3/15/2011 11:35:00 AM
Posted In
Risalah/Tafsir
Edit This
Oleh
Syaikh Abu Usamah Salim bin Id Al-Hilali
Sesungguhnya Kami telah memberikan kepadamu nikmat yang banyak.
Maka dirikanlah shalat karena Rabb-mu dan berkurbanlah.
Sesungguhnya orang-orang yang membenci kamu, ia adalah yang terputus (dari rahmat Allah). [Al Kautsar : 1-3]
Surat Al Kautsar merupakan surat yang terpendek dalam Al Qur`an. Isinya mengandung ungkapan-ungkapan yang indah lagi mengagumkan, membuat yang membacanya berdecak kagum. Makna-makna kalimatnya yang kuat dan istimewa menunjukkan menjadi bagian mukjizat Ilahi. [2]
Betapa agung surat ini dan betapa melimpah pelajaran-pelajaran yang bisa dipetik dalam bentuknya yang ringkas.
Sebenarnya, makna surat ini dapat diketahui melalui ayat penutupnya. Allah telah menghalangi kebaikan dari orang-orang yang membenci RasulNya. Ia terhalangi untuk mengingatNya, hartanya dan keluarganya, sehingga pada gilirannya, di akhirat ia akan merugi akibat dari semua perbuatan yang tidak terpuji terseut. Kehidupannya pun tanpa nilai, tidak mendatangkan manfaat. Ia tidak membekali diri dengan amalan shalih saat hidup di dunia, sebagai bekal di hari akhiratnya. Hatinya akan terhalangi dari kebaikan, sehingga dia tidak mengenali kebaikan, apalagi mencintainya. Begitu juga ia terhalang dari beriman kepada RasulNya. Amalan-amalannya akan terhalangi dari ketaatan. Tidak ada satupun yang menjadi penolong baginya. Dia tidak akan memberikan apresiasi terhadap ajaran Rasulullah, bahkan ia menolaknya untuk memuaskan hawa nafsunya atau pengikutnya, gurunya, pemimpinnya dan lain-lain.
Oleh karena itu, berhati-hatilah, jangan membenci sesuatu yang datang dari Rasulullah atau menolaknya untuk memuaskan hawa nafsumu, atau membela mazhabmu, atau disibukkan dengan syahwat-syahwat atau urusan dunia. Sesungguhnya Allah l tidak mewajibkan untuk taat kepada seseorang, kecuali taat kepada RasulNya, dan mengambil apa-apa yang datang darinya. Jika seluruh makhluk menyelisihi seorang hamba sementara ia taat kepada Rasulullah, sesungguhnya Allah tidak akan menanyainya tentang itu. Maka barangsiapa yang taat atau ditaati, sesungguhnya hal itu terjadi hanya dengan mengikuti Rasul. Seandainya diperintahkan dengan sesuatu yang menyelisihi Rasul, maka tidak perlu ditaati. Pahamilah hal itu, dan dengarkanlah. Taatilah dan ikutilah, jangan berbuat bid`ah, niscaya amalanmu tidak akan terputus dan tertolak. Tidak ada kebaikan bagi amalan yang jauh dari Sunnah Rasul, dan tidak ada kebaikan bagi orang yang mengamalkannya. Wallahu a'lam.[3]
ا نا اءطينك ا اكؤ شر
Ayat ini menunjukkan keluasan karunia tanpa batas, dan kenikmatan yang besar lagi melimpah. Seperti firman-Nya
وَلَسَوْفَ يُعْطِيكَ رَبُّكَ فَتَرْضَى
Dan kelak pasti Rabb-mu memberikan karuniaNya kepadamu, lalu (hati) kamu menjadi puas. [Adh Dhuha : 5]
Karunia yang besar ini berasal dari Dzat Pemberi karunia Yang Besar, kaya, lagi luas anugerahnya. Oleh karena itu, kata ganti pertama (mutakallim) dalam ayat ini, bentuknya dijama`kan, menjadi innaa (إِنَّآ) yang menandakan keagungan Sang Rabb, Dzat Yang Maha Pemberi.
Karunia ini ini utuh dan berkesinambungan sebab kalimat pada ayat ini diawali dengan kata inna yang menunjukkan penegasan dan realisasi kandungan berita layaknya fungsi sumpah. Demikian juga, Allah menggunakan fi'il madhi (kata kerja lampau) dalam kalimat ini, yang bertujuan sebagai penekanan kejadian peristiwa. Sebab obyek yang sifatnya harapan yang berasal dari Dzat Yang Maha Mulia, terhitung sebagai perkara yang pasti terjadi.
Kata Al-Kautsar berbentuk wazan fau'al seperti kata naufal. Bangsa Arab menamakan segala sesuatu yang melimpah baik kuantitasnya, atau besar kedudukan dan urgensinya dengan nama kautsar.
Para ulama tafsir berselisih pendapat dalam menafsikan Al Kautsar yang diberikan kepada Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam.
Pendapat mereka terangkum dalam keterangan berikut ini :
Pertama, sungai di surga.
Kedua, telaga Nabi di Mahsyar.
Ketiga, kenabian dan kitab suci.
Keempat, Al Qur`an.
Kelima, Islam.
Keenam, kemudahan memahami Al Qur`an dan aturan syariat.
Ketujuh, banyaknya sahabat, ummat dan kelompok-kelompok pembela.
Kedelapan, pengutamaan Nabi diatas orang lain
Kesembilan, meninggikan sebutan Nabii
Kesepuluh, sebuah cahaya dihatimu mengantarkanmu kepada-Ku, dan menghalangimu dari selain-Ku
Kesebelas, syafaat.
Keduabelas, mukjizat-mukjizat Allah yang menjadi sebab orang-orang meraih hidayah melalui dakwahmu.
Ketigabelas, tidak ada yang berhak diibadahi kecuali Allah, Muhammad adalah utusan Allah.
Keempatbelas, memahami agama.
Kelimabelas, shalat lima waktu.
Keenambelas, perkara yang agung.
Ketujuhbelas, kebaikan yang merata yang Allah berikan kepada Beliau.
Al Wahidi berkata,”Kebanyakan ahli tafsir berpendapat, bahwa Al Kautsar adalah sungai di surga.” [4]
Panutan para ulama tafsir, Ibnu Jarir At Thabari berkata: “Pendapat yang paling utama menurutku adalah pendapat orang yang mengatakan Al Kautsar adalah nama sungai di surga yang dianugerahkan Rasulullah di surga kelak. Allah menyebutkan ciri khasnya dengan sifat katsrah (melimpah ruah) sebagai pertanda ketinggian kedudukannya.
Kami mengatakan itu sebagai tafsiran yang paling utama lantaran banyaknya riwayat dari Rasulullah yang menjelaskannya" [5]
Al Qurtubi berkata , ”Penjelasan yang paling benar adalah perkataan yang pertama dan kedua, karena kedua perkataan tersebut ditetapkan oleh Nabi dalam sebuah nas tentang Al Kautsar.”[6]
Asy Syaukani mengatakan,”Tafsir ini dari Ibnu Abbas, pandangannya bertumpu pada maknanya secara bahasa. Akan tetapi Rasulullah telah menafsirkannya sebagai sungai di surga dalam haditsnya yang shahih".
Aku (Syaikh Salim) berkata: Keterangan-keterangan yang dikemukakan oleh mayoritas ulama tafsir merupakan kebenaran yang nyata, karena beberapa perkara berikut ini:
Pertama : Telah diriwayatkan dari Rasulullah , bahwasanya Beliau menafsirkan Al Kautsar sebagai sungai di surga dalam beberapa hadits. Diantaranya.
عَنْ أَنَسٍ قَالَ بَيْنَا رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ ذَاتَ يَوْمٍ بَيْنَ أَظْهُرِنَا إِذْ أَغْفَى إِغْفَاءَةً ثُمَّ رَفَعَ رَأْسَهُ مُتَبَسِّمًا فَقُلْنَا مَا أَضْحَكَكَ يَا رَسُولَ اللَّهِ قَالَ أُنْزِلَتْ عَلَيَّ آنِفًا سُورَةٌ فَقَرَأَ بِسْمِ اللَّهِ الرَّحْمَنِ الرَّحِيمِ إِنَّا أَعْطَيْنَاكَ الْكَوْثَرَ فَصَلِّ لِرَبِّكَ وَانْحَرْ إِنَّ شَانِئَكَ هُوَ الْأَبْتَرُ ثُمَّ قَالَ أَتَدْرُونَ مَا الْكَوْثَرُ فَقُلْنَا اللَّهُ وَرَسُولُهُ أَعْلَمُ قَالَ فَإِنَّهُ نَهْرٌ وَعَدَنِيهِ رَبِّي عَزَّ وَجَلَّ عَلَيْهِ خَيْرٌ كَثِيرٌ هُوَ حَوْضٌ تَرِدُ عَلَيْهِ أُمَّتِي يَوْمَ الْقِيَامَةِ آنِيَتُهُ عَدَدُ النُّجُومِ
Dari Anas, dia berkata: Pada suatu hari ketika Rasulullah berada di tengah kami, Beliau mengantuk sekejap. Kemudian Beliau mengangkat kepalanya dengan senyum. Maka kami bertanya: “Apa yang membuatmu tertawa, wahai Rasulullah?” Rasulullah menjawab,”Baru saja turun kepadaku sebuah surat,” maka Beliau membaca surat Al Kautsar. Kemudian Rasulullah bersabda,”Apakah kalian tahu apakah Al Kautsar itu?” Maka kami berkata,”Allah dan RasulNya lebih mengetahui.” Rasulullah bersabda,”Al Kautsar adalah sungai yang dijanjikan Rabbku Azza wa Jalla untukku. Disana terdapat kebaikan yang banyak. Ia adalah telaga yang akan didatangi umatku pada hari Kiamat. Jumlah bejananya sebanyak bintang-bintang...." [7]
Kedua. Keterangan-keterangan yang diriwayatkan dari Ibnu Abbas tidak bertentangan dengan nash hadits yang shahih.
عن أَبِي بِشْرٍ عَنْ سَعِيدِ بْنِ جُبَيْرٍ عَنْ ابْنِ عَبَّاسٍ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُمَا أَنَّهُ قَالَ فِي الْكَوْثَرِ هُوَ الْخَيْرُ الَّذِي أَعْطَاهُ اللَّهُ إِيَّاهُ قَالَ أَبُو بِشْرٍ قُلْتُ لِسَعِيدِ بْنِ جُبَيْرٍ فَإِنَّ النَّاسَ يَزْعُمُونَ أَنَّهُ نَهَرٌ فِي الْجَنَّةِ فَقَالَ سَعِيدٌ النَّهَرُ الَّذِي فِي الْجَنَّةِ مِنْ الْخَيْرِ الَّذِي أَعْطَاهُ اللَّهُ إِيَّاهُ
Dari Abi Basyar dari Said bin Jubair dari Ibnu Abbas, sesungguhnya dia berkata tentang Al Kautsar. Ia adalah limpahan kebaikan yang Allah berikan kepada Rasulullah. Abu Bisyr berkata kepada Said bin Jubair ‘Sesungguhnya orang-orang menyangkanya sungai di surga’. Maka Said berkata,”Sungai di surga merupakan bagian dari kebaikan yang Allah berikan kepada Rasulullah" [8].
Ibnu Athiyah menyatakan : "Alangkah indahnya pernyataan yang dikemukakan oleh Ibnu Abbas dan alangkah baiknya penyempurnaan keterangan dari Ibnu Jubair. Masalah tentang sungai (di surga) telah ditetapkan dalam hadits Isra (mi'raj) dan hadits lainnya. Semoga Allah senantiasa mencurahkan shalawatNya kepada Muhammad dan semoga Allah memberikan manfaat kepada kita semua dengan hidayahNya.” [9]
Ibnu Katsir menjelaskan : “Penafsirannya bisa dengan sungai dan selainnya. Karena Al-Kautsar berasal dari kata Al Katsrah, yaitu kebaikan yang melimpah ruah. diantaranya adalah berbentuk sungai tersebut... Telah diriwayatkan dalam riwayat yang shahih dari Ibnu Abbas, bahwasanya dia menafsirkannya dengan makna sungai juga.
Ibnu Jarir berkata : “Abu Kuraib telah menceritakan kepada kami (ia berkata), Umar bin Ubaid telah menceritakan kepada kami dari Atha`dari Said bin Jubair dari Ibnu Abba, ia berkata:"Al-Kautsar adalah sungai di surga. Kedua tepi sungai tersebut adalah emas dan perak, mengalir di atas yaqut (sejenis batu mulia) dan mutiara, airnya putih berasal dari salju dan lebih manis daripada madu."[10]
Al-Hafidz Ibnu Hajar berkata: "Jadi, kutipan Said bin Jubair terhadap perkataan Ibnu Abbas yang berbunyai "(Al-Kautsar) itu adalah kebaikan yang melimpah ruah". tidak bertentangan dengan pernyataan lainnya yang menafsirinya sebagai sungai di surga. Karena sungai merupakan bagian dari kebaikan yang banyak. Mungkin saja Sa'id ingin menunjukkan bahwa tafsir Ibnu Abbas lebih utama karena bersifat umum. Akan tetapi telah ditetapkan pengkhususannya dengan sungai dari keteranan Nab, maka tidak ada pilihan untuk mengesampingkannya". [11]
Dengan itu menjadi jelas bahwa:
1). Tafsir Ibnu Abbas tidak berltabrakan dengan penjelasan Rasullullah bahwa Al-Kautsar adalah sungai di surga. Bahkan ini juga merupakan tafsiran Ibnu Abbas dalam riwayat yang bisa dipertanggungjawabkan, sebagai telah disebutkan oleh Ibnu Katsir.
2). Bahwa tafsir Ibnu Abbas masuk dalam kandungan ayat secara umum. Oleh karena itu, Syaikhul Islam berkata:"Kata Al-Kautsar yang sudah populer merupakan sungai di surga, sebagaimana telah disebutkan dalam hadits-hadits yang jelas lagi shahih.
Ibnu Abbas berkata : Al-Kautsar sesungguhnya merupakan kebaikan yang banyak, yang Allah berikan kepada Rasulullah. Jika penduduk surga yang paling rendah (tingkatannya saja) dianugerahi dengan sepuluh kali lipat dunia seisinya. Maka bayangkan saja apa yang akan Allah sediakan bagi Rasulullah dalam surga kelak. Maka, Al-Kautsar menjadi sinyal dan indikator banyaknya nikmat yang Allah berikan kepada Nabi yang berbentuk kebaikan-kebaikan dan tambahan lainnya serta begitu tingginya kedudukannya (nikmat-nikmat itu). Sungai tersebut yaitu Al-Kautsar, merupakan sungai yang terbesar, paling bagus airnya, paling jernih, paling manis dan yang tertinggi.
Jadi, maksudnya adalah Al-Kautsar merupakan sungai di surga, menjadi bagian kebaikan yang banyak sekali yang Allah anugerahkan kepada rasulNya di dunia dan akhirat. [12]
Aku (Syaikh Salim) berkata: Perkataan yang memastikannya dengan sungai di surga adalah pendapat yang benar, karena adanya keterangan jelas dari Rasulullah. Meskipun tafsiran yang umum tidak berseberangan dengan tafsiran yang khusus, sebab itu termasuk menjadi bagiannya. Tapi ada unsur pemutarbaikan fakta. Alasannya, kebaikan yang melimpah yang diberikan Allah juga mencakup Al-Kautsar. Hal ini telah tercantum dalam hadits Anas yang telah lewat dalam Shahih Muslim : "Itu adalah sungai yang dijanjikan Rabbku. Di sana terdapat kebaikan yang melimpah". Ini masuk dalam kategori penyebutan obyek yang besar untuk memasukkan kenikenikmatan yang tingkatannya lebih rendah".
Ketiga : Keterangan yang dikemukakan oleh Al-Qurtubi, yaitu :
"Dan semua tafsiran yang dikemukakan dalam masalah ini (makna Al-Kautsar), telah diberikan kepada Rasulullah sebagai tambahan atas karunia telaga. Semoga Allah mencurahkan selawat dan keselamatan yang banyak kepada Beliau" [13]
Jadi, tidak ada yang pertentangan antara penafsiran Al-Kautsar dengan sungai atau telaga.
Al-Kautsar adalah sungai di surga dan airnya akan dialirkan keadalam telaga. Maka Al-Kautsar airnya berada dalam sebagaimana diriwayatkan dalam hadits Abu Dzar, ia berkata, "Wahai Rasulullah, apa bejananya al-ahaudh (telaga)?" Rasulullah menjawab: " Demi dzat yang jiwa Muhammad ada di tanganNya, sungguh bejananya lebih banyak dari jumlah bintang-bintang dan planet-planet yang ada di langit di malam malam gelap gulita tanpa awan. Bejana-bejana dari surga. Barangsiapa yang minum darinya, maka tidak akan merasa haus selamanya. Ada dua talang dari surga yan menjulur ke dalamnya. barangsiapa yang minum darinya, tidak akan merasa haus selamanya. Lebar sungai tersebut sama dengan panjangnya, kira-kira sejauh antara Amman dan Aila`. Airnya lebih putih dari susu dan lebih manis dari madu".[14]
WAJIBNYA BERIMAN KEDAPA TELAGA NABI
Al-Qurtubi berkata dalam Al-Mufhim [15]
"Di antara perkara-perkara yang diwajibkan atas setiap muslim mukallaf untuk mengetahuinya dan membenarkannya adalah:
Bahwasanya Allah telah menganugerahkan karunia buat NabiNya Muhammad secara khusus berupa Al-Kautsar, yaitu haudh (telaga) yang telah dijelaskan nama, sifat, minuman dan bejananya dalam banyak hadits yang shahih dan masyhur. Sehingga membekaskan pengetahuan yang pasti dan keyakinan yang bulat. Sebab, telah diriwayatkan dari Nabi melalui lebih dari tiga puluh sahabat-sahabat, riwayat dua puluh orang diantara mereka tercantum dalam Shahihain dan riwayat lain terdapay dalam selain dua kitab tersebut, dengan jalur periwayatan yang shahih dan riwayat yang masyhur"
Ulama salaf dan ulamah ahlus sunnah wal jama'ah dari kalangan kholaf telah sepakat untuk menetapkannya. Sedangkan aliran ahli bid'ah mengingkarinya. Merka menyimpangkannya dari makan tekstualnya, dan berlebih-lebihan dalam menafsirkannya tanpa dalil yang bisa diterima akan atau budaya. Padahal tidak ada kepentingan untuk menakwilkannya. Maka, muncullah orang-orang yang merobek kesepakatan ulama salaf dan meinggalkan madzhab imam generasi khalaf.
Qadli Iyadh berkata: "Hadits-hadits tentang telaga adalah shahih, beriman kepadanya merupakan suatu kewajiban, dan membenarkannya merupakan bagian dari iman. Menurut Ahlus Sunnah wal Jamaah maknanya adalah seperti makna zhahirnya, tidak perlu ditakwilkan atau diperdebatkan lagi.
Haditsnya bersifat mutawatir. Banyak sahabat yang meriwayatkannya. Imam Muslim menyebutkan hadits itu melalui riwayat Ibnu Amr bin 'Ash, Aisyah, Ummu Salamah, Uqbah bin Amir, Ibnu Mas`ud, Harits bin Wahab, Mustaurid, Abu Dzar, Tsauban, Anas dan Jabir bin Samurah.
Sedangkan selain Imam Muslim, meriwayatkannya melalui sahabat Abu Bakar As-Siddiq, Zaid bin Arqam, Abu Umamah, Abdullah bin Zaid, Abu Barzah, Suwaid bin Jabalah, Abdullah bin Ash Shanabahi, Al Barra` bin 'Azib, Asma` binti Abu Bakr, Khaulah binti Qais dan lain-lain.
An-Nawawi berkata: Bukhari dan Muslim meriwayatkan juga dari Abu Hurairah.
Selain Bukhari dan Muslim juga meriwayatkannya dari riwayat Umar bin Khatthab, 'A'idz bin Umar dan lainnya.
Al-Hafidz Abu Bakar Al-Baihaqi telah mengumpulkan seluruhnya dalam bukunya Al Ba'tsu Wan Nusyur lengkap dengan sanad-sanadnya. Qhadi Iyadl berkata, "Dengan pnejelasan ini, hadits tersebut bisa masuk kategori mutawatir."[16]
Al-Hafidz Ibnu Hajar berkata, "Seluruh sahabat yang disebutkan Qadli Iyadh berjumlah dua puluh lima orang, An-Nawawi menambah tiga sahabat lagi dan aku telah menambah jumlah itu sebanyak yang mereka sebutkan, sehingga semuanya berjumlah lima puluh orang sahabat....
Telah sampai kepadaku kabar bahwa sebagian ulama mutaakhirin (ulama-ulama sekarang) mencatat jumlah sahabat (yang meriwayatkannya) lebih dari delapan puluh orang".
Jadi, ayat tersebut menunjukkan dengan jelas terhadap apa yang menjadi masyhur di kalangan mayoritas ulama tentang keistimewaan pemberian Al-Kautsar kepada Nabi kita. Beliaulah yang mempunyai maqam mahmud dan al-haudh (telaga).
Ya Allah! berikanlah kami minum dari telaga itu yang akan membuat kami tidak akan merasa haus setelah meminumnya untuk selama-lamanya. Sesungguhnya Engkau menjamin segala kebaikan dan Cukuplah Engkau bagi kami, sebaik-baik penolong dan hanya kepadaMu tujuan hidup kami.
_________
Footnotes
[1]. Diangkat dari Khulashatul Atsari Fi Ta'wili Qaulihi Ta'ala Inna A'thainaakal Kautsar dari Majalah Al-Ashalah Th. V edisi 29, 15 Sya'ban 1421H. Diterjemahkan oleh Suhaib Singapuri hafidzahullah.
[2]. Al-Fawaid Al-Musyawwiq hlm. 253-255
[3]. Daqaiqu At-Tafsir (6/311-312)
[4]. Al-Wasith Fi Tafsiri Al-Quranil Majid (4/565)
[5]. Jami'u Al-Bayan Fi Tafsiri Al-Qur'an (30 : 208-209)
[6]. Al-Jami'u Li Ahkamil Qur'an (20/218)
[7]. HR Muslim (400) kitab shalat bab hujjatu man qaala al-basmalah ayatun min awwali kulli surat siwa bara'ah.
[8]. HR Bukhari (8/731 - Fathul Bari), kitab at-tafsir bab surat Inna A'thainaakal Kautsar
[9]. Al-Muharrar Al-Wajiz Fi Tafsiri Al-Kitabi Al-Aziz (16/372-373)
[10]. Tafsiru Al-Quranil Azhim (4/596)
[11]. Fathul Bari (8/732)
[12]. Daqaiqu At-Tafsir (6/312-313)
[13]. Al-Jami'u Li Ahkamil Quran (20/318)
[14]. HR Muslim (2300) kitab al-fadhail bab itsbati haudh nabiyyina washfan
[15]. Al-Muslim (6/90)
[16]. Syarah Shahih Muslim (15/52-53)
3/15/2011 11:33:00 AM
Posted In
Risalah/Tafsir
Edit This
« وَالْعَصْرِ »
"Demi masa". Al Ashr, menurut pendapat yang terkuat adalah ad dahr atau az-zaman (masa). Mengapa bersumpah dengan waktu? Allah bersumpah dengan (demi) waktu karena nilai urgensitasnya. Dalam (masalah) waktu, manusia terbagi menjadi dua keadaan: (yang) merugi dan beruntung.
Barangsiapa (yang) menghabiskan waktunya untuk perbuatan sia-sia dan kebatilan, untuk hal-hal yang kufur dan maksiat, maka ia merugi. Namun, jika ia menggunakan waktunya untuk ketaatan, belajar ilmu agama, dakwah amar ma’ruf nahi munkar, untuk jihad melawan musuh-musuh Allah, maka ia beruntung, dengan menghuni surga Allah Subhanahu wa Ta'ala. Sebab, manusia tidak diciptakan dengan sia-sia. Allah menciptakan manusia untuk tujuan yang agung, yang menjadi tonggak penegakan langit dan penghamparan bumi. Allah berfirman (artinya): "Dan Aku tidak menciptakan jin dan manusia melainkan supaya mereka menyembahKu. Aku tidak menghendaki rizki sedikit pun dari mereka dan Aku tidak menghendaki supaya mereka memberi Aku makan. Sesungguhnya Allah, Dialah Maha Pemberi rizki Yang Mempunyai Kekuatan lagi Sangat Kokoh". [Adz Dzariyat : 56-58].
Allah mengutus para nabi dan menurunkan kitab suci agar tidak ada yang disembah kecuali hanya Allah, dan agar Allah tidak disembah kecuali sesuai dengan tuntunan RasulNya Shallallahu 'alaihi wa sallam. Jadi, yang pertama ialah memurnikan agama untuk Allah. Dan kedua memurnikan mutaba’ah (sikap meneladani) hanya kepada Rasulullah. Kedua hal inilah yang menjadi konsekuensi dari firman Allah:
فَمَنْ كَانَ يَرْجُوا لِقَاءَ رَبِّهِ فَلْيَعْمَلْ عَمَلًا صَالِحًا وَلَا يُشْرِكْ بِعِبَادَةِ رَبِّهِ أَحَدًا
"Barangsiapa mengharap perjumpaan dengan Rabb-nya, maka hendaklah ia mengerjakan amal yang shalih dan janganlah ia mempersekutukan seorangpun dalam beribadat kepada Rabb-nya". [Al-Kahfi : 110].
Karena itu, langit dan bumi tegak di atas dua pilar: 1) Tidak ada yang disembah, kecuali hanya Allah, dan 2) mengikuti Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam secara lahir dan batin.
Inilah konsekuensi dua kalimat syahadat, yang berarti tidak ada yang berhak disembah di alam semesta ini kecuali hanya Allah. Dan tidak ada yang diikuti secara benar kecuali Rasulullah. Barangsiapa yang tidak menyembah Allah dan tidak mengikuti Rasulullah, atau menyembah Allah tetapi tidak mengikuti Rasulullah, maka ia merugi selama-lamanya.
Allah bersumpah dengan waktu lantaran keagungan fungsionalnya. Allah Subhanahu wa Ta'ala menciptakan langit dan bumi dalam enam hari. Padahal Allah berkuasa menciptakannya dalam sekejap dengan cukup mengatakan: كُنْ (jadilah). Akan tetapi, Allah ingin memberikan satu teladan dan ketentuan hukum dalam hidup ini. Yaitu agar kita beraktifitas dengan mengoptimalkan waktu. Jika seseorang berkeinginan kuat mempertahankan nyawa dan cahaya matanya, maka ia harus lebih kuat keinginannya dalam memanfaatkan waktunya. Sebab, waktu adalah kehidupan. Ia lebih mahal dari harta. Mereka mengatakan, waktu adalah emas. Yang benar, waktu lebih mahal dari emas. Waktu adalah umur. Modal kita adalah nafas. Nafas yang telah dihembuskan tidak dapat kembali lagi. Engkau adalah rangkain untaian nafas. Jika nafas-nafas itu habis, maka tamatlah riwayat kehidupanmu.
Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam telah mengajarkan tentang kewajiban mengoptimalkan waktu meskipun pada hembusan nafas yang terakhir. Rasul Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda: “Tuntunlah orang yang mau meninggal di antara kamu untuk mengucapkan لااله الاالله , sebab orang yang akhir ucapannya لااله الاالله pasti masuk surga”.
Berapa waktu yang dibutuhkan untuk mengucapkan kalimat tauhid ini? Sungguh, dapat diucapkan dalam hitungan detik. Perhatikanlah, betapa beruntungnya orang yang memanfaatkan beberapa detik saja dari waktunya.
Nabi Shallallahu 'alaihi wa salalm menjelaskan pentingnya bekerja dan beramal, dan buruknya berpangku tangan atau bermalas-malasan. Beliau selalu memohon perlindungan kepada Allah dari penyakit malas yang mematikan ini. Rasulullah bersabda: “Apabila terjadi Kiamat, sementara di tangan salah seorang kalian ada biji kurma (atau tunas pisang), maka tanamlah”.
Orang yang melihat matahari terbit dari barat masih diperintahkan untuk bercocok tanam dan beramal. Karena itu, mencari ilmu adalah kewajiban yang tidak mengenal batas akhir. Adapun hadits “mencari ilmu itu sejak berada di ayunan ibu hingga masuk liang lahat” dan hadits “carilah ilmu walau di negeri Cina”, keduanya adalah dhaif (lemah).
Cukuplah bagi kita hadits shahih ini untuk merangsang semangat mencari ilmu : "Barangsiapa menempuh satu jalan untuk mencari ilmu, niscaya Allah memudahkan baginya jalan masuk surga. Para malaikat itu membentangkan sayapnya untuk orang yang mencari ilmu karena ridha dengan apa yang ia cari. Sesungguhnya orang alim itu dimintakan ampunan oleh penduduk langit dan penduduk bumi, hingga ikan yang ada di dalam air". [HR Abu Dawud, Ibn Majah, Ibn Hibban, hadits ini shahih].
Umur umat Islam ini pendek, akan tetapi amalannya banyak dan pahalanya dilipatgandakan. Nabi Nuh Alaihissallam selama 950 tahun berdakwah menyerukan tauhid (dan) kita tidak mengetahui berapa lama dia hidup sebelum dan sesudah itu, tetapi amalan dan pahala mereka sedikit. Sementara umat ini, yang dikatakan oleh Nabi Shallallahu 'alaihi wa salalm bahwa usia umatku antara 60 dan 70 tahun, sedikit sekali yang melebihi batas itu. Akan tetapi pahalanya dilipatgandakan. Perhatikanlah, misalnya lailatur qadar yang pahalanya -barangsiapa melaksanakan ibadah pada malam itu- maka pahalanya sama dengan beramal selama 83 tahun. Bagaimana jika dia beramal selama 10 kali lailatur qadar? Tentu nilainya sama dengan 830 tahun. Dan kalau 20 kali, maka sama dengan 1660 tahun. Maka, seolah-olah kalian telah mengungguli Nuh Alaihissallam. Lalu bagaimana lagi jika melakukan haji, umrah, jihad, dan sebagainya?
Oleh karena itu, tidak mengherankan bila Allah bersumpah demi masa. Kesempatan di dunia adalah ladang amal bagi akhirat; akan beruntung orang yang untung, dan merugilah orang yang rugi.
(Perhatikanlah!), tujuan hidup di dunia ini untuk menanam kebaikan dan amal shalih yang dapat dipetik buahnya di akhirat. Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda : "Allah telah memutus udzur orang yang dipanjangkan usianya hingga 60 tahun". Artinya dia tidak lagi memiliki alasan lagi untuk membela diri di hadapan Allah.
Kalian sekarang berada pada masa muda, masa kuat, masa produktif dan beramal. Islam dimenangkan melalui tangan anak-anak muda. Mereka adalah tulang punggung umat, aliran darah yang dipacu di dalam tubuh umat. Sehingga syetan sangat berambisi menjauhkan para pemuda dari agama Allah ini. Syetan mengendus-endus hati pemuda. Jika ia mendapatinya pemalas, maka syetan menyeretnya agar menjadi sampah masyarakat dan perusak kehidupan. Akan tetapi, bila melihatnya cinta agama, maka syetan menipunya agar melampaui batas dalam beragama, sehingga ia hidup dalam bid’ah yang merusak agama.
Semua manusia berada dalam kerugian yang besar, kecuali orang-orang yang memiliki empat sifat, sehingga dapat keluar dari kerugian menuju keberuntungan.
1. Iman. Ini Adalah firman Allah « إلاالذين أمنوا ».
Iman menurut bahasa berarti iqrar (pengakuan). Yaitu mengikrarkan لااله الاالله dengan lisan dan meyakininya dalam hatinya. Jadi harus membenarkan dengan hati dan menyatakan dengan lisan, tidak cukup pembenaran saja. Orang yang tidak dapat mengungkapkannya dengan lisan, boleh dengan isyarat, sebab, menurut kaidah bahasa dan syara’ (agama), hal itu termasuk kalam (ucapan) –misalnya dalam riwayat "Tanyakanlah kepada anak kecil ini". Mereka berkata: "Bagaimana mungkin dia berbicara?" Jadi mereka memahami isyaratnya dan memahami apa yang ia maksudkan-.
Seandainya pembenaran (tashdiq) saja cukup, tentu Abu Thalib adalah mukmin, sebab hatinya membenarkan. Akan tetapi, hal itu tidak memasukkannya ke dalam kaum muslimin. Abu Thalib menyatakan: "Saya mengetahui bahwa agama Muhammad adalah sebaik-baik agama. Seandainya bukan karena takut cemoohan dan cacian, tentu aku telah menerimanya".
Sebelum meninggalnya, Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam berkata kepadanya : "Hai, Paman! Ucapkanlah satu kalimat, yang dengannya aku akan membelamu di hadapan Allah". Ternyata Abu Jahal dan kawan-kawannya mencegah dan melarangnya dengan mengatakan: "Apakah engkau akan meninggalkan agama bapakmu?" Sehingga akhir ucapan Abu Thalib adalah "Dia tetap berada di atas agama Abdil Muththalib".
Secara syar’i, definisi iman menurut Ahlu Sunnah adalah iqrar dengan lisan, tashdiq dengan hati dan amal dengan anggota badan, bertambah karena taat dan berkurang karena maksiat. Amal shalih adalah bagian yang tak terpisahkan dari iman. Mereka, ahli sunnah tidak mengesampingkan amal dari lingkaran iman sebagaimana yang diyakini kaum Murji’ah. Dalam kacamata mereka, iman makhluk yang paling bertaqwa –misalnya Jibril- adalah sama dengan iman orang yang paling fasik. Asumsi mereka (ialah), “sebagaimana halnya ketaatan tidak berguna di hadapan kekufuran, maka begitu pula maksiat, tidak membahayakan keimanan”.
Para sahabat, para tabi’in, para ahli hadits, imam madzhab empat dan ulama hingga hari Kiamat, mengatakan bahwa iman bertambah dan berkurang. Antara yang satu dengan lainnya, masing-masing berbeda tingkatan keimanannya, sesuai dengan tingkat perbedaan ketakwaan dan amal shalihnya. Allah berfirman:
وَالَّذِينَ اهْتَدَوْا زَادَهُمْ هُدًى وَءَاتَاهُمْ تَقْوَاهُم ْ
"Dan orang-orang yang mendapat petunjuk, Allah menambah petunjuk kepada mereka dan memberikan kepada mereka (balasan) ketakwaannya". [Muhammad : 17].
هُوَ الَّذِي أَنْزَلَ السَّكِينَةَ فِي قُلُوبِ الْمُؤْمِنِينَ لِيَزْدَادُوا إِيمَانًا مَعَ إِيمَانِهِمْ وَلِلَّهِ جُنُودُ السَّمَوَاتِ وَالْأَرْضِ وَكَانَ اللَّهُ عَلِيمًا حَكِيمًا
"Dia-lah yang telah menurunkan ketenangan ke dalam hati orang-orang mukmin supaya keimanan mereka bertambah di samping keimanan mereka (yang telah ada). Dan kepunyaan Allah-lah tentara langit dan bumi dan adalah Allah Maha Mengetahui lagi Maha Bijaksana". [Al-Fath : 4].
Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda, (artinya): "Tidak akan berzina orang yang berzina itu, ketika ia berzina dalam keadaan mukmin. Tidak akan mencuri orang yang mencuri, saat ia mencuri dalam keadaan mukmin".
Sedangkan rukun iman, menurut Rasulullah adalah enam, sebagaimana termuat dalam hadits Jibril dari Umar Radhiyallahu 'anhu yang dikeluarkan oleh Imam Bukhari dan Muslim.
Jadi untuk merealisasikan iman, harus memenuhi dua hal. Pertama : Yaitu lepas dari semua sesembahan dan menetapkan satu sesembahan yang benar, yakni Allah. Kedua : Yaitu mengikuti Rasul Shallallahu 'alaihi wa salalm secara lahir dan batin, dengan meyakini bahwa tidak ada Nabi lagi setelah Beliau yang diutus kepada seluruh umat manusia hingga hari Kiamat. Dan Al Qur'an tidak mungkin dipahami, kecuali melalui Sunnah Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam. Nabi bersabda, (artinya): "Aku tinggalkan di tengah kalian dua perkara. Kalian tidak akan sesat sesudahku selama kalian berpegang teguh dengan keduany, yaitu Kitab Allah dan Sunnahku". [HR Hakim].
Ingatlah, aku diberi Al Qur'an dan diberi semisalnya bersamanya. [HR Ahmad dan Abu Dawud].
Maka barangsiapa beriman, berarti dia telah keluar dari kerugian.
2. Amal Shalih.
Amal shalih selalu disebut bergandengan dengan iman. Amal itu tidak disebut shalih, kecuali dengan dua syarat. Pertama, dilakukan dengan ikhlas karena wajah Allah. Kedua, sesuai dengan petunjuk Rasul Allah Shallallahu 'alaihi wa sallam. Dua hal inilah yang menjadi rukun diterimanya amal.
Telah kita sebutkan firman Allah:
فَمَنْ كَانَ يَرْجُوا لِقَاءَ رَبِّهِ فَلْيَعْمَلْ عَمَلًا صَالِحًا وَلَا يُشْرِكْ بِعِبَادَةِ رَبِّهِ أَحَدًا
"Barangsiapa mengharap perjumpaan dengan Rabb-nya, maka hendaklah ia mengerjakan amal yang shalih dan janganlah ia mempersekutukan seorangpun dalam beribadat kepada Rabb-nya". [Al-Kahfi : 110].
Berdasarkan ini, amalan yang ikhlas tetapi menyalahi petunjuk Rasul Shallallahu 'alaihi wa sallam, atau sesuai dengan petunjuk Rasul, namun dilakukan tanpa ikhlas, maka tertolak oleh Allah. Dua hal ini ibarat dua sayap burung, ia tidak bisa terbang kecuali dengan keduanya. Bila salah satunya terpotong, ia tidak bisa terbang.
Ahli bid’ah banyak menyembah Allah Subhanahu wa Ta'ala, tetapi tanpa dengan tuntunan Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa salalm. Maka amalan-amalan mereka itu tertolak dan pada hari Kiamat nanti mereka akan diusir dari telaga Rasul Shallallahu 'alaihi wa sallam. Nabi akan mengatakan: "Umatku, umatku". Maka dikatakan: "Sesungguhnya engkau tidak mengetahui apa yang mereka perbuat sepeninggalmu".
3. Saling Berwasiat Dengan Kebenaran.
Kita mengetahui, al haq adalah Islam dan syariat Islam, Al Qur'an dan Sunnah. Allah berfirman:
وَبِالْحَقِّ أَنْزَلْنَاهُ وَبِالْحَقِّ نَزَلَ وَمَا أَرْسَلْنَاكَ إِلَّا مُبَشِّرًا وَنَذِيرًا
"Dan Kami turunkan (Al Qur'an itu dengan sebenar-benarnya dan Al Qur'an itu telah turun dengan membawa) kebenaran. Dan Kami tidak mengutus kamu, melainkan sebagai pembawa berita gembira dan pemberi peringatan". [Al-Isra’: 105].
وَقُلْ جَاءَ الْحَقُّ وَزَهَقَ الْبَاطِلُ إِنَّ الْبَاطِلَ كَانَ زَهُوقًا
"Dan katakanlah: "Yang benar telah datang dan yang bathil telah lenyap". Sesungguhnya yang batil itu adalah sesuatu yang pasti lenyap". [Al-Isra’: 81].
Tidak cukup seseorang itu menjadi mukmin, ‘abid (ahli ibadah) dan beramal shalih, tetapi ia harus berdakwah, menyampaikan, membimbing orang lain kepada kebaikan dan harus ikut andil mengemban risalah Islam.
Tawashi, adalah bentuk kata yang mengikuti wazan تَفَاعُلْ, yaitu shighah mubalaghah (bentuk kata untuk menambah intensitas tindakan). Artinya, saya berwasiat kepada Anda dengan benar dan Anda juga berwasiat kepada saya dengan benar. Guru berpesan kepada murid, murid kepada murid, orang tua kepada anak, pemimpin kepada rakyat, rakyat kepada rakyat, dan seterusnya. Ini adalah amanah di pundak umat. Anda akan ditanya tentangnya oleh Allah. Oleh karena itu, tidak cukup hanya dengan mengusung syi'ar-syi'ar Islam saja. Melainkan harus mengemban dakwah. Dengan berdakwah, berarti Anda telah melakukan amalan yang terbaik, yaitu amalan yang menjadi tugas para nabi. Allah berfirman (artinya) : Siapakah yang lebih baik perkataannya daripada orang yang menyeru kepada Allah, mengerjakan amal yang shalih dan berkata: "Sesungguhnya aku termasuk orang-orang yang berserah diri?" [Fushshilat :33].
Jika Anda telah berdakwah, berarti telah menyerupai para nabi dan pemimpin para nabi. Manakala berdakwah, Anda harus mengikuti akhlak Rasul Shallallahu 'alaihi wa sallam, yaitu dalam firman Allah (artinya) :" Serulah (manusia) kepada jalan Rabb-mu dengan hikmah dan pelajaran yang baik dan bantahlah mereka dengan cara yang baik". [An-Nahl : 125].
فَبِمَا رَحْمَةٍ مِنَ اللَّهِ لِنْتَ لَهُمْ وَلَوْ كُنْتَ فَظًّا غَلِيظَ الْقَلْبِ لَانْفَضُّوا مِنْ حَوْلِكَ
"Maka disebabkan rahmat dari Allah-lah kamu berlaku lemah-lembut terhadap mereka. Sekiranya kamu bersikap keras lagi berhati kasar, tentulah mereka menjauhkan diri dari sekelilingmu". [Ali-Imran : 159].
Kebenaran ini sudah terasa berat, maka janganlah Anda memperberat lagi dengan sikap keras dan kasar. Dakwah itu harus dengan penampilan dan tutur kata yang bagus. Ketika diperintahkan untuk berdakwah kepada Fir’aun; manusia sombong yang mengatakan “Aku tidak mengetahui untuk kalian sesembahan selain aku”, Nabi Musa dan Harun Alaihissallam diperintahkan Allah untuk bersikap lembut kepadanya. Allah berfirman:
فَقُولَا لَهُ قَوْلًا لَيِّنًا لَعَلَّهُ يَتَذَكَّرُ أَوْ يَخْشَى
"Maka berbicaralah kamu berdua kepadanya dengan kata-kata yang lemah lembut, mudah-mudahan ia ingat atau takut". [Thaha : 44].
Meskipun demikian, seorang dai pasti menghadapi cobaan dan tantangan, pasti dicemooh dan dilecehkan, dan terkadang diusir. Demikian ini sunnatullah untuk para nabi dan pengikutnya. Jika seseorang mengemban tugas nabi, pasti akan dimusuhi meskipun sangat lunak dan santun dalam dakwahnya.
4. Saling Berwasiat Sabar.
Jalan dakwah tidaklah dihiasi dengan bunga-bunga yang mewangi, dan tidak pula dihampari dengan sutra yang memikat hati. Dakwah adalah jalan terjal yang sulit. Karena itu, diperlukan adanya tekad dan kesabaran.
فَاصْبِرْ كَمَا صَبَرَ أُولُو الْعَزْمِ مِنَ الرُّسُلِ وَلَا تَسْتَعْجِلْ لَهُمْ كَأَنَّهُمْ يَوْمَ يَرَوْنَ مَا يُوعَدُونَ لَمْ يَلْبَثُوا إِلَّا سَاعَةً مِنْ نَهَارٍ بَلَاغٌ فَهَلْ يُهْلَكُ إِلَّا الْقَوْمُ الْفَاسِقُونَ
"Maka bersabarlah kamu seperti orang-orang yang mempunyai keteguhan hati dari rasul-rasul telah bersabar dan janganlah kamu meminta disegerakan (adzab) bagi mereka. Pada hari mereka melihat adzab yang diancamkan kepada mereka (merasa) seolah-olah tidak tinggal (di dunia) melainkan sesaat pada siang hari. (Inilah) suatu pelajaran yang cukup, maka tidak dibinasakan melainkan kaum yang fasik". [Al-Ahqaf : 35].
Martabat para nabi itu di atas kita. Meskipun demikian, di antara para nabi ada yang dibunuh, ada yang disalib, ada yang dibelah dengan gergaji. Nabi kita sendiri banyak mengalami siksaan dari orang-orang musyrik. Beliau Shallallahu 'alaihi wa sallam dilempari batu hingga berdarah-darah kaki dan kepalanya, dilempari dengan kotoran di punggungnya, dituduh sebagai tukang tenung atau dukun santet, tetapi Beliau senantiasa bersabar dan tawakal.
Setelah Beliau diusir dari Thaif, Jibril Alaihissallam datang kepada dengan ditemani malaikat penjaga gunung. Jibril mengatakan: “Sesungguhnya Allah mendengar dan melihat apa yang dilakukan kaummu terhadapmu. Dan Dia menyampaikan salam untukmu. Bersamaku, malaikat penjaga gunung. Jika engkau menghendaki, dia akan menjatuhkan Ahsyabain (dua gunung besar yang mengapit Mekkah) pada penduduk Mekkah”.
Nabi menjawab,”Tidak! Aku akan tetap bersabar. Siapa tahu Allah akan mengeluarkan dari tulang rusuk mereka orang yang akan menyembah Allah secara tauhid, tidak melakukan syirik sedikit pun,” bahkan Nabi berdo’a: “Ya, Allah. Berilah kaumku petunjuk. Sesungguhnya mereka adalah orang-orang yang tidak tahu”. Sehingga banyak orang yang masuk Islam karena kesabaran Beliau, ampunan Beliau dan santun Beliau dalam berdakwah. Beliau Shallallahu 'alaihi wa sallam betul-betul menjadi rahmat yang dihadirkan Allah untuk umat manusia sebagaimana bunyi hadits « اَناَ رَحْمَةً مُهْدَاة »aku adalah rahmat yang dihadiahkan (Allah).
Begitulah seharusnya para guru, da’i dan para muballigh. Mereka harus memberikan kasih-sayang, memilih cara yang terbaik dan bersabar atas gangguan yang diterimanya. Akhlak yang sejati bukanlah menahan diri untul membalas gangguan, tetapi menyabarkan diri ketika diganggu. Apabila Anda beriman, beramal shalih, berdakwah dan bersabar, maka Anda termasuk orang-orang yang beruntung, mendapatkan semua yang dicita-citakan, selamat dari segala yang Anda takutkan.
6/08/2010 07:21:00 PM
Posted In
Risalah/Tafsir
Edit This
TAFSIR SURAT AL-’ASHR
Menurut MURTADHA MUTHAHHARI Dalam
DURUS FIL QUR’ANIL KARIM
بِسمِ اللَّهِ الرَّحمٰنِ الرَّحيمِ
وَالعَصرِ ﴿١﴾
(1) Demi masa.
إِنَّ الإِنسٰنَ لَفى خُسرٍ ﴿٢﴾
(2) Sesungguhnya manusia itu benar-benar berada dalam kerugian,
إِلَّا الَّذينَ ءامَنوا وَعَمِلُوا الصّٰلِحٰتِ وَتَواصَوا بِالحَقِّ وَتَواصَوا بِالصَّبرِ ﴿٣﴾
(3) kecuali orang-orang yang beriman dan mengerjakan amal saleh dan nasihat menasihati supaya menaati kebenaran dan nasihat menasihati supaya menetapi kesabaran.
Menurut Ibnu Katsir, surat Al-’Ashr merupakan surat yang sangat populer di kalangan para sahabat. Setiap kali para sahabat mengakhiri suatu pertemuan, mereka menutupnya dengan surat Al-’Ashr.
Imam Syafi’I dan juga Tafsir Mizan menyatakan bahwa walaupun surat Al-’Ashr pendek, tapi ia menghimpun hampir seluruh isi Al-Qur’an. Kalau Al-Qur’an tidak diturunkan seluruhnya dan yang turun itu hanya surat Al-’Ashr saja, maka itu sudah cukup untuk menjadi pedoman umat manusia.
Thabathaba’i menyebutkan, “Surat ini menghimpun seluruh pengetahuan Qur’ani. Surat ini menghimpun seluruh maksud Al-Qur’an dengan kalimat-kalimat yang indah dan singkat. Surat ini mengandung ayat-ayat Makkiyah dan Madaniyah, meskipun surat ini lebih tampak sebagai surat Makkiyah.”
Di zaman Rasulullah ada seorang Nabi palsu, Musailamah Al-Kadzab, yang menyaingi Rasulullah dengan mendakwakan dirinya sebagai Nabi. Musailamah Al-Kadzab bersahabat dengan ‘Amr bin Ash, salah satu sahabat Nabi yang termasuk terakhir dalam memeluk Islam. Ketika surat ini turun, ‘Amr bin Ash belum masuk Islam, tetapi ia sudah mendengarnya. Ketika ia berjumpa dengan Musailamah Al-Kadzab, Musailamah bertanya tentang surat ini: “Surat apa yang turun kepada sahabatmu di Mekah itu?” ’Amr bin Ash menjawab, “Turun surat dengan tiga ayat yang begitu singkat, tetapi dengan makna yang begitu luas.” “Coba bacakan kepadaku surat itu!” Kemudian surat Al-’Ashr ini dibacakan oleh ‘Amr bin Ash. Musailamah merenung sejenak, ia berkata, “Persis kepadaku juga turun surat seperti itu.” ‘Amr bin Ash bertanya, “Apa isi surat itu?” Musailamah menjawab: “Ya wabr, ya wabr. Innaka udzunani wa shadr. Wa sãiruka hafrun naqr. Hai kelinci, hai kelinci. Kau punya dada yang menonjol dan dua telinga. Dan di sekitarmu ada lubang bekas galian.” Mendengar itu ‘Amr bin Ash, yang masih kafir, tertawa terbahak-bahak, “Demi Allah, engkau tahu bahwa aku sebetulnya tahu bahwa yang kamu omongkan itu adalah dusta.”
Jika Imam Syafi’i berkata bahwa seandainya seluruh ayat Al-Qur’an tidak turun, maka surat Al-’Ashr ini sudah cukup untuk menjadi pedoman hidup manusia. Maka dengan demikian kita pun bisa berkata, “Seandainya seluruh ayat Al-Qur’an tidak turun, maka ucapan Musailamah itu sudah cukup untuk membingungkan orang. Karena tidak mempunyai kandungan apa-apa di dalamnya.”
Dalam Al-Qur’an, Allah sering bersumpah. Allah bersumpah dengan benda-benda, misalnya Wasy Syamsi. Demi Matahari (QS. Al-Syams 1). Allah bersumpah dengan waktu, misalnya Wadh Dhuhâ. Demi waktu dhuha. Wallaili idzâ sajâ. Demi malam apabila mulai gelap (QS. Al-Dhuha 1-2). Allah juga bersumpah dengan jiwa: Wanafsiw wa mâ sawwâhâ. Demi jiwa dan yang menyempurna-kannya (QS. Al-Syams 7). Namun, Allah paling sering bersumpah dengan waktu: Lâ uqsimu bi yaumil qiyâmah. Kami bersumpah dengan hari kiamat. (QS. Al-Qiyamah 1), Wallaili idzâ yaghsyâ, wannahâri idzâ tajallâ. Demi malam apabila gelap dan demi siang apabila terang benderang (QS. Al-Lail 1-2). Dalam surat Al-’Ashr ini Allah bersumpah dengan waktu: Wal-’Ashr.
Ada perbedaan di antara para ahli tafsir dalam mengartikan ayat ini. Ada yang mengatakan bahwa ‘Ashr itu adalah waktu ashar, sebaliknya dari waktu dhuha. Waktu dhuha ialah seperempat waktu yang pertama sedangkan waktu ashar adalah seperempat waktu yang terakhir. Sebagian lagi ber-pendapat bahwa ‘Ashr di situ berarti masa, misalnya ‘Ashrush shahãbah (masa sahabat), ‘Ashrur rasul (masa Rasul). Al-’Ashr dalam Bahasa Arab biasanya dipakai untuk menunjukkan babakan atau periodisasi, misalnya ‘Ashrul hadid yang berarti zaman besi di dalam sejarah.
Menurut sebagian besar mufasir, Wal-’Ashr itu menunjukkan zaman Rasul. Allah bersumpah dengan zaman Rasul. Murtadha Muthahhari mengatakan bahwa sebetulnya zaman itu, seperti juga makan (tempat), tidak ada yang baik atau jelek. Tidak ada waktu yang mulia atau waktu yang hina. Tidak ada tempat yang suci dan tidak ada pula tempat yang kotor. Seluruh waktu sama derajatnya dan seluruh tempat juga sama derajatnya. Lalu apa yang menyebabkan satu waktu mempunyai nilai lebih tinggi dari waktu yang lain? Hal itu karena adanya peristiwa yang berkaitan dengan waktu itu. Satu tempat juga menjadi lebih mulia dari tempat yang lainnya bukan karena tempatnya itu, melainkan karena tempat itu berkaitan dengan suatu kejadian atau peristiwa.
Jika Rasulullah saw tidak turun di Mekah atau Ibrahim as tidak membangun Ka’bah di situ, maka kota Mekah itu sama nilainya dengan kota-kota lain (Cicadas misalnya). Mekah itu menjadi mulia karena di situ ada peristiwa besar. Waktu-waktu dalam hidup kita sama semuanya, tetapi ada waktu-waktu tertentu dalam sejarah hidup kita yang punya nilai lebih tinggi. Kita menghormati waktu tersebut, karena di dalamnya berkenaan dengan peristiwa yang sangat penting yang terjadi dalam hidup kita. Ada orang yang menganggap hari pernikahan-nya adalah hari yang sangat penting. Sehingga apabila ia melihat tanggal tersebut pada kalender, ia tersentak karena ingat bahwa tanggal itu ialah tanggal yang historis.
Mengapa kita suka memperingati hari-hari tertentu? Itu bukan karena keistimewaan harinya, tetapi karena ada peristiwa pada hari itu. Hal ini kita anggap sebagai hal yang wajar-wajar saja. Meskipun ada sebagian orang yang membid’ahkan peringatan hari-hari tertentu, misalnya peringatan Hari Kelahiran Nabi. Hari itu menjadi mulia karena hari itu lahir seorang Rasul yang menjadi rahmatan lil ‘ãlamin. Sebagian orang itu mengkritik peringatan maulid Nabi, walaupun ia tidak mengkritik hari maulidnya sendiri. Orang itu mengkritik hari lahir Nabi, tapi tidak mengkritik hari lahir organisasinya. Bukankah kita sering menemukan apa yang kita sebut nostalgia? Ketika orang kembali ke tempat-tempat tertentu hanya sekedar mengenang kembali peristiwa masa lalu, karena tempat itu punya makna yang tersendiri buat dirinya. Jadi, dalam hal ini makna waktu dan makna tempat itu bersifat nisbi atau relatif (bergantung pada orangnya).
Oleh karena itu, ada hari-hari yang penting buat umat Islam, tetapi tidak penting menurut umat yang lain. Ada zaman-zaman tertentu yang begitu penting menurut kelompok Islam tertentu, tetapi tidak begitu penting bagi kelompok Islam yang lain. Bagi Ahlu Sunnah misalnya, ‘Ashrush shahãbah (zaman sahabat) adalah zaman yang penting. Ke zaman itulah Ahlu Sunnah merujuk.
Surat ini diawali dengan kata Wal-’Ashr, demi masa (Rasulullah). Masa Rasulullah dianggap seluruh mazhab sebagai masa yang paling penting. Dikarenakan masa itu ialah ‘Ashrut tasyri’ (masa ditetapkannya syari’at), masa diturunkannya Al-Qur’an, dan masa dikembangkannya agama Islam. Selanjutnya Thabathaba’i menyatakan, “Inilah masa terbitnya Islam di tengah-tengah masyarakat manusia dan masa munculnya kebenaran di atas kebatilan.”
Ayat kedua menyebutkan Innal insãna lafi khusr yang artinya: sesungguhnya manusia berada dalam kerugian. Kata insan, menurut Muthahhari, mengandung penafsir-an bahwa di dalam manusia itu ada dua sifat, yaitu sifat Hayawaniyah dan sifat Insaniyah (sifat-sifat kebinatangan dan sifat-sifat kemanusiaan). Manusia dalam sifat kebinatangannya sama dengan binatang yang lain, misalnya ingin makan, minum, menghindari hal yang menyakitkan, dan ingin memperoleh kenikmatan dalam hidup. Muthahhari membedakan antara istilah kenikmatan dan kebahagiaan (pleasure dan happiness). Binatang itu tidak pernah memiliki happiness, tetapi memiliki pleasure. Dari segi ini, kita pun sama halnya dengan binatang. Kalau Anda makan yang enak, Anda belum tentu bahagia, tetapi pasti Anda memperoleh pleasure (kenikmatan). Tapi misalnya jika Anda adalah seorang suami yang pergi jauh merantau dan pulang ke tanah air setelah sekian tahun, ketika Anda turun dari pesawat ke lapangan terbang, di seberang sana Anda melihat isteri dan anak Anda. Anda akan berlari dan mencium anak isteri Anda. Saat itu Anda bukan hanya merasakan pleasure, tetapi juga happiness.
Jadi apa yang membedakan kebahagiaan dengan kenikmatan? Kenikmat-an itu sifatnya hayawaniyah sedangkan kebahagiaan bersifat insaniyah.
Pada segi-segi kebinatangan, kita sama dengan mahluk-mahluk yang lain. Bahkan bila dibandingkan dengan mahluk yang lain, dalam segi jasmaniah kita adalah mahluk yang lemah, “ Wa khuliqal Insânu dha’îfâ” (QS An-Nisa 28). Manusia itu dicipta-kan dalam keadaan lemah. Manusia dan binatang ketika keluar dari perut ibunya sudah siap segala sesuatunya secara fisik. Namun, binatang ketika keluar dari perut ibunya, ia sudah berkembang hampir sempurna. Ia tidak memerlukan perkembang-an yang lain kecuali perkembangan fisik. Malah dalam perkembangan fisik, binatang itu lebih cepat berkembang dan lebih kuat daripada manusia. Anak ayam, misalnya, yang baru menetas dari telur, beberapa menit kemudian sudah bisa berjalan dan berlari.
Manusia tidak demikian -kecuali Gatotkaca dalam cerita pewayangan. Walau manusia itu sudah bisa berjalan, ia belum dikatakan sebagai manusia, tetapi calon manusia. Kucing itu “menjadi kucing” karena “dibuat menjadi kucing”, tetapi manusia “tidak dibuat menjadi manusia” atau tidak otomatis menjadi manusia. Manusia harus membuat dirinya menjadi manusia. “Kekucingan atau kebinatangan” itu dibuat oleh Allah sedang-kan manusia menjadikan “kemanusiaannya” oleh dirinya sendiri. Apakah manusia itu mau menjadi manusia atau tidak, bergantung kepada dirinya sendiri. Binatang memiliki sifat-sifat kebinatangannya itu tidak melalui proses belajar, tidak melalui proses perkembangan kepribadian. Kalau kucing menangkap tikus atau perilaku-perilaku lain seperti layaknya binatang, itu sudah dibuat untuk dapat berperilaku seperti itu. Tetapi manusia harus belajar untuk mengembang-kan sifat-sifat kemanusiaannya. Ia harus meningkatkan dirinya dari sifat hayawaniyah kepada sifat insaniyah. Ketika Allah menyatakan innal insãna lafi khusr, maksudnya ialah bahwa manusia itu berbeda dengan binatang yang bisa memperoleh kebinatangannya tanpa melalui proses usaha. Manusia berada dalam kerugian, karena kita harus mengembangkan sifat-sifat kemanusia-an, dengan keinginan kita sendiri.
Apa yang bisa mengembangkan sifat-sifat kemanusiaan itu ?
Kalau kita membandingkan binatang yang satu dengan yang lain yang sejenis, kita hanya bisa membedakan dalam segi jasmaniah. Antara kambing yang satu dengan kambing yang lain tidak begitu berbeda nilainya. Paling-paling hanya berbeda beberapa kilogram saja. Namun manusia yang satu dengan manusia yang lain nilainya bukan beberapa kilogram, nilainya kadang-kadang jauh seperti jauhnya langit dan bumi. Misalnya Abu Jahal dengan Rasulullah. Dari segi hayawaniyah, kedua manusia itu nilainya sama -mungkin lebih tinggi Abu Jahal beberapa kilogram- tetapi dari segi insaniyah, nilai Abu Jahal itu jauh lebih rendah daripada nilai Rasulullah saw.
Apa yang membedakan nilai seorang manusia yang satu dari manusia yang lain? Yang membedakannya adalah sejauh mana setiap orang mengembangkan nilai kemanusiaannya. Apa yang bisa mengem-bangkan nilai kita sebagai manusia? Illalladzîna ãmanu wa ’amilush shãlihat. Kecuali orang-orang yang beriman dan beramal saleh. (Al-’Ashr 3). Jadi, ada dua hal yang mengembangkan nilai kemanusiaan, pertama iman dan kedua amal saleh.
Mengapa iman? Binatang memiliki persepsi material. Jika ia mengejar kenikmatan, itu kenikmatan jasmaniah. Oleh karena itu, ia tidak punya happiness. Yang disebut kebahagiaan itu bukan yang bersifat jasmani, tetapi bersifat ruhani. Bisa jadi ada orang lapar, tetapi ia bahagia. Ada pula orang yang bergelimang dalam kenikmatan, tetapi ia tidak bahagia. Dengan imanlah manusia dapat meningkatkan derajat hayawaniyah-nya ke derajat insaniyah, dari pleasure kepada happiness. Imanlah yang dapat menghubung-kan manusia dengan sifat-sifat ruhaniah atau spiritual. Karena itu, manusia tanpa iman sama dengan binatang, nilainya sangat rendah. Ia menjadi orang-orang yang mengejar pleasure bukan mengejar happiness. Manusia yang kosong dari iman adalah manusia dalam pengertian majãzi saja dan pada hakekatnya ia adalah binatang.
Kita dapat menemukan orang-orang yang memiliki nilai kebahagiaan yang sangat tinggi. Misalnya ketika Rasulullah berkata kepada Bilal, “Hai Bilal, marilah kita tenteramkan hati kita dengan shalat.” Rasul juga berkata, “Allah jadikan shalat itu sebagai penyejuk batinku.” Al-Qur’an melukiskan orang-orang seperti itu dengan “Qad aflaha man zakkâhâ. Sungguh berbahagia orang yang mensucikan dirinya” (QS. Al-Syams 9). Rasulullah pun bersabda mengenai kebahagiaan orang yang berpuasa, “Bagi orang yang berpuasa ada dua kebahagiaan: ketika berbuka dan ketika ia berjumpa dengan Tuhannya.” Kebahagiaan ketika berbuka bukan karena ia mendapat makanan setelah dilaparkan. Jika demikian, apa bedanya dengan binatang yang setelah dilaparkan lalu diberi makan. Kebahagiaan di situ karena ia telah menyelesaikan puasa hari itu dengan baik. Kalau orang-orang yang berpuasa pada malam Idul Fitri meneteskan air matanya ketika mendengar bunyi takbir, itu bukan kenikmatan tetapi kebahagiaan. Karena ia telah menyelesaikan satu bulan penuh dengan keberhasilan dalam melakukan puasanya.
Kemudian yang dapat meningkatkan nilai insaniyah kita adalah a’mãlush shãlihat (amal saleh). Jadi nilai seorang manusia itu diukur dari iman dan amal salehnya. Dalam Al-Qur’an dinyatakan: Wa likullin darajâtum mim mâ ‘amilû. Untuk setiap orang, derajat yang sesuai dengan amalnya (QS Al- An’am 132). Kalau Rasulullah diukur dari segi hayawaniyah-nya, maka beliau tergolong orang yang tidak sukses. Siti A’isyah berkata bahwa Rasulullah itu pernah berhari-hari tidak menemukan sesuatu untuk dimakan.
Menurut Muthahhari, amal saleh itu memiliki dua ciri. Pertama, ciri asli. Sesuatu disebut amal saleh karena memang pada zatnya sudah merupakan amal saleh. Misalnya shalat, zakat, dan berbuat baik kepada orang lain. Kedua, ciri amal saleh diukur berdasarkan hubungan dengan pelakunya. Misalnya shalat bisa hukumnya wajib, sunat, malah bisa haram tergantung pada pelakunya. Contohnya seseorang shalat karena ingin dianggap hebat dan ingin dipuji. Nilai orang itu bisa jatuh dari amal saleh menjadi amal yang jelek. Dalam sebuah hadits dinyatakan bahwa apabila seseorang meminjam dengan niat untuk tidak mengem-balikannya, maka Allah menilainya sebagai pencuri. Bila seseorang ketika mengucapkan ijab kabul dan dalam hatinya berniat untuk tidak membayar mas kawinnya, maka Allah menilainya sebagai pezina. Jadi perilakunya sama, tetapi karena berhubungan dengan pelakunya, maka nilainya bisa berubah.
Muthahhari mengatakan bahwa apabila seseorang menagih utang dan orang yang berutang itu mau shalat dan mengata-kan: “Nanti utang saya bayar setelah saya shalat”, maka Muthahhari menyatakan bahwa shalatnya bukan amal saleh. Mengapa? Karena orang itu ingin segera utangnya dibayar, sementara waktu shalatnya masih ada. Maka dalam hal itu, dahulukanlah membayar utang daripada melakukan shalat. Contoh lain misalnya suatu waktu kita akan pergi shalat Jum’at, lalu kita melihat orang yang tertabrak. Kalau kita tidak menolong dan malah terus pergi shalat, maka shalat Jum’at pada saat itu bukan amal saleh. Dalam hal ini kita harus menolong orang yang tertabrak itu dengan mengantarkannya ke rumah sakit. Karena jika kita tidak sempat shalat Jum’at, shalat Jum’at itu bisa kita ganti dengan shalat Dzuhur.
Di sini Islam menjunjung tinggi nilai-nilai kemasyarakatan daripada nilai-nilai individual. Lalu ada orang bertanya, “Bukan-kah hak Allah itu yang harus didahulukan daripada hak terhadap sesama?” Muthahhari menyatakan bahwa orang-orang yang bertanya semacam itu adalah orang-orang yang berpikiran sempit. Dia mengira bahwa hak Allah itu hanya shalat saja, padahal hak Allah juga adalah untuk menolong orang yang membutuhkan pertolongan di dalam waktu yang segera. Jadi amal saleh itu bukan hanya harus sesuai dengan syari’at, tapi juga harus layak dengan pelakunya.
Muthahhari memberi contoh lebih jauh. Misalnya, ada tiga orang yang setelah dicek secara psikologis, yang satu punya bakat sastra, yang kedua berbakat teknik dan yang ketiga berbakat musik. Misalnya orang yang berbakat sastra dia tidak mau masuk jurusan sastra –karena sulit cari kerja- lalu dia memilih teknik, maka memilih teknik bagi orang itu bukan amal saleh; karena tidak sesuai dengan predisposisinya (memaksakan diri untuk sesuatu yang tidak sesuai dengan dirinya).
Sekarang ini dikembangkan sebuah alat ukur. Banyak ditemukan bahwa orang-orang cerdas yang ber-IQ tinggi, hidupnya gagal. Di Amerika hal itu sering terjadi. Para psikolog heran, mestinya orang-orang yang cerdas itu dalam hidupnya berhasil, tetapi ternyata banyak yang gagal. Persentase orang yang bunuh diri bahkan banyak dilakukan oleh orang-orang yang ber-IQ tinggi. Persentase pengidap sakit jiwa juga didominasi oleh orang-orang yang kecerdasannya tinggi. Setelah mereka selidiki, ternyata bahwa kita salah mengukur kecerdasan itu. Kita harus mengukur bukan hanya IQ, tetapi juga harus mengembangkan emotional intelegence. Intelegensi emosional ialah kemampuan mengendalikan dirinya atau kemampuan mengendalikan emosinya. Ternyata yang lebih mendorong orang sukses dalam hidup bukan IQ, tetapi emotional intelegence.
Puasa itu bukan melatih IQ, boleh jadi IQ kita ketika berpuasa malah menurun. Tetapi intelegensi emosional kita yang mungkin meningkat kalau kita berpuasa dengan benar. Iman dan amal saleh adalah dua hal yang mengembangkan sifat insaniyah manusia secara individual. Sedangkan tawã shaubil haq wa tawã shaubish shabr (Al-’Ashr 3), adalah dua perilaku yang mengembangkan manusia secara sosial.
Nilai suatu masyarakat juga diukur dari iman dan amal saleh. Masyarakat yang rendah adalah masyarakat yang tidak beriman dan tidak beramal saleh atau masyarakat barbar, masyarakat biadab.
Menurut surat Al-’Ashr ini, kita punya kewajiban bukan hanya mengembangkan sifat insaniyah kita, tetapi juga kewajiban untuk mengembangkan masyarakat insaniyah atau masyarakat yang memiliki sifat kemanusiaan. Al-Qur’an menyebutkan dua caranya, yaitu tawãshaubil haq dan tawã shaubish shabr. Al-Qur’an tidak mengguna-kan kata tanãshahû (saling memberi nasihat), tetapi Al-Qur’an menggunakan kata “saling memberi wasiat”. Mengapa? Wasiat itu lebih dari sekedar nasihat. Nasihat itu boleh dilaksanakan boleh tidak -mungkin juga boleh didengar atau tidak- tapi kalau wasiat harus didengar dan dilaksanakan.
Pada kata tawã shau kita bukan hanya subyek, tetapi sekaligus objek. Kita bukan saja yang menerima wasiat, tetap juga yang diberi wasiat. Apa yang harus diwasiat-kan? Al-Haq dan Ash-Shabr.
Sebagaimana iman tidak bisa dipisahkan dengan amal saleh, maka Al-Haq tidak bisa dipisahkan dengan Ash-Shabr. Jadi orang tidak dikatakan beriman kalau tidak beramal saleh dan tidak dikatakan membela kebenaran kalau tidak tabah dalam membela kebenaran itu.
Kesimpulannya, dari surat yang pendek ini Allah mengajarkan kepada kita bahwa kita berada pada tingkat yang rendah atau dalam kerugian apabila kita tidak mengembangkan diri kita dengan iman dan amal saleh. Masyarakat kita juga menjadi masyarakat yang rendah bila kita tidak menegakkan Al-Haq dan Ash-Shabr di tengah-tengah masyarakat kita. (*)
6/06/2010 02:36:00 PM
Posted In
Risalah/Tafsir
Edit This

A. Pendahuluan
Surah ini diturunkan di Makkah sesudah surah at-Takatsur.Nama surah ini diambil dari kata al-Ma’un yang diambil pada ayat terakhir. Menurut etimologi, al-Ma’un berarti banyak harta, berguna dan bermanfaat, kebaikan dan ketaatan , dan Zakat.[1]Surah ini menggambarkan orang yang tidak mau membayar zakat dan tidak mau pula berinfaq untuk membantu fakir miskin. Allah mengancam orang yang mempunyai banyak harta tetapi tidak mempunyai kepedulian social.
Kata-kata Arab "al-Ma'un" yang merupakan ujung surat dan menjadi nama suratnya dijelaskan oleh Muhammad asad, berdasarkan berbagai tafsir klasik,sebagai "comprises the small items needed for one'sdaily use, as well as the occasional acts of kindnessconsisting in helping out one's fellow-men with such item. In its wider sense, it denotes "aid" or "assistance" in any difficulty" (... kata-kata"al-ma'un" mencakup hal-hal kecil yang diperlukan orangdalam penggunaan sehari-hari, juga perbuatan kebaikankala-kala berupa pemberian bantuan kepada sesama manusiadalam hal-hal kecil tersebut. Dalam maknanya yang lebihluas, kata-kata itu berarti "bantuan" atau "pertolongan"dalam setiap kesulitan )[2]
ارءيت الذي يكذب باالدين * فذالك الذي يدع اليتيم *
ولا يحض على طعام المسكين * فويل للمصلين *
الذين هم عن صلاتهم ساهون* الذين هم يراءون*
ويمنعون الماعون *
Artinya : ( 1 ) Tahukah kamu ( orang ) yang mendustakan agama?
( 2) Itulah orang yang menghardik anak yatim, ( 3 ) dan tidak menganjurkan memberi makan fakir miskin. ( 4 ) maka celakalah bagi orang yang sholat ( 5 ) ( yaitu) orang-orang yang lalai dari sholatnya, ( 6 ) orang yang berbuat riya, ( 7) dan enggan ( menolong dengan ) barang yang berguna.
B. Asbabul Nuzul
Adapun sebab turunya surah ini ialah berkenaan degan orang-orang munafik yang memamerkan shalat kepada orang yang berirman; mereka melakukan shalat dengan riya’, dan meninggalkan apabila tidak ada yang melihatnya serta menolak memberiakn bantuan kepada orang miskin dan anak yatim ( Riwayat ibnu Mudzir ).
C. Tasir
Surah ini diawali dengan kalimat tanya untuk menarik perhatian pembacaanya. Kemudian Allah SWT sendiri yang menjawab pertanyaan tersebut satu per satu. Tujuanya ialah agar pembaca benar-benar memperhatiakn dan meresapi makna yang terkandung di dalamnya.Biasnya setiap ayat yang didahului dengan pertanyaan mengandung nilai yang sangat penting untuk segera dipahami dan diamalkan. Pertanyaan yang paling prinsipil ialah “ siapakah pendusta agama ? “ maka jawabanya segera disusul setelah pertanyaanya. Ayat selanjutnya menjawb secara lugas bahwa pendusta agama ialah orang yang tidak mau menyantuai anak yatim.Ciri berikutnya ialah orang yang tidak mau menyeru untuk dana dan makanan supaya diberiakn kepada orang miskin.
Ustadz M Quraish Shihab dalam Tafsir Al-quran Al karim menyatakan paling tidak ada 2 hal yang patut disimak dalam ayat 3 surat ini. Pertama ayat tersebut tidak berbicara tentang kewajiban ”memberi makan” orang miskin, tapi berbicara ”menganjurkan memberi makan”. Itu berarti mereka yang tidak memiliki kelebihan apapun dituntut pula untuk berperan sebagai ”penganjur pemberi makanan terhadap orang miskin” atau dengan kata lain, kalau tidak mampu secara langsung, minimal kita menganjurkan orang-orang yang mampu untuk memperhatikan nasib mereka. Peran ini sebenarnya bisa dilakukan oleh siapapun, selama mereka bisa merasakan penderitaan orang lain. Ini berarti pula mengundang setiap orang untuk ikut merasakan penderitaan dan kebutuhan orang lain, walaupun dia sendiri tidak mampu mengulurkan bantuan materiil kepada mereka.
Anak-anak yatim dan faqir miskin adalah bagian dari kelompok masyrakat yang sangat dicintai oleh Rusulullah SAW, bahkan dalam sebuah hadits dinyatakan ( Rusuluallah ) sangat dekat dengan mereka.Perhatian mereka sangat diutamakan, sebagaimana tersebut dalam sebuah ayat :
ويسئلونك عن اليتمى قل اصلاح لهم خير وان تخالطهـــم فاخوانكم
Dan mereka bertanya kepadamu tentang anak yatim katakanlah ;
Mengurus urusan mereka secara patut adalah baik, jika kamu menggauli mereka, maka mereka adalah saudaramu”
( Al-Baqarah: 220 ).
Perkataan "yahudldlu" yang diterjemahkan dengan "berjuang" di sini mempunyai asal arti "menganjurkan dengan kuat". A. Hassan dalam Al-Furqan, menerjemahkan perkataan itu dengan "menggemarkan," Departemen Agama menerjemahkan dengan "menganjurkan" sedangkan Mahmud Yunus dalam tafsir Qur'an Karim menggunakan perkataan "menyuruh". Dan Muhammad Asad, dalam The Message of the Qur'an, menerjemahkannya dalam bahasa Inggeris dengan "feels no urge" (tidak merasakan adanya dorongan), karena baginya perkataan "yahudldlu" mempunyai makna "mendorong diri sendiri" (sebelum mendorong orang lain). Jadi, perkataan "yahudldlu" menunjuk pada adanya komitmen batin yang tinggi, yakni usaha mengangkat dan menolong nasib kaum miskin. Berarti bahwa indikasi ketulusan dan kesejatian dalam beragama ialah adanya komitmen sosial yang tinggi dan mendalam kepada orang bersangkutan.
Imam Bukhari dan Imam Muslim meriwayatkan dari Abu Hurairah ra, bahwasanya Rasulullah SAW bersabda: Hindarilah tujuh perkara yang membinasakan. Para sahabat bertanya: “Wahai Rasulullah SAW apakah itu?” Rasulullah SAW bersabda: 1. Syirik, 2. Berbuat sihir, 3. Membunuh orang yang diharamkan oleh Allah untuk dibunuh kecuali dengan alasan yang benar (menurut ajaran agama), 4. Memakan riba, 5. Memakan harta anak yatim, 6. Berpaling di waktu peperangan (bukan untuk bersiasat akan tetapi lantaran takut kepada musuh), 7. menuduh zina kepada wanita mukmin yang sudah bersuami yang tidak terlintas di hatinya untuk menjalankan kejelekan
Sholat adalah ibadah yang paling utama yang diperintahkan dalam syareat islam.Dengan melaksanakanya secara baik dan benar akan menimbulkan pengaruh positip yang sangat besar dalam aspek kehidupan. Di akherat pun merupakan amaliah yang paling utama yang memperoleh penilaian dan menjadi tolak ukur semua amal perbuatan.
Allah berfirman :
اتل ما اوحى اليك من الكتاب واقم الصلاة ان الصلوة تنهى عن الفخشاء والمنكر
Bacalah apa yang telah diwahyukan kepadamu, yaitu alkitab ( al-qur’an ) dan dirikanlah sholat.sesungguhnya sholat itu mencegah dari perbuatan –perbuatan keji dan mungkar. ( al-ankabut : 45 )
Selanjutya Allah menegaskan bahwa ada sebagian orang yang melakukan amal kebaikan, termasuk shalat, untuk memperlihatkan amalnya kepada manusia. Tindakan seperti ini disebut riya’.Sikap riya’ adalah lawan dari ikhlas. Keikhlasan diperlukan dalam setiap amal kebaikan agar memperoleh pahala yang sempurna dari Allah.
Yang diterjemahkan dengan "lupa" atau "lalai" dalam firman itu ialah kata-kata yang dalam bahasa aslinya (Arab) "sahun". Yang dimaksud dalam firman ini bukanlah mereka itu dikutuk Allah karena lupa mengerjakan shalat yang disebabkan lupa, misalnya, terlalu sibuk bekerja. Sebab lupa dan alpa serupa itu justru dimaafkan oleh Allah, tidak dikutuk.[3]).Tapi yang dimaksud dalam firman itu ialah mereka yang menjalankan shalat itu lupa akan shalat mereka sendiri, dalam arti bahwa shalat merekatidak mempunyai pengarah apa-apa kepada pendidikan akhlaknya, sehingga mereka yang menjalankan shalat itudengan mereka yang tidak menjalankannya sama saja. Apalagi jika lebih buruk!
Suatu hari, Sayyidah Fathimah as bertanya kepada Rasulullah saw, “Yâ Abâtah, apa yang akan didapatkan oleh orang yang melecehkan shalatnya, menganggap enteng kepada shalatnya, baik laki-laki maupun perempuan?” Rasul bersabda, “Hai Fathimah, barang siapa yang melecehkan shalatnya menganggap enteng kepada shalatnya, baik laki-laki maupun perempuan, Tuhan akan menyiksanya dengan lima belas perkara. Enam perkara di dunia, tiga pada saat ia mati, tiga lagi pada waktu ia berada di kuburnya, dan tiga perkara pada Hari Kiamat, ketika ia keluar dari kuburnya.”
Allah berfirman :
Maka datanglah sesudah mereka pengganti (yang jelek) yang meremehkan sholat dan menuruti hawa nafsunya, maka mereka kelak akan menemui kesesaatan. Kecuali orang yang bertaubat, beriman dan beramal sholeh? (QS. Maryam: 59-60)
Para ulama mengomentari ayat diatas dengan tafsirnya yang terdapat dalam Ibnu Katsir sebagai berikut :
1. Muhammad bin Kaab Al Quraan Al Qurdly, dan Ibnu Zaid bim Aslam dan Sady yang disebut meremehkan sholat adalah Meninggalkan Sholat ( Tidak sholat )
2. Al Auz, Ibnu Maasud, Ibnu jarir, Ibnu Juraih meremehkan sholat adalah meremehkan waktu
3. Al Hasan Al-Bashri, meremehkan sholat adalah meninggalkan Masjid ( Tafsir Ibnu katsir 3 / 21 )
Kata Ibnu Abbas Radhiallahu’anhu : Pengertian meninggalkan sholat tidak berarti meninggalkan sholat itu sama sekali. Tetapi Said bin Musayyib mengatakan : Orang itu tidak sholat Ashar, Dzuhur kecuali hingga datangnya waktu maghrib, tidak sholat maghrib hingga datangnya waktu Isya dan tidak sholat Isya hingga datangnya Fajar ( shubuh ).
Allah berfirman : Maka celakalah orang-orang yang sholat. Yaitu orang-orang yang lalai dari sholatnya? ( Al-Maun : 4-5 )
Kata Saad bin Abi Waqosh: Aku telah bertanya kepada Rasulullah tentang mereka yang melalaikan sholatnya, maka beliau menjawab Yaitu Mengakhirkan waktu , yakni mengakhirkan waktu sholat.
D. Kesimpulan
Ilustarsi diatas, tentang pemahaman surat al-ma’un mengingatkan kita betapa penting nilai yang dikandungnya untuk diamalkan dalam kehidupan kita sehari-hari agar kita tidak terjebak kepada kelompok orang yang mendustakan agama.diantara nilai-nilai penting yang terkandung ialah :
1. Allah SWt mengingatkan agar kita tidak terjebak kedalam kelompok orang-orang munafiq yang cenderung menyepelehkan agama.
2. Allah SWT menjelaskan cirri-ciri oran yang mendustakan agama.
3. Allah SWT mencela orang yang melakukan sholat yang tidak mau memahami dan menghayati esensi sholatnya, yaitu orang yang sholat karena riya’
4. Allah SWT melaknat orang kaya yang bersikap kikir, tidak mau membantu orang miskin dan tidak mau mengeluarkan zakat.
[1] Drs. H. Hasan Basri SH, Tafsir Pase, Balai Kajian Tafsir Al-Qur’an Pase, hal. 130
[2] Muhammad Asad. The Messege of the Qur’an. Hal .102
[3] Ibn Taymiyyah, Minhaj al-Sunnah, 4 jilid, Riyadl, Maktabat al-Riyadl al-Haditsah, tt.,Jilid 3, hal. 46
5/31/2010 08:37:00 PM
Posted In
Risalah/Tafsir
Edit This

Allah menjelaskan tentang dirinya dari ayat satu sampai ayat empat bahkan sampai ayat-ayat barikutnya, pada bagian akhir ayat empat "dan dia (Allah) bersamamu dimanapun kamu berada,” begitulah kenyataannya yang seharusnya orang-orang beriman menyadarinya sebagai pendekatan Allah dengan manusia baik dalam maiyatul ilm, pendekatan Allah dalam artian pengetahuan Allah mencakup seluruh aktivitas kita, tidak ada bagi Allah yang tersembunyi, atau maiyatul himayah, ataupun maiyatunnasr, kebersamaan Allah dalam aritian perlindungan dan rahmatNya, bantuannya pada orang-orang yang beriman dan Allah sangat sayang pada orang-orang yang beriman.
Pengetahuan akan maiyah Allah ini akan membangkitkan kesadaran kita bahwa Allah mengetahui apa yang kita lakukan dan Allah selalu dekat dengan kita, kalau kesadaran ini ada dalam hati dan pikiran kita maka akan melahirkan sikap ihsan dalam segala perbuatan kita, jangankan kesadaran dan taunya kita bahwa kita dilihat Allah yang ringan saja misalnya seseorang ketika dibelakangnya ada ustadznya maka ibadahnya akan bertambah baik, akhlaq dan prilakunya bertambah sopan, malu rasanya kalu dilihat kiainya belum nampak baik ibadahnya belum nampak dewasa prilakunya, apalagi kesadaran itu dirinya dilihat Allah swt.
Sikap ihsan ini diisyaratkan Rasululllah saw, dalam hadits Jibril seperti dikutip Ibnu Katsir dalam tafsirnya “Ketika Rasulullah ditanya tentang ihsan oleh Jibril maka Rasulullah menjawab ‘kamu beribadah kepada Allah seolah-olah kamu melihatnya dan jika kamu tidak melihatnya sesungguhnya Allah meliahatmu,” sebenarnya manusia tidak bias meliaht Allah, seperti yang dikatakan Allah kepada Nabi Musa AS, ‘selamamnya didunia kamu tidak akan meliahtku’. Tapi manusia harus yakin bahwa Allah melihatnya kesadaran seseorang ini akan melahirkan sikap ihsan dalam prilaku dan perbuatannya dan Hendaknya seorang Mukmin memiliki rasa malu dan rasa itu melekat dirinya, karena Allah selalu bersamanya.
Dijelaskan dalam oleh Ibnu Katsir, kata Umar ada seseorang yang datang kepada Rasulullah meminta petunjuk, “bekalilah aku dengan kalimat hikmah yang akan kujadikan sebagai pegangan hidupku,’ lalu Rasul menjawabnya, ‘malulah kamu kepada Allah seperti seseorang malu dari keluarganya yang soleh dan memperhatikannya tidak pernah lepas,” Karena kita sudah cendrung pada pola pikir materialis biasanya kita malu kepada manusia tapi ketika ada Allah dan malaikat yang mendampingi kita, tidak merasa malu, manusia walau tak pernah lepas disaat tertantu pasti jauh dari kita, tapi Allah selalu bersama kita dimanapun berada dan Allah maha melihat dan mengetahui.
Ada sutu hadits marfu’ dari Abdullah bin Alwiyah Al Amilin, “Ada tiga hal yang barang siapa bisa merelaisaikannya dia akan merasakan nikmatnya beribadah yaitu selalu beribadah hanya kepada Allah, selalu berinfaq dan selalu mensucikan dirinya” orang bisa melakukan iu kalau dia merasa diperhatikan Allah.
Satu lagi hadits yang harus menjadi pegangan hidup kita, dari Ubadah bin Shomit katanya Rasulullah bersabda “sesunguhnya iman yang paling afdhol kamu sadar bahwa Allah selalu beersamamu dimanapun kamu berada” kalau bahasanya Sayid Qutub disebut imam hayi (iman yang hidup, iman yang membangkitkan kesadaran) kalau kesadaran ini ada ibadah kita selalu maksimal dan diri kita selalu terhindar dari berbagai penyimpangan, itu pula yang dinasihatkan Rasulullah kepada seorang sahabat yang baru beberapa hari mengaji dengannya kata Rasulullah “sekarang kamu pulang kampung dan berdakwah untuk seluruh masyarakat disitu”, sahabat yang baru beberapa kali bertemu dan merasa bekalnya belum banyak dan dia ingin berlama-lama bersama Rasulullah, tapi Rasulullah berkata lagi “sekarang aku bekali lalu kamu pulang, takutlah kamu kepada Allah dimanapun kamu berada, sertakanlah perbuatan yang baik atas perbuatan yang buruk, sehingga perbuatan yang baik menghapus yang buruk tadi, bergaullah dengan manusia dengan baik.
”Kepunyaan-Nya-lah kerajaan langit dan bumi. dan kepada Allah-lah dikembalikan segala urusan”
Ayat lima ini Masih menjelaskan tentang sifat-siafat Allah, kalau ujung ayat empat wallahu bima ta’maluna basyir, maka ayat kelimanya Lahu mulku samaawaati wal ardli (milik Allahlah kekuasaan dilangit seluruhnya dan juga dibumi) segalanya itu milik Allah. Karenanya Allah disebut juga Malikulmulki (pemilik seluruh kekuasaaan), dalam do’a pagi dan sore “Katakanlah: Wahai Allah yang memiliki kerajaan, Engkau berikan kerajaan kepada orang yang engkau kehendaki dan Engkau cabut kerajaan dari orang yang Engkau kehendaki..” sekalipun orang mempertahankannya kalau Allah ingin mencabutnya dia tidak akan bisa apa-apa.
"Dan kepada Allahlah segala urusan itu dikembalikan"
segalanya akan kembali kepada Allah termasuk kita, ketika Allah mengambil apa yang dimilikinya itu yang kita mengkalaim miliki kita atau yang Allah titipkan kepada kita, maka diharuskan membaca kalaimat isti’jal inalillahi wainnailahi raji’un diayat ini dikatakan “dan kepada Allah segala hal itu dikembalikan” termasuk diri kita, makanya didalam surat Al Jumu’ah Katakanlah: "Sesungguhnya kematian yang kamu lari daripadanya, Maka Sesungguhnya kematian itu akan menemui kamu, kemudian kamu akan dikembalikan kepada (Allah), yang mengetahui yang ghaib dan yang nyata, lalu Dia beritakan kepadamu apa yang telah kamu kerjakan". Karenanya kesadaran ini kalau Allah meinginginkan milikNya kita dengan ridho melepasnya, “Katakanlah siapa yang mau meminjamkan kepada Allah pinjaman yang baik Allah akan ganti” padahal yang dipinjamkan itu milik Allah, tapi kasih sayangnya Allah kalau kita meminjamkan diganti dengan berlipat ganda tapi sekalipun begitu tetap saja manusia merasa berat karena terkait dengan materi dan kenikmatan. Hendaknya pendekatan kita bagaimana bisa menikmati bukan bagaimana harus memikinya.
"Dialah yang memasukkan malam ke dalam siang dan memasukkan siang ke dalam malam.”
Bumi kitakan berpuatar pada porosnya dan pada saatnya yang sama berpuatar mengelilingi matahari, yang menghadap matahari itu kebagian sianng dan yang membelakanginya kebagian malam. Dialah Allah yang memutar dan perputaran itulah yang kemudian melahirkan gravitasi, kalau senadainya tidak ada tarikan itu kita akan lepas, jangankan untuk makan untuk bertahan pada permukaan bumi itu susah, bagaimana kalau Allah menjaadikan malam itu terus menerus maka bumi akan kedinginan dan membeku, atau siang terus menerus maka bumi akan sangat panas.
“Dan dia maha tau apa yang ada didalam dada”,
Kata Ibnu Katsir betapapun tersembunyi, tidak ada yang lepas dari pengetahuan Allah bahkan yang ada didalam lubuk hati kita, Cuma saja kalau keburukan masih dihati kita belum terekspresiakn itu belum bernilai negatif kalau sadah bunyi itu bernilai negatif sekalipun perkataan itu benar, makanaya ketika Rasulullah mengingatkan tentang gibah dia bersabda ”Engakau menyabutkan tentang aib saudaramu walau benar, tapi kalau menyebutkan tidak sesuai itu kebohongan”.
"Berimanlah kamu kepada Allah dan Rasul-Nya dan nafkahkanlah sebagian dari hartamu yang Allah telah menjadikan kamu menguasainya. Maka orang-orang yang beriman di antara kamu dan menafkahkan (sebagian) dari hartanya memperoleh pahala yang besar.”
Setelah dijelaskan tentang kekuasaan Allah maka ayat tujuhnya dinyatakan tentang iman kepada Allah, ini salah satu metode yang dalam Al Qur’an setelah diceritakan tentang sifat dan kekuasaan Allah baru dijelaskan perintah untk beriman dan merealisasikan keimanan, sehingga keimanan kita berdasarkan kesadaran bukan hanya sebuah dogma.
Berimanlah kepada Allah dan rasunya yang telah menyamapiakan wahyu ini kepada kita, maka ketika diperintahkan untuk beriman maka dituntut pula untuk meralisasikan keimanan itu dengan ungkapan dan berinfaqlah. Pada masa Rasulullah ada seorang sahabat yang sudah paham tentang Islam, lalau dia ingin menyatakan komitmen keislamannya, dia katakana ”ya Rasulullah saya menyatakan keislaman dan saya akan komitmen menjalankan seluruh atuaran islam itu, Cuma saya minta dispensasi dua, minta keringananan karena alasananya ada pada diri saya yang pertama saya minta dispensasi untuk tidak berinfaq, karena saya orang miskin, kedua saya minta dispensai untuk tidak berjuang sebab saya ini penakut, kalau berjihad saya akan lari dari medan jihad itu padahal dari medan perang itu dosa besar, kata Rasulullah tidak sodaqoh tidak berjuang kamu mau masuk sorga dengan apa lagi,” Rasul tidak terima Islam yang parsial, Islam itu harus menyeluruh.
Biasanya setelah menyebutkan keimanan dilanjutkan dengan perintah untuk berinfaq karena keimanan itu hubungan pertikal pada Allah dan infaq itu adalah hubungan horizontal pada manusia, karenanya ketika menyatakan keTuhanan dan sifat-sifatnnya lalu Allah lanjutkan berimanlah dan berinfaqlah dari sebagian yang dititipkan kepada kamu.
Manusia adalah kholifah yang artinya pengemban amanat dari Allah, manakala ada perintah beriman dan berinfaq, maka kita harus segera berinfaq karena infaq itu merupakan kebutuhan kita bukan kewajiban, dan balasanya akan berlipat ganda, maka orang yang beriman dan berinfaq diantara kamu mereka mendapatkan balasan yang sangat besar kalau kita baca kabirr itu mad aridl lisukun, maka dibacanya kabirrrrrrrrrrr, yang artinya besarrrrrrrrr, orang yang beriman dan berinfaq itu mendapatkan pahala yang sangat besar.
sumber : www.layananquran.com
5/31/2010 08:30:00 PM
Posted In
Risalah/Tafsir
Edit This

Kalau pada ayat satu dan setelahnya Allah menjelaskan tentang dirinya, yang menciptakan bumi langit dan segala isinya, maha kuasa atas segala sesuatu, dan dialah yang awal dan akhir, yang dzohir dan batin dia tau segala-galanya, sekarang kita masuk kebagina kedua dari surat Al Hadid ini yaitu ayat empat sampai dengan ayat enam, juga masih menjelaskan tentang kemaha kuasaan Allah swt. Dibaliki itu banyak pesan-pesan yang berdampak langsung kepada kita yang akan membuat dekat kepada Allah, dan kita merasa diawasi dan diketahui Allah swt.
“Dialah yang menciptakan langit dan bumi dalam enam masa: Kemudian dia bersemayam di atas ´arsy dia mengetahui apa yang masuk ke dalam bumi dan apa yang keluar daripadanya dan apa yang turun dari langit dan apa yang naik kepada-Nya. dan dia bersama kamu di mama saja kamu berada. dan Allah Maha melihat apa yang kamu kerjakan.”
Sebagaimana kita ketahui Allah maha kuasa atas segala sesuatu, ketatapan Allah apabila dia menghendaki sesuatu maka dia katakana jadilah maka akan jadi, tanpa melalui proses yang panjang begitulah Allah yang maha kuasa atas segala sesuatu. Tapi, ketika Allah menjelaskan penciptaan langit dan bumi, disini dikatakan dalam enam hari/masa, timbul pertanyaan apakah Allah tidak sanggup melakukannya dalam sekejap?, padahal Allah maha kuasa. Isa yang tanpa bapak ketika Allah menghendakinya lahir, maka lahirlah, sampai karena tanpa bapak, orang nasrani menjadikannya tuhan, atau anak Tuhan. Kalau secara logika harusnya Adam yang tidak punya bapak dan ibu lebih pantas. Mengapa untuk penciptaan langit dan bumi fi sittati ayyam dan apa hikmahnya dibalik ini.
Hikmahnya adalah mengajarkan kepada manusia dalam proyek yang besar itu perlu ada pentahapan, dalam enam tahap dengan plening yang berkesinambungan, begitu Allah memerintahkan kepada kita untuk mengambil ibrah bagi orang yang berakal.
“Kemudian Dia bersemayam di atas ‘arsy”
Suatu kali Rasulullah pernah menggambarkan ‘Arsy dan kursinya Allah seperti yang dikatakan dalam ayat kursi. ‘Arsy bila dibandingkan dengan langit dan bumi, kalau langit dan bumi itu sebuah cincin, maka ‘arsy itu bagaikan padang pasir yang luas, begitulah perbandingan langit dan bumi dengan ‘arsy dan kursinya Allah.
Suatu kali Imam Malik ditanyakan tentang Allah bersemayam di ‘Arsy, dan beliau menjawab “kata istawa itu berarti berada atau duduk, kemudian kalau ditanyakan bagaimana itu, kita tidak perlu tau, karena memang Allah memberikan jangkauan ilmu kita terbatas, karenanya yang terbatas ini tidak mungkin mencapai yang tidak terbaatas, cuma kita sebagai muslim harus beriman tentang bersemayamnya Allah di ‘Arsy.
“Dia mengetahui apa yang masuk kedalam bumi dan apa yang keluar dari padanya dan apa yang turun dari langit dan apa yang naik kepadaNya ”
Kalau diayat satu dikatakan bahwa Allah maha perkasa dan maha bijaksana, diayat dua dikatakan yang memiliki segalanya, ayat ke empat ditekankan lagi dialah yang menciptakan segalanya, sangat wajar kemudian dia tau ciptaannya. Dia tau apa saja yang masuk kebumi, bisa air, akar, bias juga jenazah yang masuk kebumi, didalam ayat lain dikatakan, dia juga tau tentang kadarnya, juga segala yang ada diperut bumi.
Ibnu Katsir menyatakan Allah tau segala air yang masuk kebumi dan segala biji-bijian yang tertimbun dan apa saja yang keluar, barangkali kita tidak banyak tau berapa emas diIrian Jaya berapa banyaknya. Tumbuhan atau tanamanya, disebutkan diayat lain “dialah yang mempunyai kunci segala yang baik, dia tau yang ada didaratan dan dilautan, tidak ada daun yang jatuh kecuali Allah tau,” kapan dari pohon apa? Dimana?, tidak ada satu pun benih yang ditimbun ditanah yang gelap, tidak ada yang basah dan kering kecuali sudah ditetapkan.
Dia tau yang turun dari langit, apa itu rejeki, meteor, dari atas langit rejeki itu, hujan, embun, air, salju es, termasuk ketetapan Allah sendiri qodo dan qodar. sehingga seharusnya ketidakberdayaan menyelesaikan banjir itu perlu komunikasi kita dengan Allah ditingkatkan. Kata Ibnu Katsir ketika air hujan itu turun dia dikawal oleh malaikat yang telah Allah tetapkan dimana turunnya, dia Allah yg maha kuasa tentang itu.
“Apa yang naik kelangit”. Apakah berupa uap atau amal perbuatan kita. Ada malaikat yg menemani kita malam dan siang, Malaikat malam naik kelangit ketika waktu subuh dan Malaikat siang naik kelangit pada waktu ashar, makanya ashar dan subuh itu bagusnya berjama’ah dan diawal waktu. Dan ketika sampai di langit malaikat itu dipanggil dan ditanya oleh Allah, padahal Allah tau. Kata petugas malam saya datang ashar dilagi sholat, dan saya berangkat subuh dilagi sholat, Malaikat ketemu waktu itu, kalau kita shalatnya di awal waktu seperti itu. Tapi kalau subuhnya kesiangan asharnya kesorean tidak begitu jawabannya dia naik setiap hari.
Dan yang pekanan itu senin dan kamis, itulah sebabnya Rasulullah bersabda ketika ditanya tentang puasa sunnah senin dan kamis “aku melakkukannya agar laporan ada plusnya, bahwa ketika amal itu diangkat saya sedang berpuasa” bahkan disebutkan bahwa amal-amal sholeh itu Allah angkat terus keatas. Ada sebuah hadits yg mengatakan “amal perbuatan kita yang dimalam Allah angkat sebelum siang, amal kita disiang hari Allah angkat sebelum malam”.
“Dan Dia bersamamu dimana saja kamu berada”
Ini yang disebut maiyatul ilm, (kebersamaan Allah dalam artian pengetahuan Allah) kemaha tahuan Allah, berlaku untuk semua manusia. Dalam artian pengetahuan Allah tidak lepas dari siapapun ada lagi maiyatun nasr, seperti dijelaskan dalam surat Attaubah 36, diujungnya ma’a itu artinya perlindungan, pertolongan dan kemenangan. Kalau orang mukmin itu maiyatul khossoh, tapi kalau untuk maiyatul Ammah itu maiyatul Ilm, dan dalam ayat ini adalah maiyatul ilm.
“dan Allah maha melihat apa saja yang kamu kerjakan”
Ibnu Katsir berkata “Allah selalu menyaksikan apa yang kamu lakkuan dimanapun kamu berada Allah tau, apakah anda berada didarat atau dialaut, dimalam hari yang gelap atau disiang hari yang terang, diruman atau ditanah lapang, Dia dengar ucapan kamu, Dia tau yang kamu nampakan dan Dia tau yang kamu sembunyikan, diayat lain disebutkan “Dan Allah maha tau samapai yang ada dilubuk hati kita,” ayat seperti ini perlu kita wiridkan, karena penyakit manusia itu pelupa, agar bisa mengntisipasi lupa ini perlu sering-sering kita ingat, caranya dengan membaca ayat seperti ini. Begitulah juga ayat kursi yang menerangkan sepuluh prinsif, kalau kita ingat ayat ini tidak ada lagi kemalasan, tapi disamping kita baca perlu juga kecerdasan dan kesadaran.
Ada sebuah kisah ulama memiliki murid banyak, ada seorang murid yang masih muda dan paling disayang, murid-murid yang tua itu minta bukti kenapa yang muda itu diberlakukan secara khusus. Maka suatu waktu dia mengumumkan kompetisi kepada semua muridnya, mereka disuruh membawa pisau dan burung dara, setelah semuanya membawa burung dara dan pisau termasuk murid yang muda itu. Dia berkata “Sekarang kalian pergilah ketempat yang tidak dilihat oleh siapapun lalu sembelihlah burungnya, setelah itu kembalilah ke sini,” setelah ditunggu sekian lama mereka datang, ternyata semuanya burungnya sudah disembelih kecuali yang muda tadi, ketika ditanya kenapa belum disembelih dia berkata “Saya tidak bisa meneymbelihnya karena saya tidak menemukan temapat yang tidak dilihat Allah”. Disamping pemahaman perlu penghayatan, banyak orang tidak mau melakaukan penyimpangna karena dilihat manusia, tapi tidak takut ketika dilihat Allah.
4/28/2010 08:48:00 PM
Posted In
Risalah/Tafsir
Edit This

ADH DHUHAA
(WAKTU MATAHARI SEPENGGALAN NAIK)
SURAT KE 93 : 11 ayat
Dengan menyebut nama Allah Yang Maha Pemurah lagi Maha Penyayang
BEBERAPA NI’MAT YANG DIANUGERAHKAN KEPADA NABI MUHAMMAD S.A.W.
وَالضُّحَىٰ
1. Demi waktu matahari sepenggalahan naik,
Dalam suatu riwayat dikemukakan bahwa Rasululloh merasa kurang enak badan sehingga tidak shalat malam 1 atau 2 malam. Datanglah seorang wanita yang berkata kepadanya: “Hai Muhammad aku melihat syaithanmu (yang dimaksud syaitan oleh wanita itu ialah Jibril), telah meninggalkan engkau.” Maka Allah menurunkan ayat ini (S.93:1-3) yang menegaskan bahwa Allah tidak membiarkan Muhammad dan tidak membencinya.
(Diriwayatkan oleh as-Saykhani dan lainnya yang bersumber dari Jundub.)Dalam riwayat lain dikemukakan bahwa Jibril untuk beberapa lama tidak datang pada Nabi SAW. Berkatalah kaum musyrikin: “Muhammad telah ditinggalkan.” Maka turunlah ayat ini (S.93:1-3) yang membantah ucapan-ucapan mereka.
(Diriwatkan oleh Sa’id bin Mansyur dan Al-Faryabi yang bersumber dari Jundub.)
وَاللَّيْلِ إِذَا سَجَىٰ
2. dan demi malam apabila telah sunyi (gelap),
مَا وَدَّعَكَ رَبُّكَ وَمَا قَلَىٰ
3. Tuhanmu tiada meninggalkan kamu dan tiada (pula) benci kepadamu[1581].
[1581]. Maksudnya: ketika turunnya wahyu kepada Nabi Muhammad s.a.w. terhenti untuk sementara waktu, orang-orang musyrik berkata: “Tuhannya (Muhammad) telah meninggalkannya dan benci kepadanya.” Maka turunlah ayat ini untuk membantah perkataan orang-orang musyrik itu.
وَلَلْآخِرَةُ خَيْرٌ لَّكَ مِنَ الْأُولَىٰ
4. Dan sesungguhnya hari kemudian itu lebih baik bagimu daripada yang sekarang (permulaan)[1582].
[1582]. Maksudnya ialah bahwa akhir perjuangan Nabi Muhammad s.a.w. itu akan menjumpai kemenangan-kemenangan, sedang permulaannya penuh dengan kesulitan-kesulitan. Ada pula sebagian ahli tafsir yang mengartikan akhirat dengan kehidupan akhirat beserta segala kesenangannya dan ula dengan arti kehidupan dunia.
وَلَسَوْفَ يُعْطِيكَ رَبُّكَ فَتَرْضَىٰ
5. Dan kelak Tuhanmu pasti memberikan karunia-Nya kepadamu , lalu (hati) kamu menjadi puas.
أَلَمْ يَجِدْكَ يَتِيمًا فَآوَىٰ
6. Bukankah Dia mendapatimu sebagai seorang yatim, lalu Dia melindungimu?
وَوَجَدَكَ ضَالًّا فَهَدَىٰ
7. Dan Dia mendapatimu sebagai seorang yang bingung[1583], lalu Dia memberikan petunjuk.
[1583]. Yang dimaksud dengan bingung di sini ialah kebingungan untuk mendapatkan kebenaran yang tidak bisa dicapai oleh akal, lalu Allah menurunkan wahyu kepada Muhammad s.a.w. sebagai jalan untuk memimpin ummat menuju keselamatan dunia dan akhirat.
وَوَجَدَكَ عَائِلًا فَأَغْنَىٰ
8. Dan Dia mendapatimu sebagai seorang yang kekurangan, lalu Dia memberikan kecukupan.
فَأَمَّا الْيَتِيمَ فَلَا تَقْهَرْ
9.Sebab itu, terhadap anak yatim janganlah kamu berlaku sewenang-wenang.
وَأَمَّا السَّائِلَ فَلَا تَنْهَرْ
10. Dan terhadap orang yang minta-minta, janganlah kamu menghardiknya.
وَأَمَّا بِنِعْمَةِ رَبِّكَ فَحَدِّثْ
11. Dan terhadap nikmat Tuhanmu, maka hendaklah kamu siarkan.
4/23/2010 04:48:00 PM
Posted In
Risalah/Tafsir
Edit This
NASKAH AYAT
قال تعالى:
اللهُ لآَ إِلَهَ إِلاَّ هُوَ الْحَيُّ الْقَيُّومُ لاَ تَأْخُذُهُ سِنَةٌ وَلاَنَوْمُُ لَّهُ مَافِي السَّمَاوَاتِ وَمَافِي اْلأَرْضِ مَن ذَا الَّذِي يَشْفَعُ عِندَهُ إِلاَّ بِإِذْنِهِ يَعْلَمُ مَابَيْنَ أَيْدِيهِمْ وَمَاخَلْفَهُمْ وَلاَ يُحِيطُونَ بِشَيْءٍ مِّنْ عِلْمِهِ إِلاَّ بِمَا شَآءَ وَسِعَ كُرْسِيُّهُ السَّمَاوَاتِ وَاْلأَرْضَ وَلاَ يَئُودُهُ حِفْظُهُمَا وَهُوَ الْعَلِيُّ الْعَظِيم
“Allah tidak ada Ilah melainkan Dia Yang Hidup kekal lagi terus menerus mengurus (makhluk-Nya); tidak mengantuk dan tidak tidur. Kepunyaan-Nya apa yang di langit dan di bumi. Siapakah yang dapat memberi syafa'at di sisi Allah tanpa izin-Nya, Allah mengetahui apa-apa yang di hadapan mereka dan di belakang mereka, dan mereka tidak mengetahui apa-apa dari ilmu Allah melainkan apa yang dikehendaki-Nya. Kursi Allah meliputi langit dan bumi. Dan Allah tidak merasa berat memelihara keduanya, dan Allah Maha Tinggi lagi Maha Besar.” (Q.s.,al-Baqarah:255)
Keutamaannya
Rasulullah SAW., menginformasikan kepada kita bahwa ayat kursi merupakan ayat yang paling agung di dalam al-Qur’an karena memuat makna-makna tauhid, pengagungan serta keluasan sifat-sifat Allah Ta’ala. (Taysir:91)
Dalil-Dalil Tentang Keutamaannya
1. Hadits dari Ubay bin Ka’b bahwasanya Nabi SAW., berkata kepadanya, “Ayat apa yang paling agung di dalam Kitabullah?.” Dia berkata, “Aku menjawab, Allah dan Rasul-Nya-lah Yang Maha Mengetahui.” Hingga beliau mengulangi pertanyaannya sampai tiga kali, kemudian aku berkata, “Allâhu Lâ ilâha illa huwal Hayyul Qayyûm.” Dia berkata, “Lalu beliau menepuk dadanya sembari berkata, “Semoga ilmumu menjadi ringan, wahai Abul Mundzir!.” (HR.Muslim)
2. Dari Abu Hurairah r.a., dia berkata, “Rasulullah SAW., mengangkatku sebagai wakil untuk menjaga (mengutip) zakat Ramadlan, lalu seseorang datang kepadaku seraya membuang makanan yang ada di tangannya, lantas aku memungutnya sembari berkata, ‘Akan aku laporkan hal ini kepada Rasulullah SAW. Lalu Abu Hurairah menceritakan tentang hadits tersebut, diantara isinya adalah, ‘Beliau bersabda, ‘Bila engkau akan beranjak ke tempat tidurmu, maka bacalah ayat Kursi karena sesungguhnya ia (dapat menjadikanmu) senantiasa mendapatkan penjagaan dari Allah dan syaithan tidak akan mendekatimu hingga pagi hari.’ Lalu Nabi SAW., bersabda kepadanya, “Dia telah berkata jujur padamu padahal seorang pembohong, itulah syaithan.” (HR.al-Bukhari)
Demikian sebagian hadits yang shahih terkait dengan keutamaannya. Sebenarnya banyak sekali dalil-dalil yang terkait dengan keutamaan ayat yang agung ini bahkan beragam karya tulis dikarang mengenai keutamaan dan penafsirannya.
Temanya
Yaitu, mengagungkan Allah, menyinggung perihal bertauhid kepada-Nya dan Qudrat-Nya.
Kapan Dibaca
Dianjurkan membaca ayat Kursi seusai setiap shalat fardlu, ketika akan tidur dan dibaca di dalam rumah untuk mengusir syaithan (sebagaiman telah disinggung di atas).
Makna Kosa Kata
Kata الله : Yang di-Tuhankan, Disembah, Yang berhak untuk diibadahi sendiri (tanpa selain-Nya).
Kata الْحَيُّ : (Yang hidup) kekal/abadi, Yang bagi-Nya seluruh makna kehidupan yang sempurna, mulai dari mendengar, melihat, berkuasa, berkehendak dan sifat-sifat Dzatiyyah lainnya.
Kata اْلقَيُّوْمُ : Yang terus menerus mengurusi segala sesuatu. Masuk dalam kategori sifat ini adalah seluruh sifat-sifat Fi’liyyah (yang menunjukkan perbuatan) karena Dia-lah Yang Maha Selalu mengurusi, Yang berdiri sendiri, tidak membutuhkan para makhluk selain-Nya, Dia-lah yang mengurusi semua (benda) yang ada sehingga menjadi ada, membiarkannya tetap ada (kekal) serta memberikan semua yang diperlukannya.
Kata سِنَةٌ : Kantuk. Jadi, سِنَةٌ dan نَوْمٌ (tidur) sama-sama sifat yang melekat pada makhluk dan dibutuhkan karena ketakberdayaan dan kelemahannya.
Kalimatمَنْذَاالَّذِييَشْفَعُعِنْدَهُإِلاَّبِإِذْن ِهِ : Makna “asy-Syafâ’ah” adalah bergabung kepada orang lain (dengan menjadi) sebagai penolongnya dan peminta untuknya. Penggunaan yang paling banyak adalah dalam arti bergabungnya orang yang paling tinggi kehormatan dan martabatnya kepada orang yang lebih rendah. Dalam hal ini, adalah berkat keagungan dan kemuliaan-Nya bahwa tidak ada seorangpun yang dapat memberikan syafa’at kepada orang lain di sisinya melainkan atas idzin-Nya.
Kalimat وَسِعَكُرْسِيُّهُ : makna kata الكرسي adalah letak dua mata kaki. Sedangkan ‘Arasy itu tidak dapat diukur dengan ukuran apapun, inilah pendapat yang paling rajih (kuat) dari sekian banyak pendapat mengenai hal ini.
Kalimat وَلاَيَئُوْدُهُ : Yakni, tidak memberatkan, membebankan dan menyusahkan-Nyya dalam menjaga/memelihara lelangit dan bumi karena kesempurnaan keagungan-Nya, kekuasaan-Nya dan keluasan hikmah-Nya di dalam semua hukum-hukum-Nya.
Kata اْلعَلِيُّ : (Yang Maha Tinggi) dengan Dzat-Nya atas seluruh makhluk-Nya, Yang Maha Tinggi dengan keagungan sifat-sifat-Nya dan Yang Maha Tinggi Yang Menguasai para makhluk dan tunduk kepada-Nya seluruh benda yang ada.
Kata اْلعَظِيْمُ : (Yang Maha Besar/Agung) Yang mengoleksi semua sifat-sifat keagungan dan kebesaran.
Ayat agung yang memuat makna-makna paling agung yang mengisi hati dengan rasa takut kepada Allah, terhadap kemuliaan dan kesempurnaan-Nya ini memang berhak untuk menjadi ayat al-Qur’an yang paling agung dan berhak pula mengisi hati pembacanya dengan keyakinan dan keimanan serta mendapatkan pemeliharaan Allah dari syaithan manakala diiringi dengan tadabbur dan pemahaman terhadap maknanya.
Kandungan Ayat
Semua ayat ini mengandung faedah, bahkan tiap katanya mengandung banyak sekali faedah. Diantara yang paling penting dan besar adalah:
a. Bahwa ayat Kursi merupakan ayat yang paling agung di dalam Kitabullah secara umum karena ia memuat banyak sekali asma-asma Allah dan sifat-sifat-Nya.
b. Kesempurnaan Qayyûm-Nya, Qudrat-Nya, keluasan kekuasaan dan keagungan-Nya sehingga hal ini mengajak kita untuk mentadabburi dan merenungkannya.
c. Bahwa tidak terselubung dan luput satupun yang tersembunyi di muka bumi ataupun di langit oleh Allah Ta’ala “Allah mengetahui apa-apa yang di hadapan mereka dan di belakang mereka.” Hal ini mengandung konsekuensi keharusan seorang Muslim untuk menghayatinya di dalam seluruh kehidupannya.
d. Menetapkan adanya syafa’at dan bahwa ia tidak akan dapat diraih kecuali dengan beberapa persyaratan, diantaranya idzin dan ridla-Nya terhadap hal yang disyafa’ati, “Siapakah yang dapat memberi syafa'at di sisi Allah tanpa izin-Nya.”
4/23/2010 03:06:00 PM
Posted In
Risalah/Tafsir
Edit This
Para pembaca yang dirahmati Allah suhanahu wata’ala, setiap hari umat Islam menjalankan ritual shalat yang merupakan salah satu bentuk peribadahan kepada Allah suhanahu wata’ala. Setiap kita melaksanakan shalat, kita diperintah untuk membaca surat Al Fatihah sebagai salah satu rukun shalat. Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasallam bersabda:
لاَصَلاَةَ لِمَنْ لَمْ يَقْرَأْ بِفَاتِحَةِ الْكِتَابِ
“Tidak sah shalat seseorang yang tidak membaca Fatihatul Kitab (Al Fatihah)”. (HR. Abu Dawud no. 297 dan At Tirmidzi no. 230 dari shahabat Abu Hurairah dan ‘Aisyah)
Surat ini termasuk deretan surat Makkiyah (yang turun sebelum hijrah) dan terdiri dari tujuh ayat.
Nama Lain Surat Al Fatihah
Surat Al Fatihah memiliki banyak nama. Di antaranya; Fatihatul Kitab (pembuka kitab/Al Qur’an). Karena Al Qur’an, secara penulisan dibuka dengan surat ini. Demikian pula dalam shalat, Al Fatihah sebagai pembuka dari surat-surat lainnya.
Al Fatihah dikenal juga dengan sebutan As Sab’ul Matsani (tujuh yang diulang-ulang). Disebabkan surat ini dibaca berulang-ulang pada setiap raka’at dalam shalat.
Dinamakan juga dengan Ummul Kitab. Karena di dalamnya mencakup pokok-pokok Al Quran, seperti aqidah dan ibadah.
Keutamaan surat Al Fatihah
Surat Al Fatihah memiliki berbagai macam keutamaan dan keistimewaan dibanding dengan surat-surat yang lain. Di antaranya adalah;
Al Fatihah merupakan surat yang paling agung. Al Imam Al Bukhari meriwayatkan dari shahabat Abu Sa’id Al Mu’alla, bahwasanya Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasallam bersabda (artinya):
“Sungguh aku akan ajarkan kepadamu surat yang paling agung dalam Al Quran sebelum engkau keluar dari masjid? Lalu Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasallam memegang tanganku. Disaat Beliau shalallahu ‘alaihi wasallam hendak keluar dari masjid, aku bertanya: “Ya Rasulullah! Bukankah engkau akan mengajariku tentang surat yang paling agung dalam Al Quran? Maka Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasallam berkata: Ya (yaitu surat)
الْحَمْدُ للهِ رَبِّ الْعَالَمِيْنَ
Ia adalah As Sab’u Al Matsani dan Al Qur’anul ‘Azhim (Al Qur’an yang Agung) yang diwahyukan kepadaku.” (HR. Al Bukhari no. 4474)
Al Fatihah merupakan surat istimewa yang tidak ada pada kitab-kitab terdahulu selain Al Qur’an. Dari shahabat Ubay bin Ka’ab radhiallahu ‘anhu, bahwasanya Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasallam berkata kepadanya: “Maukah engkau aku beritahukan sebuah surat yang tidak ada dalam kitab Taurat, Injil, Zabur, dan demikian pula tidak ada dalam Al Furqan (Al Qur’an) surat yang semisalnya? Kemudian Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasallam memberitakan surat itu adalah Al Fatihah”. (HR. At Tirmidzi no. 2800)
Al Fatihah sebagai obat dengan izin Allah suhanahu wata’ala. Al Imam Al Bukhari meriiwayatkan dari shahabat Abu Sa’id Al Khudri radhiallahu ‘anhu tentang kisah kepala kampung yang tersengat kalajengking. Lalu beberapa shahabat Nabi shalallahu ‘alaihi wasallam meruqyahnya dengan membacakan surat Al Fatihah kepadanya. Dengan sebab itu Allah suhanahu wata’ala menyembuhkan penyakit kepala kampung itu.
Terkait dengan shalat sebagai rukun Islam yang kedua, Al Fatihah merupakan unsur terpenting dalam ibadah itu. Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasallam bersabda:
مَنْ صَلَّى وَلَمْ يَقْرَأْ فِيْهَا أُمَّ الْقُرْآنِ فَهِيَ خِدَاجٌ – ثَلاَثاً – غَيْرُ تَمَامٍ
“Barang siapa shalat dalam keadaan tidak membaca Al Fatihah, maka shalatnya cacat (Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasallam mengulanginya sampai tiga kali) tidak sempurna.” (HR. Muslim no. 395, dari shahabat Abu Hurairah radhiallahu ‘anhu)
Bahkan membaca Al Fatihah termasuk rukun dalam shalat, sebagaimana riwayat diatas.
Tafsir Surat Al Fatihah
Pembaca yang dirahmati Allah suhanahu wata’ala, berikut ini merupakan ringkasan tafsir dari surat Al Fatihah:
الْحَمْدُ للهِ رَبِّ الْعَالَمِيْنَ
“Segala puji bagi Allah Rabbul ‘alamin.”
Segala pujian beserta sifat-sifat yang tinggi dan sempurna hanyalah milik Allah suhanahu wata’ala semata. Tiada siapa pun yang berhak mendapat pujian yang sempurna kecuali Allah suhanahu wata’ala. Karena Dia-lah Penguasa dan Pengatur segala sesuatu yang ada di alam ini. Dia-lah Sang Penguasa Tunggal, tiada sesuatu apa pun yang berserikat dengan kuasa-Nya dan tiada sesuatu apa pun yang luput dari kuasa-Nya pula. Dia-lah Sang Pengatur Tunggal, yang mengatur segala apa yang di alam ini hingga nampak teratur, rapi dan serasi. Bila ada yang mengatur selain Allah suhanahu wata’ala, niscaya bumi, langit dan seluruh alam ini akan hancur berantakan. Dia pula adalah Sang Pemberi rezeki, yang mengaruniakan nikmat yang tiada tara dan rahmat yang melimpah ruah. Tiada seorang pun yang sanggup menghitung nitmat yang diperolehnya. Disisi lain, ia pun tidak akan sanggup membalasnya. Amalan dan syukurnya belum sebanding dengan nikmat yang Allah suhanahu wata’ala curahkan kepadanya. Sehingga hanya Allah suhanahu wata’ala yang paling berhak mendapatkan segala pujian yang sempurna.
الرَّحْمَنِ الرَّحِيْمِ
“Yang Maha Pengasih lagi Maha Penyanyang.”
Ar Rahman dan Ar Rahim adalah Dua nama dan sekaligus sifat bagi Allah suhanahu wata’ala, yang berasal dari kata Ar Rahmah. Makna Ar Rahman lebih luas daripada Ar Rahim. Ar Rahman mengandung makna bahwa Allah suhanahu wata’ala mencurahkan rahmat-Nya kepada seluruh makhluk-Nya, baik yang beriman atau pun yang kafir. Sedangkan Ar Rahim, maka Allah suhanahu wata’ala mengkhususkan rahmat-Nya bagi kaum mukminin saja. Sebagaimana firman Allah suhanahu wata’ala: “Dan adalah Dia Maha Penyayang kepada orang-orang yang beriman”. (Al Ahzab: 43)
مَالِكِ يِوْمِ الدِّيْنِ
“Yang menguasai hari kiamat.”
Para ‘ulama ahli tafsir telah menafsirkan makna Ad Din dari ayat diatas adalah hari perhitungan dan pembalasan pada hari kiamat nanti.
Umur, untuk apa digunakan? Masa muda, untuk apa dihabiskan? Harta, dari mana dan untuk apa dibelanjakan? Tiada seorang pun yang lepas dan lari dari perhitungan amal perbuatan yang ia lakukan di dunia. Allah suhanahu wata’ala berfirman (artinya):
“Tahukah kamu apakah hari pembalasan itu? Sekali lagi, tahukah kamu apakah hari pembalasan itu? (Yaitu) hari (ketika) seseorang tidak berdaya sedikitpun untuk menolong orang lain. Dan segala urusan pada hari itu dalam kekuasaan Allah”. (Al Infithar: 17-19)
إِيَّاكَ نَعْبُدُ وَإِيَّاكَ نَسْتَعِيْنَ
“Hanya kepada-Mu kami menyembah dan hanya kepada-Mu kami mohon pertolonga.”
Secara kaidah etimologi (bahasa) Arab, ayat ini terdapat uslub (kaidah) yang berfungsi memberikan penekanan dan penegasan. Yaitu bahwa tiada yang berhak diibadahi dan dimintai pertolongan kecuali hanya Allah suhanahu wata’ala semata. Sesembahan-sesembahan selain Allah itu adalah batil. Maka sembahlah Allah suhanahu wata’ala semata.
Sementara itu, disebutkan permohonan tolong kepada Allah setelah perkara ibadah, menunjukkan bahwa hamba itu sangat butuh kepada pertolongan Allah suhanahu wata’ala untuk mewujudkan ibadah-ibadah yang murni kepada-Nya.
Selain itu pula, bahwa tiada daya dan upaya melainkan dari Allah suhanahu wata’ala. Maka mohonlah pertolongan itu hanya kepada Allah suhanahu wata’ala. Tidak pantas bertawakkal dan bersandar kepada selain Allah suhanahu wata’ala, karena segala perkara berada di tangan-Nya. Hal ini sebagaimana firman Allah suhanahu wata’ala (artinya):
“Maka sembahlah Dia dan bertawakkallah kepada-Nya”. (Hud: 123)
اهْدِنَا الصَّرَاطَ الْمُسْتَقِيْمَ
“Tunjukkanlah kami ke jalanmu yang lurus.”
Yaitu jalan yang terang yang mengantarkan kepada-Mu dan jannah (surga)-Mu berupa pengetahuan (ilmu) tentang jalan kebenaran dan kemudahan untuk beramal dengannya.
Al Imam Ahmad dalam Musnadnya meriwayatkan dari shahabat An Nawas bin Sam’an radhiallahu ‘anhu, bahwa Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasallam bersabda: “Allah memberikan permisalan ash shirathul mustaqim (jembatan yang lurus), diantara dua sisinya terdapat dua tembok. Masing-masing memiliki pintu-pintu yang terbuka, dan di atas pintu-pintu tersebut terdapat tirai-tirai tipis dan di atas pintu shirath terdapat seorang penyeru yang berkata: “Wahai sekalian manusia masuklah kalian seluruhnya ke dalam as shirath dan janganlah kalian menyimpang. Dan ada seorang penyeru yang menyeru dari dalam ash shirath, bila ada seseorang ingin membuka salah satu dari pintu-pintu tersebut maka penyeru itu berkata: “Celaka engkau, jangan engkau membukanya, karena jika engkau membukanya, engkau akan terjungkal kedalamnya. Maka ash shirath adalah Al Islam, dua tembok adalah aturan-aturan Allah, pintu-pintu yang terbuka adalah larangan-larangan Allah. Penyeru yang berada di atas ash shirath adalah Kitabullah (Al Qur’an), dan penyeru yang berada didalam ash shirath adalah peringatan Allah bagi hati-hati kaum muslimin”.
صِرَاطَ الَّذِيْنَ أَنْعَمْتَ عَلَيْهِمْ
“Yaitu jalannya orang-orang yang engkau beri kenikmatan.”
Siapakah mereka itu? Meraka adalah sebagaimana yang dalam firman Allah suhanahu wata’ala: “Dan barang siapa yang menta’ati Allah dan Rasul-Nya, mereka itu akan bersama-sama dengan orang-orang yang dianugerahi nikmat oleh Allah yaitu: Nabi-nabi, para shiddiqin, orang-orang yang mati syahid, dan orang-orang shalih. Dan mereka itulah sebaik-baik teman. Yang demikian itu adalah karunia dari Allah dan Allah cukup mengetahui”. (An Nisaa’: 69-70
غَيْرِ الْمَغْضُوْبِ عَلَيْهِمْ وَلاَ الضَّآلِيْنَ
“Dan bukan jalan orang-orang yang Engkau murkai dan bukan pula jalan orang-orang yang sesat.”
Orang-orang yang dimurkai Allah suhanahu wata’ala adalah orang-orang yang mengetahui kebenaran akan tetapi enggan mengamalkannya. Mereka itu adalah kaum Yahudi. Allah suhanahu wata’ala berfirman berkenaan dengan keadaan mereka (artinya):
“Katakanlah Wahai Muhammad: Maukah Aku beritakan kepadamu tentang orang-orang yang lebih buruk pembalasannya dari (orang-orang fasik) itu di sisi Allah, yaitu orang-orang yang dikutuk dan dimurkai oleh Allah”. (Al Ma’idah: 60)
Adapun jalan orang-orang yang sesat adalah bersemangat untuk beramal dan beribadah, tapi bukan dengan ilmu. Akhirnya mereka sesat disebabkan kebodohan mereka. Seperti halnya kaum Nashara. Allah suhanahu wata’ala memberitakan tentang keadaan mereka:
“Dan janganlah kamu mengikuti hawa nafsu orang-orang yang telah sesat dahulunya (sebelum kedatangan Muhammad) dan mereka telah menyesatkan kebanyakan (manusia), dan mereka tersesat dari jalan yang lurus”. (Al Ma’idah: 77)
At Ta’min
Pembaca yang dirahmati Allah suhanahu wata’ala, At Ta’min adalah kalimat “Amin” yang diucapkan setelah selesai membaca Al Fatihah dalam shalat dan bukan merupakan bagian dari surat tersebut, yang mempunyai arti “Ya Allah kabulkanlah do’a kami”.
Diriwayatkan dari shahabat Abu Hurairah radhiallahu ‘anhu, bahwasanya Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasallam ketika membaca:
غَيْرِ الْمَغْضُوْبِ عَلَيْهِمْ وَلاَ الضَّآلِيْنَ
maka Beliau shalallahu ‘alaihi wasallam mengucapkan Amin sampai orang-orang yang di belakangnya dari shaf pertama mendengar suaranya. (HR. Abu Dawud dan Ibnu Majah)
Barang siapa yang ta’minnya bersamaan dengan ta’min malaikat, maka Allah suhanahu wata’ala menjanjikan ampunan bagi dia. Sebagaimana hadits yang diriwayatkan shahabat Abu Hurairah radhiallahu ‘anhu, bahwasanya Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasallam bersabda: “Jika imam mengucapkan amin maka ikutilah, karena barang siapa yang ta’minnya bersamaan dengan ta’min malaikat, niscaya ia diampuni dosa-dosanya yang telah lalu”. (Muttafaqun alaih)
Kandungan surat Al Fatihah
Pembaca yang dirahmati Allah suhanahu wata’ala, surat ini memiliki kandungan faidah yang banyak dan agung, berikut ini beberapa di antaranya yang dapat kami sebutkan:
1. Surat ini terkandung di dalamnya tiga macam tauhid:
• Tauhid Rububiyyah, yaitu beriman bahwa hanya Allah suhanahu wata’ala yang menciptakan, mengatur dan memberi rizqi, sebagaimana yang terkandung di dalam penggalan ayat: “Rabbul ‘alamin “.
• Tauhid Asma’ wa Shifat, yaitu beriman bahwa Allah suhanahu wata’ala mempunyai nama-nama serta sifat-sifat yang mulia dan sesuai dengan keagungan-Nya. Diantaranya Ar Rahman dan Ar Rahim.
• Tauhid Uluhiyyah, yaitu beriman bahwa tiada sesembahan yang berhak disembah kecuali Allah suhanahu wata’ala semata. Adapun sesembahan selain Allah suhanahu wata’ala adalah batil. Diambil dari penggalan ayat: “Hanya kepada-Mu kami menyembah dan memohon pertolongan”.
2. Penetapan adanya hari kiamat dan hari pembalasan, sebagaimana potongan ayat: “Penguasa hari pembalasan”.
3. Perintah untuk menempuh jalan orang-orang yang shalih.
4. Peringatan dan ancaman dari enggan untuk mengamalkan ilmu yang telah diketahui. Karena hal ini mendatangkan murka Allah suhanahu wata’ala. Demikian pula, hendaklah kita berilmu sebelum berkata dan beramal. karena kebodohan akan mengantarkan pada jalan kesesatan.
Penutup
Demikianlah ringkasan dari tafsir surat Al Fatihah. Semoga dapat mengantarkan kita kepada pemahaman yang benar di dalam menempuh agama yang diridhai oleh Allah suhanahu wata’ala ini. Amin, Ya Rabbal ‘Alamin. Sumber: Salafy.org