ini, serta peran Turki di era baru merupakan tanda-tanda penting bahwa masa yang dikabarkan dalam Al Qur'an dan dalam hadits Nabi kita sangatlah dekat. Besar harapan kita bahwa Allah akan memperkenankan kita menyaksikan masa yang penuh berkah ini.
________________________________________
Rujukan:
1. "Europe's Muslims Worry Bishops," National Catholic Reporter, 22 Oktober 1999
2. "Muslims in Europe," The Economist, 18 Oktober 2001.
3. Time, 24 Desember 2001.
________________________________________
http://www.harunyahya.com/indo/artikel/067.htm

Ahlus Sunnah Wal Jama'ah

4/07/2011 07:23:00 PM Posted In Edit This 0 Comments »

As-Sunnah dalam istilah mempunyai beberapa makna (lihat: Mawaqif Ibnu Taimiyah Minal Asy'ariyah I: 3804 oleh Syaikh Abdur-Rahman Al-Mahmud dan Mafhum Ahlis Sunnah Wal Jama'ah Inda Ahlis Sunnah Wal Jama'ah oleh Syaikh Nasyir Al-Aql). Dalam tulisan ringkas ini tidak hendak dibahas makna-makna itu. Tetapi hendak menjelaskan istilah "As-Sunnah" atau "Ahlus Sunnah" menurut petunjuk yang sesuai dengan i'tiqad Al-Imam Ibnu Rajab rahimahullah mengatakan: "... Dari Abu Sufyan Ats-Tsauri ia berkata:
"Berbuat baiklah terhadap ahlus-sunnah karena mereka itu ghuraba" [Diriwayatkan oleh Al-Lalika'i dalam "Syarhus-Sunnah" No. 49]
Yang dimaksud "As-Sunnah" menurut para Imam yaitu: "Thariqah (jalan hidup) Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam dimana beliau shallallahu 'alaihi wa sallam dan para shahabat berada di atasnya. Yang selamat dari syubhat dan syahwat", oleh karena itu Al-Fudhail bin Iyadh mengatakan: "Ahlus Sunnah itu orang yang mengetahui apa yang masuk ke dalam perutnya dari (makanan) yang halal".[lihat: Al-Lalika'i Syarhus Sunnah No. 51 dan Abu Nu'aim dalam Al-Hilyah 8:1034]
Karena tanpa memakan yang haram termasuk salah satu perkara sunnah yang besar yang pernah dilakukan oleh Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam dan para shahabat radhiyallahu 'anhum. Kemudian dalam pemahaman kebanyakan Ulama Muta'akhirin dari kalangan Ahli Hadits dan lainnya. As-Sunnah itu ungkapan tentang apa yang selamat dari syubhat-syubhat dalam i'tiqad khususnya dalam masalah-masalah iman kepada Allah, para Malaikat-Nya, Kitab-kitab-Nya, para Rasul-Nya, Hari Akhir, begitu juga dalam masalah-masalah Qadar dan Fadhailush-Shahabah (keutamaan shahabat).
Para Ulama itu menyusun beberapa kitab dalam masalah ini dan mereka menamakan karya-karya mereka itu sebagai "As-Sunnah". Menamakan masalah ini dengan "As-Sunnah" karena pentingnya masalah ini dan orang yang menyalahi dalam hal ini berada di tepi kehancuran. Adapun Sunnah yang sempurna adalah thariqah yang selamat dari syubhat dan syahwat. (Kasyful Karriyyah 19-20).
Ahlus Sunnah adalah mereka yang mengikuti sunnah Nabi shallallahu 'alahi wa sallam dan sunnah shahabatnya radhiyallahu 'anhum.
Al-Imam Ibnul Jauzi mengatakan: "... Tidak diragukan bahwa Ahli Naqli dan Atsar pengikut atsar Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam dan atsar para shahabatnya, mereka itu Ahlus Sunnah". (Talbisul Iblis oleh Ibnul Jauzi hal.16 dan lihat Al-Fashlu oleh Ibnu Hazm 2:107).
Kata "Ahlus-Sunnah" mempunyai dua makna:
Mengikuti sunnah-sunnah dan atsar-atsar yang datangnya dari Rasulullah shallallu 'alaihi wa sallam dan para shahabat radhiyallahu 'anhum, menekuninya, memisahkan yang shahih dari yang cacat dan melaksanakan apa yang diwajibkan dari perkataan dan perbuatan dalam masalah aqidah dan ahkam.
Lebih khusus dari makna pertama, yaitu yang dijelaskan oleh sebagian ulama dimana mereka menamakan kitab mereka dengan nama As-Sunnah, seperti Abu Ashim, Al-Imam Ahmad bin Hanbal, Al-Imam Abdullah bin Ahmad bin Hanbal, Al-Khalal dan lain-lain. Mereka maksudkan (As-Sunnah) itu i'tiqad shahih yang ditetapkan dengan nash dan ijma'.
Kedua makna itu menjelaskan kepada kita bahwa madzhab Ahlus Sunnah itu kelanjutan dari apa yang pernah dilakukan Rasulullah shallallahu 'alaih wa sallam dan para shahabat radhiyallahu 'anhum. Adapun penamaan Ahlus Sunnah adalah sesudah terjadinya fitnah ketika awal munculnya firqah-firqah.
Ibnu Sirin rahimahullah mengatakan: "Mereka (pada mulanya) tidak pernah menanyakan tentang sanad. Ketika terjadi fitnah (para ulama) mengatakan: Tunjukkan (nama-nama) perawimu kepada kami. Kemudian ia melihat kepada Ahlus Sunnah sehingga hadits mereka diambil. Dan melihat kepada Ahlul Bi'dah dan hadits mereka tidak diambil". (Diriwayatkan oleh Muslim dalam Muqaddimah kitab shahihnya hal.15).
Al-Imam Malik rahimahullah pernah ditanya: "Siapakah Ahlus Sunnah itu? Ia menjawab: Ahlus Sunnah itu mereka yang tidak mempunyai laqab (julukan) yang sudah terkenal yakni bukan Jahmi, Qadari, dan bukan pula Rafidli". (Al-Intiqa fi Fadlailits Tsalatsatil Aimmatil Fuqaha. hal.35 oleh Ibnu Abdil Barr).
Kemudian ketika Jahmiyah mempunyai kekuasaan dan negara, mereka menjadi sumber bencana bagi manusia, mereka mengajak untuk masuk ke aliran Jahmiyah dengan anjuran dan paksaan. Mereka menggangu, menyiksa dan bahkan membunuh orang yang tidak sependapat dengan mereka. Kemudian Allah Subhanahu wa Ta'ala menciptakan Al-Imam Ahmad bin Hanbal untuk membela Ahlus Sunnah. Dimana beliau bersabar atas ujian dan bencana yang ditimpakan mereka.
Beliau membantah dan patahkan hujjah-hujjah mereka, kemudian beliau umumkan serta munculkan As-Sunnah dan beliau menghadang di hadapan Ahlul Bid'ah dan Ahlul Kalam. Sehingga, beliau diberi gelar Imam Ahlus Sunnah.
Dari keterangan di atas dapat kita simpulkan bahwa istilah Ahlus Sunnah terkenal di kalangan Ulama Mutaqaddimin (terdahulu) dengan istilah yang berlawanan dengan istilah Ahlul Ahwa' wal Bida' dari kelompok Rafidlah, Jahmiyah, Khawarij, Murji'ah dan lain-lain. Sedangkan Ahlus Sunnah tetap berpegang pada ushul (pokok) yang pernah diajarkan Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam dan shahabat radhiyallahu 'anhum.
AHLUS SUNNAH WAL-JAMA'AH
Istilah yang digunakan untuk menamakan pengikut madzhab As-Salafus Shalih dalam i'tiqad ialah Ahlus Sunnah wal Jama'ah. Banyak hadits yang memerintahkan untuk berjama'ah dan melarang berfirqah-firqah dan keluar dari jama'ah. (lihat: Wujubu Luzuumil Jama'ah wa Dzamit Tafarruq. hal. 115-117 oleh Jamal bin Ahmad Badi).
Para ulama berselisih tentang perintah berjama'ah ini dalam beberapa pendapat. (Al-I'tisham 2:260-265).
•Jama'ah itu adalah As-Sawadul A'dzam (sekelompok manusia atau kelompok terbesar-pen) dari pemeluk Islam.
•Para Imam Mujtahid
•Para Shahabat Nabi radhiyallahu 'anhum.
•Jama'ahnya kaum muslimin jika bersepakat atas sesuatu perkara.
•Jama'ah kaum muslimin jika mengangkat seorang amir.
Pendapat-pendapat di atas kembali kepada dua makna: Bahwa jama'ah adalah mereka yang bersepakat mengangkat seseorang amir (pemimpin) menurut tuntunan syara', maka wajib melazimi jama'ah ini dan haram menentang jama'ah ini dan amirnya.
Bahwa jama'ah yang Ahlus Sunnah melakukan i'tiba' dan meninggalkan ibtida' (bid'ah) adalah madzhab yang haq yang wajib diikuti dan dijalani menurut manhajnya. Ini adalah makna penafsiran jama'ah dengan Shahabat Ahlul Ilmi wal Hadits, Ijma' atau As-Sawadul A'dzam. (Mauqif Ibni Taimiyah Minal Asya'irah 1: 17).
Syaikhul Islam mengatakan: "Mereka (para ulama) menamakan Ahlul Jama'ah karena jama'ah itu adalah ijtima' (berkumpul) dan lawannya firqah. Meskipun lafadz jama'ah telah menjadi satu nama untuk orang-orang yang berkelompok. Sedangkan ijma' merupakan pokok ketiga yang menjadi sandaran ilmu dan dien. Dan mereka (para ulama) mengukur semua perkataan dan pebuatan manusia zhahir maupun bathin yang ada hubungannya dengan dien dengan ketiga pokok ini (Al-Qur'an, Sunnah dan Ijma'). (Majmu al-Fatawa 3:175).
Istilah Ahlus Sunnah wal Jama'ah mempunyai istilah yang sama dengan Ahlus Sunnah. Dan secara umum para ulama menggunakan istilah ini sebagai pembanding Ahlul Ahwa' wal Bida'. Contohnya: Ibnu Abbas radhiyallahu 'anhum mengatakan tentang tafsir firman Allah Ta'ala:
"Pada hari yang di waktu itu ada muka yang putih berseri dan adapula muka yang muram". (Ali-Imran: 105).
"Adapun orang-orang yang mukanya putih berseri adalah Ahlus Sunnah wal Jama'ah sedangkan orang-orang yang mukanya hitam muram adalah Ahlul Ahwa' wa Dhalalah". (Diriwayatkan oleh Al-Lalika'i 1:72 dan Ibnu Baththah dalam Asy-Syarah wal Ibanah 137. As-Suyuthi menisbahkan kepada Al-Khatib dalam tarikhnya dan Ibni Abi Hatim dalam Ad-Durrul Mantsur 2:63).
Sufyan Ats-Tsauri mengatakan: "Jika sampai (khabar) kepadamu tentang seseorang di arah timur ada pendukung sunnah dan yang lainnya di arah barat maka kirimkanlah salam kepadanya dan do'akanlah mereka. Alangkah sedikitnya Ahlus Sunnah wal Jama'ah". (Diriwayatkan oleh Al-Lalika'i dalam Syarhus Sunnah 1:64 dan Ibnul Jauzi dalam Talbisul Iblis hal.9).
Jadi kita dapat menyimpulkan bahwa Ahlus Sunnah wal Jama'ah adalah firqah yang berada diantara firqah-firqah yang ada, seperti juga kaum muslimin berada di tengah-tengah milah-milah lain. Penisbatan kepadanya, penamaan dengannya dan penggunaan nama ini menunjukkan atas luasnya i'tiqad dan manhaj.
Nama Ahlus Sunnah merupakan perkara yang baik dan boleh serta telah digunakan oleh para Ulama Salaf. Diantara yang paling banyak menggunakan istilah ini ialah Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah.
ASY'ARIYAH, MATURIDIYAH DAN ISTILAH AHLUS SUNNAH
Asy'ariyah dan Maturidhiyah banyak menggunakan istilah Ahlus Sunnah wal Jama'ah ini, dan di kalangan mereka kebanyakan mengatakan bahwa madzhab salaf "Ahlus Sunnah wa Jama'ah" adalah apa yang dikatakan oleh Abul Hasan Al-Asy'ari dan Abu Manshur Al-Maturidi. Sebagian dari mereka mengatakan Ahlus Sunnah wal Jama'ah itu As'ariyah, Maturidiyah dan Madzhab Salaf.
Az-Zubaidi mengatakan: "Jika dikatakan Ahlus Sunnah, maka yang dimaksud dengan mereka itu adalah Asy'ariyah dan Maturidiyah". (Ittihafus Sadatil Muttaqin 2:6).
Penulis Ar-Raudhatul Bahiyyah mengatakan: "Ketahuilah bahwa pokok semua aqaid Ahlus Sunnah wal Jama'ah atas dasar ucapan dua kutub, yakni Abul Hasan Al-Asy'ari dan Imam Abu Manshur Al-Maturidi". ( Ar-Raudlatul Bahiyyah oleh Abi Udibah hal.3).
Al-Ayji mengatakan: "Adapun Al-Firqotun Najiyah yang terpilih adalah orang-orang yang Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam berkata tentang mereka: "Mereka itu adalah orang-orang yang berada di atas apa yang Aku dan para shahabatku berada diatasnya". Mereka itu adalah Asy'ariyah dan Salaf dari kalangan Ahli Hadits dan Ahlus Sunnah wal Jama'ah". (Al-Mawaqif hal. 429).
Hasan Ayyub mengatakan: "Ahlus Sunnah adalah Abu Hasan Al-Asy'ari dan Abu Mansyur Al-Maturidi dan orang-orang yang mengikuti jalan mereka berdua. Mereka berjalan di atas petunjuk Salafus Shalih dalam memahami aqaid". (lihat: Tabsithul Aqaidil Islamiyah, hal. 299 At-Tabshut fi Ushulid Din, hal. 153, At-Tamhid oleh An-nasafi hal.2, Al-Farqu Bainal Firaq, hal. 323, I'tiqadat Firaqil Muslimin idal Musyrikin, hal. 150).
Pada umumnya mereka mengatakan aqidah Asy'ariyah dan Maturidiyah berdasarkan madzhab Ahlus Sunnah wal Jama'ah. Disini tidak bermaksud mempermasalahkan pengakuan bathil ini. Tetapi hendak menyebutkan dua kesimpulan dalam masalah ini.
Bahwa pemakaian istilah ini oleh pengikut Asy'ariyah dan Maturidiyah dan orang-orang yang terpengaruh oleh mereka sedikitpun tidak dapat merubah hakikat kebid'ahan dan kesesatan mereka dari Manhaj Salafus Shalih dalam banyak sebab.
Bahwa penggunaan mereka terhadap istilah ini tidak menghalangi kita untuk menggunakan dan menamakan diri dengan istilah ini menurut syar'i dan yang digunakan oleh para Ulama Salaf. Tidak ada aib dan cercaan bagi yang menggunakan istilah ini. Sedangkan yang diaibkan adalah jika bertentangan dengan i'tiqad dan madzhab Salafus Shalih dalam pokok (ushul) apapun.