Ya Allah, Sungguh Aku telah Banyak Menzhalimi Diri

3/14/2011 09:00:00 AM Posted In Edit This 0 Comments »
Segala puji bagi Allah, Rabb semesta alam. Shalawat dan salam semoga tercurah kepada penutup para rasul, kepada para keluarga dan sahabat beliau.
Dari ‘Abdullah bin ‘Amr ibnul ‘Ash radhiallahu ‘anhuma, dia mengatakan,

أن أبا بكر الصديق رضي الله عنه قال للنبي صلى الله عليه وسلم: يا رسول الله علمني دعاء أدعو به في صلاتي قال: «قل اللهم إني ظلمت نفسي ظلما كثيرا ولا يغفر الذنوب إلا أنت فاغفر لي من عندك مغفرة إنك أنت الغفور الرحيم

“Abu Bakr radhiallahu ‘anhu pernah berkata kepada nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, “Wahai rasulullah, ajarilah aku sebuah do’a yang bisa kupanjatkan dalam shalatku.” Nabi menjawab, “Katakanlah, Allahumma inni zhalamtu nafsi zhulman katsira wa laa yaghfirudz dzunuba illa anta faghfirli min ‘indika maghfiratan innaka antal ghafurur rahim (Ya Allah, sesungguhnya aku telah banyak menzhalimi diri sendiri dan tidak ada yang mampu mengampuni dosa melainkan Engkau, maka berilah ampunan kepadaku dari sisi-Mu, sesungguhnya Engkau maha pengampun dan maha penyayang.”[1]
Saudaraku, sidang pembaca yang dimuliakan Allah. Cobalah Anda memerhatikan dan merenungkan hadits yang agung ini. Bagaimana Ash Shiddiqul Akbar, Abu Bakr radhiallahu ‘anhu meminta kepada nabi agar mengajarkan sebuah do’a untuk dipanjatkan dalam shalatnya, dan nabi pun memerintahkan beliau untuk mengucapkan do’a di atas. Padahal kita semua tahu kedudukan Abu Bakr. Menurut anda, bagaimana dengan diri kita, yang senantiasa melampaui batas terhadap dirinya sendiri, apa yang layak kita ucapkan?!
Mengenai keutamaan Abu Bakr disebutkan dalam hadits Abu Hurairah radhiallahu ‘anhu mengatakan, rasulullahshallallahu ‘alaihi wa sallam pernah bertanya kepada sahabatnya,

«من أصبح منكم اليوم صائما؟ قال أبو بكر: أنا، قال: فمن تبع منكم اليوم جنازة؟ قال أبو بكر: أنا، قال: فمن أطعم منكم اليوم مسكينا؟ قال أبو بكر: أنا، قال فمن عاد منكم اليوم مريضا؟ قال أبو بكر: أنا، فقال النبي صلى الله عليه وسلم: ((ما اجتمعن في امرئ إلا دخل الجنة))

Siapakah diantara kalian yang memasuki waktu pagi dalam keadaan berpuasa di hari ini? Abu Bakr menjawab, “Saya.” Rasulullah balik bertanya, “Siapakah diantara kalian yang mengiringi jenazah pada hari ini?” “Saya”, jawab Abu Bakr. “Rasulullah bertanya, “Siapakah diantara kalian yang member makan kepada orang miskin pada hari ini?” Abu Bakr kembali menjawab, “Saya.” Rasulullah kembali bertanya, “Siapakah diantara kalian yang membesuk orang sakit pada hari ini?” Abu Bakr menjawab, “Saya.” Maka nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam pun bersabda, “Tidaklah seluruh perkara tersebut terkumpul pada diri seserang melainkan dia akan masuk surga.”[2]
Benar, dialah Abu Bakr, wahai saudaraku, pribadi terbaik umat ini setelah nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam sesuai kesepakatan ahli sunnah, tanpa ada khilaf. Barangsiapa yang mengingkari status sahabat beliau, sungguh dia telah mendustakan firman Allah ta’ala,

ثَانِيَ اثْنَيْنِ إِذْ هُمَا فِي الْغَارِ إِذْ يَقُولُ لِصَاحِبِهِ لا تَحْزَنْ إِنَّ اللَّهَ مَعَنَا


Dia salah seorang dari dua orang ketika keduanya berada dalam gua, di waktu dia berkata kepada temannya: “Janganlah kamu berduka cita, sesungguhnya Allah beserta kita.” (At Taubah: 40).
Dan barangsiapa yang mendustakan Allah, sungguh dia telah terjerumus ke dalam kekafiran!
Abu Bakr radhiallahu ‘anhu adalah sahabat nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, bahkan sahabat yang paling utama dan telah dipastikan akan masuk surga, meski demikian nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam menuntun beliau untuk senantiasa mengucapkan,”Wahai Allah sesungguhnya aku telah banyak menzhalimi diri.”
Saudaraku, bukankah diri kitalah yang lebih pantas mengucapkan do’a di atas? Bukankah kita senantiasa berbuat dosa sepanjang siang dan malam? Apabila memasuki waktu pagi, kita tidak sadar akan dosa dan kesalahan yang telah diperbuat kecuali hanya sedikit saja, kita sangat jarang mengetahui betapa minimnya usaha kita dalam menjalankan berbagai kewajiban? Bukankah kita senantiasa merasa bahwa tidak ada seorang pun yang lebih baik dari diri kita, bukankah kita senantiasa memandang kitalah yang paling baik dalam beragama? Demi Allah, wahai saudaraku, sesungguhnya seluruh hal tersebut adalah penyakit yang akut.

فإن كنت تدري فتلك مصيبة * وإن كنت لا تدري فالمصيبة أعظم

Apabila engkau tahu, maka itulah musibah
Dan jika ternyata engkau tidak tahu, maka musibahnya lebih besar
Oleh karena itu, saya mengajak diri saya dan Anda sekalian untuk rehat dan mengoreksi diri di setiap saat. Mari kita memperbanyak istighfar dan taubat serta senantiasa kembali kepada-Nya.
Ketahuilah saudaraku, semoga Allah memberikan taufik-Nya kepadaku dan dirimu, mengakui dosa merupakan jalan menuju taubat dan sebab turunnya maghfirah. Anda tentu tahu hadits Sayyidul Istighfar yang masyhur, bukankah di dalam hadits tersebut tercantum lafadz do’a berikut,
وأبوء بذنبي فاغفر لي فإنه لا يغفر الذنوب إلا أنت
Saya mengakui dosaku, maka ampunilah aku. Sesungguhnya tidak ada yang kuasa mengampuni melainkan Engkau semata.[3]
Perhatikan, wahai Saudaraku, mengakui dosa merupakan awal perjalanan taubat.
Oleh karenanya, marilah kita menyesali segala dosa dan tindakan melampaui batas yang telah diperbuat, begitu pula berbagai kewajiban yang telah dikerjakan dengan penuh kekurangan. Dengan demikian, wahai saudaraku, seorang yang berakal, jika melihat orang yang lebih tua akan berujar di dalam hati, “Beliau telah terlebih dahulu beribadah kepada Allah daripada diriku”; jika melihat orang yang lebih muda, dia berujar, “Saya telah mendahuluinya dalam hal dosa”; jika melihat da’i-da’i pemberi petunjuk, dia mencintai dan berusaha meneladani mereka; dan apabila melihat mereka yang tersesat dan tenggelam dalam kubangan kemaksiatan, dirinya memuji Allah ta’ala dan tidak mencela mereka. Bahkan dia memanjatkan pujian kepada-Nya karena telah melindungi dari kesesatan yang menimpa mereka, dia memuji Allah karena telah mengutamakan dirinya dengan petunjuk-Nya dari sekian banyak makhluk-Nya.
Seandainya Allah ingin, tentulah dia akan semisal dengan mereka. Dengan demikian, dia tidak akan merasa tinggi hati, bahkan kepada pelaku maksiat dan mereka yang tersesat. Dia justru merasa kasihan dan merasa sayang serta berusaha untuk memperbaiki mereka, di samping dia berkewajiban untuk membenci tindakan mereka yang telah menyelisihi perintah Allah dan rasul-Nya. Perkara inilah yang patut diteliti dan diperhatikan.
Akhir kata, saya memohon kepada Allah agar memberi ampunan dari sisi-Nya dan mencurahkan rahmat-Nya kepada kita dan segenap kaum muslimin. Walhamdu lillahi rabbil ‘alamin.

Daftar Rujukan :
[1] HR. Bukhari : 6839.
[2] HR. Muslim: 6333.
[3] HR. Bukhari: 6306.

0 komentar: