9/30/2009 11:28:00 PM Edit This 0 Comments »
Apakah syariah Islam menentukan adanya batasan usia minimal pernikahan bagi anak perempuan?

Tidak ada dalil dari al-Qur’an maupun Hadits yang membatasi usia minimal pernikahan bagi anak perempuan. Hak untuk menentukan, kapan seorang anak perempuan baik untuk dinikahkan semuanya diserahkan kepada ayah atau wali anak perempuan tersebut. Dalam al-Qur’an surat at-Thalaq: 4, Allah berfirman:

وَاللائِي يَئِسْنَ مِنَ الْمَحِيضِ مِنْ نِسَائِكُمْ إِنِ ارْتَبْتُمْ فَعِدَّتُهُنَّ ثَلاثَةُ أَشْهُرٍ وَاللائِي لَمْ يَحِضْنَ

“Dan perempuan-perempuan yang tidak haid lagi (menopause) di antara perempuan-perempuanmu jika kamu ragu-ragu (tentang masa iddahnya), Maka masa iddah mereka adalah tiga bulan; dan begitu (pula) perempuan-perempuan yang belum haid.”

Firman Allah yang menyatakan: walla’i lam yahidhna (perempuan-perempuan yang belum haid) yang menjadi kelanjutan dari: walla’i yaisna min al-mahidh… fa ‘iddatuhunna tsalata asyhur (Perempuan-perempuan yang tidak haid lagi (menapause).. maka masa ‘iddah mereka adalah tiga bulan) menunjukkan, bahwa perempuan yang belum haid juga diberi ‘iddah selama tiga bulan. Sementara ‘iddah hanya diberikan kepada wanita yang bercerai dengan suaminya, baik karena ditalak maupun ditinggal mati. Ini menjadi dalalah iltizam (indikasi logis), bahwa perempuan yang belum haid pun diperbolehkan untuk menikah. Inilah yang dijadikan dasar oleh para ulama’, bahwa pernikahan bagi perempuan itu tidak mengenal batas usia.

Selain itu, Nabi saw. juga memberikan contoh, menikahi Aisyah ketika masih berumur enam tahun, sebagaimana yang dituturkan oleh Aisyah sendiri:

تَزَوَّجَنِي النَّبِيُّ صلى الله عليه وسلم وَأَنَا اِبْنَةُ سِتٍّ، وَبَنَي بِيْ وَأَنَا ابْنَةُ تِسْعٍ (متفق عليه)

“Saya dinikahi oleh Nabi saw. ketika saya gadis berusia enam tahun, dan baginda membawa saya, ketika saya berusia sembilan tahun.” (H.r. Muttafaq ‘Alaih)

Hadist ini tidak membatasi usia minimal menikahkan anak perempuan pada usia tertentu, misalnya enam tahun. Berdasarkan hadist ini para ulama bersepakat tentang kebolehan seorang ayah menikahkan anak perempuannya yang masih kecil (belum baligh) dengan laki-laki yang sudah berumur.

Bagaimana dengan pandangan bahwa pernikahan pada usia anak-anak adalah bentuk perampasan hak anak?

Pertama, harus didudukkan dulu, siapa sebenarnya yang memberikan hak kepada anak? Apakah hak anak itu built in di dalam dirinya, begitu dia dilahirkan, ataukah dia mempunyai hak karena diberi oleh Dzat yang Menciptakannya? Di sinilah, Islam mempunyai pandangan yang berbeda dengan Barat. Islam memandang, bahwa hak yang melekat pada manusia itu tidak built in di dalam dirinya, melainkan anugerah dan pemberian dari Allah. Jika hak itu merupakan pemberian Allah, maka terserah Allah, bagaimana mengaturnya. Kalau Allah membenarkan perempuan yang masih anak-anak menikah, apakah berarti hak anak tersebut sebagai anak dirampas? Jawabannya, tentu tidak.

Kedua, Setiap orang tua diberi naluri oleh Allah Sang Pencipta untuk menyayangi, melindungi dan menginginkan kebaikan bagi anaknya. Naluri ini kemudian diarahkan oleh syariah Islam dengan memberi tanggung jawab mengasihi, menafkahi, melindungi, dan mendidik anak perempuan kepada ayahnya. Pernikahan adalah perpindahan tanggung seorang ayah kepada laki-laki yang dia percayai mampu memikul tanggung jawab tersebut. Jadi pernikahan bukanlah perampasan hak anak. Anak tetap mendapatkan haknya akan nafkah, perlindungan, pendidikan dan yang lain. Bedanya, jika sebelumnya dia mendapatkannya dari ayahnya, maka setelah menikah, dia mendapatkan dari suaminya.

Ketiga, Kalau sesudah menikah seorang anak perempuan yang sudah baligh mendapatkan tanggung jawab untuk mengurus rumah tangga, atau seorang anak kecil yang belum baligh dilatih untuk mengurus rumah tangga tidak seharusnya itu dipandang sebagai bentuk perampasan hak. Pemenuhan hak anak tidak harus menghalanginya untuk dilatih memikul tanggung jawab tertentu, sesuai dengan kemampuannya.

Selain itu, orang tua yang baik, yang memiliki hubungan yang harmonis dan pola komunikasi yang baik dengan anak, serta mampu mendidik anak sesuai dengan tuntunan Rasulullah saw, umumnya tidak sulit untuk meyakinkan anaknya untuk masuk dalam sebuah pernikahan sesuai tuntunan syariat Islam.

Inilah yang terjadi dalam kasus pernikahan Ulfa dengan Pak Puji. Ulfa tidak mengalami nikah paksa, ia tetap mendapatkan pendidikan dan hak-haknya yang lain. Ia tidak merasa tertekan, bahkan merasa bahagia dalam pernikahannya. Lalu haknya yang mana yang dirampas? Justru ketika negara memisahkannya dengan suami yang ia cintai, negara telah merampas haknya.

Bagaimana bila ternyata anak perempuan tersebut tidak senang dengan pernikahan yang ditentukan oleh ayahnya?

Seringkali anak-anak belum bisa melihat kebaikan yang diinginkan orang tuanya terhadap dirinya. Dalam hal seperti ini yang harus dilakukan orang tua adalah terus memberikan penjelasan dan nasehat kepada anaknya dengan penuh kasih sayang, mencoba mengajak anak untuk melihat kebaikan-kebaikan yang didapat dalam pernikahan itu. Kalau memang rasa tidak senang itu tidak bisa lagi dihilangkan bahkan semakin meruncing, anak perempuan tersebut bisa mengajukan khulu’, yaitu mengembalikan mas kawin dari suaminya sebagai bentuk penebusan dirinya keluar dari ikatan pernikahan. Hanya saja, para ulama mazhab, sepakat bahwa istri yang mengajukan khulu’ itu wajib sudah akil baligh dan berakal sehat. Bagi yang belum dewasa atau yang tidak sehat akalnya, khulu’ dilakukan oleh ayah atau walinya.

Faktanya sekarang ada orang tua yang menikahkan anaknya bukan kepada laki-laki yang dipercayai akhlaknya, mereka menikahkan anaknya hanya untuk meringankan beban ekonomi keluarga, sementara sang anak menderita dalam pernikahan tersebut karena diperlakukan tidak baik oleh suaminya. Selain itu anak-anak yang sudah baligh sekarang umumnya belum siap secara mental memasuki kehidupan rumah tangga. Menghadapi fakta seperti ini, apakah syariah Islam memberi hak kepada negara untuk membatasi usia minimal warga negaranya untuk menikah, dengan tujuan menghindarkan warga negara dari kemudlorotan pernikahan?

Kepala negara/khalifah memang diberi wewenang oleh Allah untuk menetapkan peraturan untuk melindungi dan mengatur kehidupan warga negaranya. Namun, peraturan yang dia tetapkan tidak boleh mengharamkan sesuatu yang dihalalkan oleh Allah. Untuk problem pernikahan seperti yang anda sebutkan tadi, tidak bisa karena pertimbangan mashlahat, negara kemudian membatasi usia minimal dalam pernikahan. Kalau dikatakan ada pernikahan anak usia di bawah 16 tahun yang bermasalah, bagaimana dengan pernikahan mereka yang tidak bermasalah? Kalau ada anak di bawah usia 16 tahun belum siap mental menikah, bagaimana dengan mereka yang siap? Bukankah melarang mereka menikah termasuk perbuatan mengharamkan sesuatu yang Allah halalkan?

Jadi apa yang seharusnya dilakukan oleh negara?

Negara seharusnya:

1.
Menerapkan sistem ekonomi dan politik syariah Islam, sehingga mampu mensejahterakan setiap rakyat. Dalam kondisi sejahtera, tentu saja kasus nikah paksa dengan laki-laki tidak berahlak karena tekanan ekonomi bisa dicegah.
2.
Melakukan pembinaan kepada orang tua yang memiliki kelemahan dalam pengasuhan dan pendidikan anak. Melalui pendidikan sesuai tuntunan Rasulullah saw, seorang anak bisa disiapkan untuk menerima taklif (beban) hukum dari Allah. Ketika anak menginjak baligh, dia sudah siap menjalankan semua beban hukum dari Allah SWT, termasuk tanggung jawab dalam pernikahan. Jadi problem pernikahan karena ketidaksiapan memasuki pernikahan bisa dihindari.
3.
Memastikan akses setiap anak untuk mendapatkan pendidikan, baik kepada anak yang belum atau sudah menikah. Anak harus tahu hak dan kewajiban yang telah Allah tetapkan kepada mereka, dan ke mana mereka harus meminta bantuan ketika orang tua mereka melanggar ketetapan tersebut.
4.
Menumbuhsuburkan kontrol sosial masyarakat berdasarkan standar nilai agama dalam perlindungan dan pendidikan anak.

Boleh dikatakan solusi yang Ustadzah sampaikan itu solusi jangka panjang ya Ustadzah? Bagaimana kalau penetapan usia minimal untuk menikah itu dianggap sebagai solusi darurat seperti larangan sementara melewati suatu jalan umum ketika terjadi kemacetan?

Dalam pemberlakukan hukum, seperti penetapan usia, tidak bisa dipandang solusi jangka pendek. Selain, faktanya negara juga tidak menerapkan sistem ekonomi dan politik Islam. Pendidikan Islam di tengah-tengah masyarakat malah dibiarkan dalam kondisi yang lemah. Sementara itu penganjur safe sex (baca: perzinahan) bebas berkampanye di tengah-tengah masyarakat dan negara lemah dalam mencegah adanya stimulans seksual dalam kehidupan publik.

Dalam kondisi seperti ini efektifkah pembatasan usia minimal untuk menikah? Apakah bisa mencegah orang tua menikahkan anaknya karena alasan kesulitan ekonomi? Apakah bisa menjamin mayoritas anak yang berusia 16 tahun siap berumah tangga? Tentu tidak bisa. Lalu ketika seorang ayah menikahkan anaknya yang berusia 15 tahun karena menginginkan kesucian bagi anaknya, karena anaknya tidak sekuat orang lain dalam menahan gempuran stimulans seksual di lingkungannya, ia menjadi pelaku kriminal? Lalu kebaikan apa yang kita dapat dari penetapan usia minimal untuk menikah?
Kalaupun negara mau mengambil kebijakan sebagai langkah darurat, harusnya negara mewajibkan setiap calon pengantin untuk diuji kesiapan pengetahuan dan kedewasaan mentalnya untuk memasuki pernikahan. Bagi yang belum siap, wajib mengikuti pembinaan pernikahan oleh tenaga-tenaga ahli yang disiapkan oleh negara. Demikian juga pasangan-pasangan yang sudah menikah dan terbukti tidak bisa menyelesaikan masalahnya secara intern dalam keluarga, bisa juga diwajibkan mengikuti konseling pernikahan. Kalau negara memang menganggap perlu campur tangan dalam masalah pernikahan, campur tangan seperti ini akan lebih efektif, dan tidak bukan dengan mengharamkan apa yang dihalalkan Allah SWT.

0 komentar: