Potensi Budidaya Ikan dari Jenis Perikanan Darat

11/28/2009 11:07:00 PM Posted In Edit This 0 Comments »



Selama ini, aktivitas perikanan tangkap dominasi pembangunan perikanan nasional. Secara politik, kondisi ini memposisikan perikanan darat/perairan umum (sungai, situ, danau dan rawa) sebagai kelas kedua, maka aktivitas perikanan darat mandek.
Revitasi perikanan hanya mengutamakan pertambakan udang, dan budidaya laut yaiotu rumput laut dan ikan karang, padahal perikanan darat memiliki keunggulan dan keunikan tersendiri. Harusnya, pemerintah memberikan porsi yang seimbang antara keduanya.
Perikanan darat memiliki keunggulan dan keunikan dalam pengembangannya. Pertama potensinya memiliki varietas/jenis yang bersifat endemik. Contohnya ikan bilih (mystacole useus pandangensis) yang di dunia hanya terdapat di danau Singkarak, Sumatera Barat, juga ikan jenis lawat (leptobarbus hoevonii), baung ( Mytus Planices), belida ( Chitala Lopis), dan tangadak (barbodes Schawanefeldi) di danau Sentarum Kalimantanb Barat dan sungai-sungai pulau Sumatera, Nike-nike di danau Tondano Sulewesi Utara dan ikan gabus asli (oxyeleoris heterodon) di danau Sentani Papua.
Kedua keberadaan ikan endemik menyatu dengan perilaku/pola hidup masyarakat lokal. Mereka menganggap ikan endemik menjadi bagian kebudayaan dan dikonsumsi secara turun-temurun. Maka mereka juga memiliki kearifan lokal dalam menjaga kelestariannya. Ketiga secara ekologis dan klimatologi ikan endemik memiliki habitat hidup dan berkembang biak yang khas. Amat tidak mungkin ikan bilih, danau Singkarak dikembangbiakan di danau Poso. Inilah sumber kekhasan sumber daya genetik.
Lahan budi daya perikanan darat yang mengandung jenis ikan endemik belum dimanfaatkan secara optimal. Baru beberapa daerah yang membudidayakan dan memberdayakannya danau pariwisata misalnya danau Tondano, danau Singkarak, danau Poso dan danau Sentani. Kelima jenis ikan endemik harganya mahal karena rasanya unik, khas dan langka sehingga menjadi trademark tersendiri bagi daerah itu. Contohnya ikan Semah (tor tambra, tor dourounensis dan tor tambroides, labeubarbus dourounensis0 dari Sungai Kapuas harganya sampai 250.000/Kg.

Enam Problem
Otonomi daerah dalam aspek perikanan dan kelautan tidak hanya dimaknai sebatas kewenangan pengelolaan wilayah laut oleh pemerintah propinsi dan kebupaten/kota. Otonomi daerah juga harus dimaknai sebagai mengelola dan mengembangkan perikanan darat utamanya ikan endemik yang terancam punah. Pemaknaan ini akan menciptakan kadaulatan pangan di tingkat lokalitas.
Berbagai problem mengancam keberlanjutan budidaya ikan endemik dan kelestariannya. Yaitu, pertama exploitasi berlebihan. Contohnya, data tahun 1997 menyebutkan stok ikan Bilih mencapai 542,56 ton. Dan telah dieksploitasi sebesar 416,90 ton (77,84 %). Ini menggambarkan sumberdaya ikan bilih sudah mengalami tangkap lebih.
Kedua, introduksi ikan lain yang bersifat predator dan kompetitor. Kasus introduksi ikan gabus Toraja (channa Striata) di danau Sentani. Hal serupa juga terjadi di danau Poso dan Malili di Sulawesi Tengah.
Ketiga, ancaman kerusakan lingkungan yang disebabkan oleh kegiatan pertanian dan pembabatan hutan. Akibat kegiatan pertanian yang menggunakan pupuk organik, limpasannya masuk ke sungai dan danau, sehingga mencemari dan merusak habitat ikan endemik. Hal serupa akan terjadi akibat pembabatan hutan di hulu sungai danau maupun lubuk-lubuk di Kalimantan dan Sumatera bersumber dari aktivitas pertanian dan pembabatan hutan.
Keempat, proses sedimentasi yang disebabkan oleh limpasan lumpur dari aktivitas di tep[I danau menyebabkan danau semakin dangkal. Juga, pembabatan hutan di hulu menyebabkan sungai mengalami pendangkalan.

0 komentar: