9/30/2009 10:30:00 PM Edit This 0 Comments »
Kisah Sukses Mantan Seorang Petugas Keamanan
Fauzi Saleh, contoh seorang pengusaha sukses sekaligus dermawan. Ini berkat kompak dengan karyawannya. Derai tawa dan langgam bicaranya khas betawi. Itulah gaya H. Fauzi Saleh dalam meladeni tamunya.
Pengusaha perumahan mewah Pesona Depok dan Pesona Khayangan yang hanya lulusan SMP tersebut memang lahir dan dibesarkan di kawasan Tanah Abang, Jakarta. Setamat dari SMP pada tahun 1966, beliau telah merasakan kerasnya kehidupan di ibukota.
Saat itu Fauzi terpaksa bekerja sebagai pencuci mobil di sebuah bengkel dengan gaji Rp 700 per minggu. Bahkan delapan tahun silam, dia masih dikenal sebagai penjaga gudang di sebuah perusahaan. Tapi, kehidupan ibarat roda yang berputar.
Sekarang posisi ayah 6 anak yang berusia 45 tahun ini sedang berada diatas. Pada hari ulang tahunnya itu, pria bertubuh kecil ini memberikan 50 unit mobil kepada 50 dari sekitar 100 karyawan tetapnya. Selain itu para karyawan tetap dan sekitar 2.000 buruh mendapat bonus sebulan gaji. Total Dalam setahun, karyawan dan buruhnya mendapat 22 kali gaji sebagai tambahan, 3 bulan gaji saat Idul Fitri, 2 bulan gaji saat bulan Ramadhan dan Hari Raya Haji, dan 1 bulan gaji saat 17 Agustus, tahun baru dan hari ulang tahun Fauzi. Selain itu, setiap karyawan dan buruh mendapat Rp 5.000 saat selesai shalat Jumat dari masjid miliknya di kompleks perumahan Pesona Depok.
Sikap dermawan ini tampaknya tak lepas dari pandangan Fauzi, yang menilai orang-orang yang bekerja padanya sebagai kekasih. “Karena mereka bekerjalah saya mendapat rezeki.”, katanya. Manajemen kasih sayang yang diterapkan Fauzi ternyata ampuh untuk
memajukan perusahaan. Seluruh karyawan bekerja bahu-membahu. “Mereka seperti bekerja di perusahaan sendiri.” Katanya.
Prinsip manajemen “Bismillah” itu telah dilakukan ketika mulai berusaha pada tahun 1989 silam, yaitu setelah dia berhenti bekerja sebagai petugas keamanan. Berbekal uang simpanan dari hasil ngobyek sebagai tukang taman,sebesar 30 juta, beliau kemudian membeli tanah 6 x 15 meter sekaligus membangun rumah di jalan jatipadang, jakarta selatan.
Untuk menyiapkan rumah itu secara utuh diperlukan tambahan dana sebesar 10 juta. Meski demikian, Fauzi tidak berputus asa. Setiap malam jumat, Fauzi dan pekerjanya sebanyak 12 orang, selalu melakukan wirid Yasiin, zikir dan memanjatkan doa agar usaha yang sedang mereka rintis bisa berhasil. Mungkin karena usaha itu dimulai dengan sikap pasrah, rumah itupun siap juga. Nasib baik memihak Fauzi. Rumah yang beliau bangun itu laku Rp 51 juta. Uang hasil penjualan itu selanjutnya digunakan untuk membeli tanah,
membangun rumah, dan menjual kembali. Begitu seterusnya, hingga pada 1992 usaha Fauzi membesar. Tahun itu, lewat PT. Pedoman Tata Bangun yang beliau dirikan, Fauzi mulai membangun 470 unit rumah mewah Pesona Depok 1 dan dilanjutkan dengan 360 unit rumah pesona Depok 2. Selanjutnya dibangun pula Pesona Khayangan yang juga di Depok. Kini telah dibangun Pesona Khayangan 1 sebanyak 500 unit rumah dan pesona khayangan 2 sebanyak 1100 unit rumah. Sedangkan pesona khayangan 3 dan 4 masih dalam tahap pematangan tanah.
Harga rumah group pesona milik Fauzi tersebut antara 200 juta hingga 600 juta per unit. Yang menarik tradisi pengajian setiap malam jumat yang dilakukannya sejak awal, tidak ditinggalkan. Sekali dalam sebulan, dia menggelar pengajian akbar yang disebut dengan pesona dzikir yang dihadiri seluruh buruh, keluarga dan kerabat di komplek pesona khayangan pertengahan september lalu, ada sekitar 4.000 orang yang hadir. Setiap orang yang hadir mendapatkan sarung dan 3 stel gamis untuk shalat. Setelah itu, ketika
beranjak pulang, setiap orang tanpa kecuali, diberi nasi kotak dan uang Rp 10.000. tidak mengherankan, suasana berlangsung sangat akrab. Mereka saling bersalaman dan berpelukan. Tidak ada perbedaan antara bawahan dan atasan. Menurut Fauzi, beliau sendiri tidak pernah membayangkan akan menjadi seperti ini.
“Ini semua dari Alloh. Saya tidak ada apa2nya.” Kata pria yang sehari-hari berpenampilan sederhana ini. Karena menyadari bahwa semua harta itu pemberian Alloh, Fauzi tidak lupa mengembalikannya dalam bentuk infak dan shadaqoh kepada yang membutuhkan. Tercatat, beberapa masjid telah dia bangun dan sejumlah kaum dhuafa dan janda telah disantuninya. Usaha yang dijalankannya tersebut, menurut Fauzi ibarat menanam padi. “Dengan bertanam padi, rumput dan ilalang akan tumbuh. Ini berbeda kalau kita bertanam rumput, padi tidak akan tumbuh”. Kata Fauzi.
Artinya, Fauzi tidak menginginkan hasil usaha untuk dirinya sendiri. “Saya hanya mengambil, sekedarnya, selebihnya digunakan untuk kesejahteraan karyawan dan sosial.” Katanya.
Sekitar 60 % keuntungan digunakan untuk kegiatan sosial, sedangkan selebihnya dipakai sebagai modal usaha. Sejak empat tahun lalu, ada Rp 70 milyar yang digunakan untuk kegiatan sosial.
“Jadi, keuntungan perusahaan ini adalah nol.” Kata Fauzi. ” Jika setiap bangun pagi , kita bisa mensyukuri dengan tulus apa yang
telah kita miliki hari ini, niscaya sepanjang hari kita bisa menikmati hidup ini dengan bahagia”

KISAH SUKSES PETANI KELAPA SAWIT
Yulianto adalah mantan petani plasma tebu Kabupaten Pelaihari, Kalimantan Selatan. Ia kini telah menjadi pewaralaba sukses. Mitra bisnisnya telah menjangkau seluruh pulau Kalimantan, kecuali Kalimantan Barat. Kesuksesannya bukan tanpa alasan. Ia memiliki kejelian tinggi terhadap prospek bisnis waralaba bibit kelapa sawit.
Sebelumnya, ia berwirausaha di bidang komoditi tebu. Kemudian ia beralih ke kelapa sawit. Yulianto memenuhi syarat legalisasi pewaralaba dengan mengajukan permohonan kepada Dinas Perkebunan Provinsi Kalimantan Selatan untuk membuat TRUP.
Usahanya ini didukung juga dengan adanya bantuan pemerintah pusat kepada kelompok tani melalui sistem Penguatan Modal Usaha Kelompok (PMUK) untuk menanam bibit kelapa sawit pada tahun 2003. Yulianto bernaung di bawah bendera Koperasi Agro Berseri Pelaihari. Awalnya, ia mencoba menangkarkan bibit kelapa sawit sebanyak 180.000 batang untuk lahan seluas 1.000 hektare.
A. Modal
Modal yang dibutuhkan untuk menangkarkan bibit sebanyak 180.000 batang cukup besar, yakni sekitar 200 juta. Selain itu, dana APBN baru akan cair pada bulan Juli—Agustus 2003, sedangkan pekerjaan harus dimulai pada bulan Januari 2003.
Namun, Dinas Perkebunan Provinsi Kalimantan Selatan bersedia memfasilitasi program waralaba (bibit siap tanam) kelapa sawit dari PPKS. Akhirnya, penangkaran tetap dimulai dengan 180.000 batang pada tahun 2003.
Selama empat tahun berikutnya, jumlah bibit bertambah menjadi 200.000 batang. Usaha pembibitan memiliki keuntungan yang besar. Keuntungan tersebut digunakan untuk memperluas lahan dan menambah modal kerja hingga skala usaha menjadi bertambah besar. Selain itu, kerja keras dan disiplin dalam pengelolaan keuangan juga menjadi faktor berkembangnya usahanya.
B. Pemasaran.
Banyak petani yang datang memesan sendiri dikarenakan kebun pembibitannya memang dekat dengan wilayah pertanaman kelapa sawit milik petani. Yulianto mencoba untuk mengikuti tender pengadaan bibit dari Pemerintah Kalimantan Selatan.
Konsumen menginginkan bibit yang kondisinya bagus. Pasalnya, kepuasan konsumen adalah kunci keberhasilan usaha. Setelah konsumen merasa puas, biasanya akan datang konsumen baru.
Konsumen baru, umumnya mendapatkan informasi dari konsumen yang telah terlebih dahulu membeli bibit. Pemasaran bibit dari Yulianto saat ini tidak hanya untuk memenuhi kebutuhan wilayah Kalimantan Selatan. Namun, hingga ke Provinsi Kalimantan Tengah dan Kalimantan Timur, baik untuk keperluan proyek pemerintah, perkebunan rakyat, maupun perkebunan besar swasta.
Dengan keberanian dan kerja keras, Anda bisa mengikuti jejak Yulianto. Anda tinggal mengikut berbagai pola dan teknisnya secara mudah dalam buku “Meraup Untung dari Bisnis Waralaba Bibit Kelapa Sawit”.
Di dalam buku yang diterbitkan AgroMedia Pustaka ini dibahas mengenai waralaba secara umum, bentuk, pelaku, dan potensi waralaba kelapa sawit, persiapan waralaba kelapa sawit, seperti modal, persiapan lahan, pengajuan permohonan, dan pembayaran, pembibitan, sampai kepada sistem pemasaran, baik melalui tender, promosi, maupun internet.
Selain itu, diberikan pula analisis usaha agar Anda bisa membuat asumsi analisa biaya, pendapatan, dan keuntungan. Kesuksesan Anda adalah cerminan dari sejauh mana Anda membaca peluang dan metode yang diterapkan.


KEVIN RAJA DOMAIN
Dari seorang dokter ia beralih profesi menjadi penjual-beli situs Internet. Bagaimana liku-likunya?
Sore itu di Hotel Venetian, Las Vegas, Amerika Serikat. Seorang lelaki keturunan Korea duduk bersandar dan memperhatikan suasana lelang situs di hadapannya. Tangannya bergerak-gerak manakala ada nama situs yang membetot minatnya. Dia pun kemudian berdiri dan diam-diam memberi kode kepada anak buahnya untuk menawar domain atas nama dirinya.
Pada ajang itu, sejumlah nama dibelinya. Di antaranya, Weddingcatering.com senilai US$ 10 ribu, lalu Greeting.com seharga US$ 350 ribu. Sebagai orang Kristen yang taat, dia juga memasukkan Christianrock.com (US$ 31 ribu) dalam koleksinya, termasuk God.com dan Satan.com. Tatkala semuanya berakhir, lelaki itu menghampiri meja dan menuliskan sebuah cek untuk semua domain yang dibelinya. Angka yang tertera, US$ 650 ribu. Satu senja yang lumayan mahal.
Deskripsi di atas, yang diurai dengan apik oleh Majalah Business 2.0 belum lama ini, dipuji sekaligus dihujat banyak kalangan sebagai pembuka mata atas siapa sebenarnya sosok keturunan Korea yang satu ini, yang bernama Kevin Ham. Diberi judul “The Man Who Owns Internet”, tulisan itu membeberkan betapa kayanya si Kevin, dan bagaimana dia mendapatkan itu semua.
Kini Kevin adalah the King of Domain. Julukan lain, Raja Properti Dunia Maya. Dari tahun 2000 hingga sekarang, dia ditaksir memiliki 300 ribu domain yang telah memberinya pendapatan US$ 70 juta/tahun. Portofolio personalnya sendiri diperkirakan mendekati US$ 300 juta. Angka yang tak kecil, yang diperoleh karena kejelian — dan buat sebagian orang yang tak menyukainya, lantaran kelicikannya.
Lelaki berusia 37 tahun ini tumbuh di Vancouver, Kanada, dengan tiga saudara. Ayahnya menjalankan bisnis laundry, sementara ibunya menjadi perawat. Sempat sakit yang membuatnya mudah lemas di usia 14 tahun, mendorongnya bercita-cita menjadi dokter, yang kemudian ditempuhnya di University of British Columbia. Lulus dari sekolah kedokteran pada 1998, dia bersama istrinya tinggal di Ontario, berpraktik di rumah sakit.
Tak seperti dokter lain, Kevin adalah sosok yang unik. Di sela-sela pekerjaannya, dia memuaskan ketertarikannya pada dunia Internet yang tengah tumbuh luar biasa. Tak tanggung-tanggung, dia belajar membuat situs dan bahasa pemrograman Perl.
Saat itu, dunia Internet memang tengah bergejolak dalam fase pertumbuhannya. Salah satu informasi yang terserak adalah web hosting. Melihat hal ini, Kevin pun mulai membangun direktori online tentang penyedia jasa web hosting, lengkap dengan review dan rating atas jasa mereka. Situsnya dinamakan Hostglobal.com. Sebuah pijakan yang kelak mengantarkannya masuk ke bisnis jual-beli domain.
Ceritanya begini: sekitar 6 bulan setelah Hostglobal meluncur, dan Kevin mendapat US$ 60 ribu hasil dari penjual iklan di situsnya, salah seorang pengiklannya yang berbisnis menjual registrasi domain bercerita bahwa iklan tunggal (single ad) bisa menghasilkan sekitar US$ 1.500 setiap bulan. Tak ayal, pikiran untuk ikut mencicipi bisnis ini pun segera hadir di benak dokter muda itu.
Dalam pikiran Kevin, orang yang berbelanja untuk jasa hosting kerap kali tertarik memberi URL (alamat situs) yang menarik, atau catchy. Maka, dia pun meluncurkan direktori online kedua, DNSindex.com. Situs ini memberi layanan buat pelanggan untuk mendaftarkan nama domainnya. Hanya, Kevin menambahkan fitur yang amat diinginkan orang: daftar mingguan nama domain yang tersedia dan bisa digunakan. Dalam situs ini, beberapa nama yang ada dalam daftar dia gratiskan. Beberapa lagi, dia patok US$ 50 untuk setiap nama. Dalam hitungan bulan, pelanggannya telah mencapai 5 ribu orang lebih.
Tak dinyana, bisnis ini melesat. Pada Juni 2000, Hostglobal dan DNSindex ditaksir telah memberinya US$ 40 ribu/bulan. Angka ini lebih banyak dari yang didapatnya dari rumah sakit, bahkan dalam setahun. Akhirnya, Kevin pun mengambil tindakan penting: menanggalkan praktik kedokteran. Dia beralih ke dunia maya, untuk menjadi sang penguasa.
Bersama istri dan anaknya, dia kembali ke Vancouver, tinggal di apartemen. Ibarat botol bertemu tutupnya, saat itu, keputusan menekuni dunia domain amat tepat. Kejatuhan dotcom membuat para investor lari dari dunia web. Ratusan hingga ribuan domain yang bermunculan, mendadak menjadi tidak berarti, jatuh, atau habis masa registrasinya. Kevin pun kejatuhan durian runtuh. Dia siap memboyong domain-domain tersebut. Yang diperlukan adalah ketahanan menyeleksi satu demi satu nama situs.
Ketika itu, Networks Solutions bisa dikatakan menjadi pengontrol nama-nama situs yang catchy. Perusahaan ini adalah tempat mendaftarkan dan menjual .com. Kevin melihat, Network Solutions memang tidak memberitahukan kapan sebuah nama domain yang telah berakhir masa registrasinya akan dikembalikan ke pasar, tapi dua hari sekali ia memublikasikan master list seluruh nama yang teregristrasi, yang dikenal dengan sebutan “root zone” — kini dikelola VeriSign. Daftar ini demikian gemuknya karena memuat lebih dari 5 juta nama yang selain membutuhkan waktu lama untuk mengunduhnya, juga bisa membuat sebuah PC hang saking “beratnya” data.
Melihat peluang yang muncul, Kevin pun bertindak taktis. Dia membuat peranti lunak yang membandingkan daftar yang dikeluarkan antara satu hari dan hari-hari berikutnya. Kemudian, dia menelusuri nama yang menghilang dari root zone, dan dibuatkan daftar tersendiri. Dia menemukan fakta menarik: biasanya, sebuah nama akan menghilang setelah 5-6 hari termuat dalam root zone. Dan biasanya itu terjadi di pukul 03.30 dini hari. Bisa dibayangkan bagaimana pola kerja mendeteksi nama-nama domain yang hilang ini. Yang pasti, setelah jam-jam tersebut, Kevin menyalakan lima komputer untuk kemudian melakukan penawaran pembelian atas nama-nama yang diinginkannya.
Ketika itu, tanpa sepengetahuannya, sejumlah rival ternyata juga melakukan hal serupa. Dan dari data registrasi para pembeli, Kevin melihat sebuah nama yang banyak bermuara ke satu orang yang menjuluki dirinya sebagai “NoName”. Belakangan, diketahui bahwa ini adalah seorang programer kelahiran Cina, yang nama aslinya adalah Yun Ye, yang beroperasi dari Fremont, Kalifornia.
Sedikit tentang Yun Ye. Dia adalah sosok yang tak kalah unik. Siang hari, profesinya adalah pengembang software. Malamnya, dia meluncurkan program yang secara otomatis akan menawar sejumlah domain untuk dibeli. Kelak pada 2004, Yun dikenang sebagai “dewa” di kalangan para penjual-beli domain lantaran sukses melego portofolionya yang terdiri atas 100 ribu domain pada Marchex (perusahaan di Seattle yang menyediakan jasa online traffic lokal dan vertikal ke pedagang) senilai US$ 164 juta.
“Yun terlalu hebat,” ungkap Kevin. Toh, dia pun tak kalah hebatnya. Dia bertindak berani. Sejak para pendaftar bisa melakukan koneksi langsung ke server Network Solutions, Kevin memotong kompas. Dia melakukan deal dengan para pendaftar domain, agar bisa mendapatkan domain mereka saat keluar dari root zone. Untuk kesepakatan ini, dia menawarkan US$ 100 untuk setiap nama (normalnya US$ 8). Dalam seminggu, banyak deal bisa dibuat. Dan di akhir 2000, Kevin telah mendaftarkan sedikitnya 10 ribu domain.
Taktik ini memancing kemarahan. “Kevin datang sekaligus menutup pintu buat yang lain,” Franck Schilling, seorang penjual-beli situs, mengeluhkan. Uniknya, Franklah yang kelak justru berjasa besar buat pesaingnya itu. Itu terjadi ketika mereka bertemu di sebuah restoran, November 2000.
“Berapa banyak traffic yang kamu punya?” tanya Frank. Kevin menjawab, tak tahu. Frank pun kemudian nyerocos bahwa dia tengah bereksperimen dengan GoTo.com yang menghubungkan domain-domain miliknya dengan iklan. Mendengar ini, Kevin pun kemudian mencobanya sendiri. Dia meluangkan waktu seminggu untuk mencari tahu berapa banyak traffic pada situs-situs miliknya. Hasilnya, sungguh mengejutkan: 8 ribu pengunjung/hari. “Dari situ, saya tahu apa yang saya buat selama ini, sangat, sangat berharga,” katanya. Dia mengikuti jejak Frank, menandatangani kerja sama dengan GoTo (di kemudian hari dibeli Yahoo). Pada hari pertama, US$ 1.500 masuk ke kantongnya dari iklan yang terhubung ke domain-domain miliknya.
Akan tetapi, kejelian terbesar Kevin adalah ketika dia menyadari bahwa orang tak selamanya menggunakan Yahoo, atau kemudian Google, untuk mencari situs yang diinginkan. Kebanyakan orang mengetik sebuah nama untuk kemudian ditambahkan “.com” di belakangnya. Contohnya, memerlukan sepatu pernikahan, maka ketikkan “weddingshoes.com” (situs yang sekarang dimiliki Kevin) dan kita akan mendarat di sebuah situs yang terlihat seperti portal sepatu pernikahan, yang terhubung dengan lusinan penjual sepatu penikahan.
Di situs ini, setiap klik yang dilakukan seseorang akan menghubungkannya dengan pengiklan (penjual sepatu). Lalu, sang pengiklan akan membayar Yahoo. Dan selanjutnya, giliran Yahoo membagi hasil jualan iklan ini ke Kevin. Dari satu situs ini, dia mengaku mendapat sedikitnya US$ 9.100/tahun. Kecil memang. Hanya saja, tilik biaya untuk situsnya ini: ongkos pendaftarannya US$ 8 dan sekitar US$ 7 untuk biaya overhead per tahun. Dan pola bisnis semacam inilah yang terjadi pada domain-domain milik mantan dokter itu. Pola yang sangat menguntungkan: akhir 2002, sedikitnya US$ 1 juta mengalir ke kantong Kevin lewat model bisnis semacam ini, yang dikenal dengan pay per click.
Tak sedikit yang memuji, tapi kelak tak sedikit pula yang mencelanya. Hal ini terjadi ketika Kevin tampak semakin cermat mengeksploitasi setiap peluang dalam bisnis domain. Melihat orang sering terpeleset mengetik “.com” secara tidak utuh menjadi “.cm”, dia pun bekerja sama dengan Pemerintah Kamerun sebagai pemilik kode .”cm” — sebagaimana Jerman dengan “.de”, atau Indonesia dengan “.id”. Caranya?
Domain-domain yang belakangnya “.cm” dan belum teregistrasi akan dihubungkan oleh server di Kamerun, dengan server milik Kevin di Vancouver. Contohnya, ketikkan “paper.cm”, maka server yang dimiliki Camtel, BUMN Kamerun yang mengurusi pendaftaran domain, akan terhubung dengan server Agoga.com milik Kevin. Begitu juga bila mengetikkan “Beer.cm” (untuk mencari produk bir), Newyorktimes.cm, bahkan Anyname.cm. Semuanya akan terhubung dengan Agoga.com, situs yang berisi iklan aneka produk yang didukung Yahoo.
Berapa uang yang disisihkan untuk Pemerintah Kamerun lewat pola bisnis semacam ini, tidak diungkap oleh Kevin. Yang pasti, dia kini tengah menjajaki untuk mengulang model sejenis dengan Pemerintah Kolombia yang kodenya “.co”. Sejumlah orang bahkan menaksir Kevin akan melakukannya juga dengan Oman (.om), Niger (.ne), dan Ethiopia (.et).
Yang menarik, sekalipun begitu hebat, Kevin nyaris tak dikenal. Publikasi tentang dirinya terbilang amat minim, bahkan di wikipedia sekalipun. Namun, boleh jadi ini karena apa yang dilakukannya juga memancing banyak musuh. Di antaranya, para pengacara korporat yang menuduh penggunaan “.cm” berpotensi penyalahgunaan trademark.
Terlepas dari kontroversi yang muncul, Kevin tetap dipuja para fansnya. Dia sendiri terus aktif memburu domain. Dalam sehari, 30-100 nama domain dibelinya. Sebagai informasi, dalam tiga tahun terakhir, jumlah nama domain meningkat lebih dari 130% menjadi 66 juta domain. Setiap dua detik, satu nama bergabung.
Memang tak hanya Kevin yang melakukan profesi ini. Namun, dari segelintir orang yang bermain di dunia ini, dialah rajanya. Dunia yang disebutnya sebagai “the virtual real estate”.


CERITA KESUKSESAN DAGANG BAKSO “CAK EKO”


Awal Kepepet :

Tahun 1997, saat baru pertama kali hijrah di Jakarta saya pernah jual-beli HP second. Ini saya lakukan karena kondisi keuangan yang benar-benar minus (makan hanya 2 kali sehari) saat saya harus hidup sebagai orang perantauan yang kos di daerah Pinang Ranti. Sejak kecil sampai kelar kuliah jiwa saya tidak ditempa menjadi seorang pengusaha. Lingkungan keluarga yang memang sebagai pegawai sangat dominan mewarnai hidup saya. Nah saat menjadi perantau inilah otak kanan saya secara tidak sadar mulai jalan. Tiap pagi saya mencari peluang di koran pos kota yang kala itu harganya masih Rp.500, ternyata insting saya jatuh kepada HP second. Modal yang saya gunakan adalah dari teman saya yang ada di surabaya dimana saya sebagai pencari hp second di jakarta dan selanjutnya saya kirim ke surabaya. Jumlah Hp yang saya beli kala itu tergantung permintaan teman saya. Kala itu saya beli HP second dari Jakarta 300ribu, saya jual di Surabaya 600-700ribu. Namun usaha saya cuma bertahan 1 tahun karena semakin lama makin banyak hp second yang masuk surabaya sehingga marjin yang saya dapatkan kecil (Harga jual HP second di Jakarta dan Surabaya hampir sama).

Kepepet yang lain :

Tahun 1998, saya mencoba peruntungan di bisnis MLM. Namun saya hanya bisa bertahan selama 6 bulan dikarenakan jiwa saya tidak bisa sepenuhnya menjalankan bisnis ini secara maksimal.

Kepepet kebutuhan uang untuk nikah dan kepepet-kepepet yang lain :

Tahun 1999, karena sedang booming agrobisnis, saya patungan dengan 7 orang teman. Menanam jahe gajah 3 ha di Sukabumi. Operasional, perawatan dan penanaman kami percayakan kepada KUD setempat. Kami mengunjungi setiap 2 minggu sekali.

Saat panen kami gagal. Tonase tidak sesuai dengan perkiraan. Kegagalan ini lebih disebabkan oleh faktor kurangnya pengawasan dan pengetahuan tentang ilmu pertanian. Uang modal 5 juta saat itu yang sebenarnya saya harapkan bisa berlipat sebagai modal nikah tahun 2000 habis tak berbekas.

Tahun 2000, dengan segala keterbatasan, saya menikah di Surabaya. Beberapa hari setelah pernikahan, istri langsung saya boyong ke kost-kost-an yang sudah dipersiapkan di Jakarta. Tempat yang sangat sederhana dan tidak ada perabot apapun. Uang sisa-sisa sumbangan pernikahan saya gunakan untuk membeli sebuah kasur dan beberapa perlengkapan lain.
Hidup di Jakarta bersama istri dengan gaji pas-pasan adalah problem. Uang gaji yang tidak seberapa membuat saya kesulitan untuk memenuhi kebutuhan hidup seperti uang belanja, sewa kamar (kost) hingga keperluan-keperluan lainnya. Dalam posisi yang serba sulit dan terjepit itulah adrenalin saya kembali naik. Keinginan saya muncul kembali, yaitu keinginan untuk kembali berbisnis !!
Berbagai informasi dan peluang saya cari melalui internet. Saya dapat peluang untuk mengirimkan sebuah artikel teknik ke Jepang. Dengan berbekal kemampuan menulis dan didukung dengan kenekatan saya mengirimkan abstraksi makalah dan berhasil. Abstraksi naskah saya diterima dan saya berkesempatan jalan-jalan gratis ke Jepang.
Saya tidak menghabiskan semua biaya perjalanan yang saya dapat dan pada saat kembali ke Tanah Air. Bisa mengumpulkan uang sebesar 13 juta sisa dari perjalanan saya ke Jepang. Intuisi bisnis saya segera berputar. Uang 13 juta untuk apa?
Pilihan saya jatuh pada menjalani bisnis tas dan dompet kulit produksi Tanggulangin Sidoarjo. Bisnis berjalan lancar. Barang yang saya datangkan dari Tanggulangin saya sebar ke butik-butik di Jakarta.
Yang menjadi persoalan adalah pembayaran dari butik-butik tersebut tidak selancar yang diharapkan. Sistem konsinyasi yang diterapkan tidak mendukung kelancaran cash flow. Banyak tagihan yang tertunda hingga membuat saya kesulitan memutar uang.
Setelah satu tahun berjalan saya memutuskan untuk berhenti dari bisnis tersebut. Barang-barang yang berada di butik pun saya tarik semuanya dan dibawa pulang kerumah untuk saya bagi-bagikan kepada keluarga. Alih-alih mendapat untung, modal usaha sebesar 13 juta pun amblas.
Saya bukan tipikal orang yang mudah menyerah dan putus asa. Setelah gagal berbisnis Jahe Gajah dan tas kulit, bisnis lainpun saya coba. Tahun 2001 pilihan saya jatuh pada bisnis busana muslim. Dengan modal sebesar 5 juta yang berasal dari pinjaman koperasi kantor, bisnis busana muslimpun saya jalani.
Saya pilih pasar Tanah Abang Jakarta sebagai tempat kulakan dan kota Surabaya menjadi tujuan saya untuk melempar barang. Bisnis saya berkembang pesat dengan tingkat keuntungan mencapai 100%. Kala itu saya tidak mengambil keuntungan usaha untuk keperluan konsumtif. Keuntungan yang saya dapat saya tambahkan lagi sebagai modal hingga akhirnya aset yang saya miliki makin berkembang.
Lama kelamaan banyak orang yang meniru bisnis ini dan kompetitor mulai bermunculan dengan harga yang lebih murah. Hingga akhirnya omset bisnis saya turun drastis. Setelah saya jalani selama 1 ½ tahun, walaupun tidak rugi total, saya memutuskan untuk berhenti dan beralih ke bisnis kerajinan tangan (handy craft).

Pertengahan tahun 2002, saya melihat-lihat pameran handy craft dan tertarik dengan kerajinan miniatur becak & sepeda yang dipajang di salah satu stand. Saya mencoba untuk memproduksinya sendiri. Tiap sabtu dan minggu saya membawa proposal penawaran ke beberapa hotel dan pasar swalayan di Jakarta.
Beberapa tempat bersedia menerima produk tersebut. Lagi-lagi persoalannya semua hanya bersedia menerima barang dengan sistem konsinyasi. Kesulitan cash flow kembali terulang. Setelah berjalan 6 bulan bisnis kerajinan tangan inipun saya tutup.

Awal tahun 2003 saya kembali bangkit untuk berbisnis. Kali ini saya mencoba menggeluti bisnis catering rumahan di perumahan Vila Nusa Indah II tempat tinggal saya kala itu. Awalnya bisnis ini berprospek bagus, namun kompetitor membuat bisnis ini harus membuat inovasi baru.

Kala itu saya mencoba untuk membikin variasi menu makanan yang bisa menjadi pilihan para pelanggan. Saya sebar brosur untuk agar mendapatkan pelanggan baru. Namun adanya kompetitor baru yang lebih kreatif dan inovatif, maka bisnis inipun mengalami penurunan omset. Bisnis inipun tidak saya teruskan.

Tahun 2004, saya tertarik dengan sebuah produk franchise makanan ringan sejenis crispy. Dengan modal uang 5 juta saya beli franchise tersebut dan mulai berjualan di kompleks perumahan villa Nusa Indah, Jati Asih, Bekasi.
Tiga bulan pertama, sangat ramai (memperoleh omset sebesar Rp. 250.000/hari). Rupanya keberuntungan belum berpihak pada saya. Karena setelah ramai selama tiga bulan, bulan-bulan selanjutnya omset turun drastis. Untuk mengatasi hal tersebut maka saya putuskan untuk pindah ke lokasi lain. Di lokasi yang baru tersebut bisa diperoleh omset sebesar Rp. 150.000 dengan prosentase keuntungan sebesar 30%.
Memang di bisnis ini tidak mengalami kerugian namun saya merasa prospek kedepan bisnis ini tidak terlalu bagus hingga akhirnya bisnis inipun saya sudahi setelah berjalan 1 tahun walau kontrak waralabanya 2 tahun.

Pengalaman mengambil bisnis waralaba itu membawa hikmah tersendiri bagi saya. Impian besarnya sangat kuat, yaitu ingin memiliki sebuah bisnis yang menerapkan sistem franchise. Jeda waktu satu tahun (2005) saya manfaatkannya untuk mempelajari dan mengamati berbagai jenis usaha franchise yang sudah ada.

Obsesinya adalah menjadi pemilik waralaba bisnis makanan pun terus berkobar. Hingga akhirnya sekitar tahun 2005 (menjelang Ramadhan), pada saat mengantar saudara ke stasiun Gambir dan bandara Soekarno-Hatta, saya tertarik melihat sebuah rumah makan bakso yang selalu ramai dikunjungi pembeli.

Intuisi saya segera muncul bahwa inilah jenis bisnis yang selama ini saya cari dimana dengan hanya menjual bakso yang saat itu dikenal dengan makanan rakyat namun bisa masuk bandara yang sewanya pertahun mencapai ratusan juta. Di bulan dan di tahun itupula saya langsung mempunyai niat yang kuat untuk belajar ilmu membuat bakso di Surabaya.

Saya segera belajar dari juru masak bakso yang dikenalkan oleh kerabat dekat. Sehari penuh saya belajar ilmu memasak dan membikin bakso tanpa mengalami kendala karena memang hobi saya adalah memasak. Sesampai di Jakarta langsung saya melakukan berbagai eksperimen selama 3 bulan dengan menggabungkan resep-resep yang saya cari dari berbagai sumber. Tujuannya untuk bisa mendapatkan resep bakso yang khas dan memiliki cita rasa yang tinggi.

Akhirnya kerja keras saya tidak sia-sia. Formula spesial bakso Malang pun berhasil saya temukan. Setelah yakin dengan pilihan (bisnis bakso) dan formula yang saya miliki, saya memulai bisnis di daerah Jatiwarna Bekasi di sebuah pujasera dengan sistem bagi hasil, dengan diberi nama Bakso Malang Kota “Cak Eko”.

Terbukti warung bakso saya sangat diminati pelanggan. Melihat animo pelanggan yang begitu besar, pada pertengahan tahun 2006, saya memberanikan diri untuk membuka cabang di Tamini Square dengan modal sebesar 25 juta yang saya dapatkan dari menyisihkan keuntungan penjualan perbulan ditambah dengan sedikit uang pinjaman.

Rupanya bisnis baksolah yang membawa peruntungan bagi saya dan istri.Dalam waktu singkat, outlet di Tamini Square ramai dikunjungi pelanggan. Bahkan tidak sedikit yang berminat untuk mengambil franchise dalam bisnis bakso yang saya geluti.

September 2006, saya mulai menawarkan kemitraan melalui website (internet). Konsep bisnis bakso Malang Kota “Cak Eko” langsung mendapatkan respon positif dari masyarakat. Keberhasilan saya dalam membangun bisnis bakso beramai-ramai diberitakan media massa hingga akhirnya bisnis franchise Bakso Malang Kota “Cak Eko” berkembang pesat.

Tak kurang dari 30 cabang baru bermunculan hanya dalam waktu beberapa bulan saja. Saat ini cabang Bakso Malang Kota “Cak Eko” telah mencapai 85 cabang yang tersebar luas di wilayah Jabodetabek, Palembang, Pekanbaru, Banda Aceh, Duri Riau, Bengkulu, Jambi, Serang, Bandung, Kudus, Solo, Surabaya, Makasar, Sintang, Tarakan, Palangkaraya, Sangata, Bontang, Palu dan masih banyak permintaan dari seluruh Indonesia.

0 komentar: