TAWADHU’ Ibarat Sebuah Magnet

5/06/2010 05:30:00 PM Posted In , Edit This 0 Comments »

Secara bahasa, tawadhu’ berasal dari kata tawadha’a-yatawadha’u-tawadhu’an yang berarti merendahkan diri atau meletakkan di bawah. Secara istilah, tawadhu’ berarti menghargai orang lain, menganggap bahwa orang lebih baik, lebih benar dan lebih mulia. Penghargaan dan pengagungan yang proposional, bukan taklid buta.

Tawadhu’ juga diartikan dengan menerima kebenaran dari siapapun datangnya, atau siap menerima kebenaran tanpa melihat siapa yang berbicara. Jadi tawadhu’ adalah: “melebur dan merendahkan diri di hadapan Alloh Swt dan di hadapan hamba-hamba-Nya.”

Ibnu Qoyyim dalam kitab Madarijus Salikin berkata: “Barangsiapa yang angkuh untuk tunduk kepada kebenaran walaupun datang dari anak kecil atau orang yang dimarahinya atau yang dimusuhinya, maka kesombongan orang tersebut hanyalah kesombongan kepada Alloh karena Alloh adalah Al-Haq (benar); kalam-nya benar, agamanya-Nya benar. Kebenaran datangnya dari Alloh dan kepada-Nya akan kembali. Barangsiapa menyombongkan diri untuk menerima kebenaran berarti dia menolak segala yang datang dari Alloh dan menyombongkan diri di hadapan-Nya.”

Sikap tawadhu’ sangat erat kaitannya dengan sifat ikhlas. Rangkuman keikhlasan seorang hamba ada pada ketawadhu’annya. Orang yang mampu bersikap tawadhu’ berarti keikhlasan telah bersarang di hatinya. Bedanya, ketawadhu’an lebih bersifat horizontal.

Tawadhu’ banyak berhubungan dengan manusia secara sosial. Sedangkan Ikhlas, lebih bersifat vertikal, langsung kepada Alloh, tawadhu’ bukan berarti menghinakan diri. Tapi tawadhu’ adalah bentuk penghambaan kepada Tuhan yang sesungguhnya.

DALIL-DALIL TAWADHU’

Jika kita membaca Al-Qur’an, kitab-kitab hadist dan sejarah, akan banyak ditemukan disana dalil-dalil tentang keutamaan tawadhu’. Sekedar menyebut contoh misalnya, dalam surat Al-Furqon disebutkan tentang keutamaan dan ciri-ciri orang yang tawadhu’. Yang artinya:

“Dan hamba-hamba tuhan yang maha pengasih lagi maha penyayang itu (ialah) orang-orang yang berjalan diatas bumi dengan rendah hati dan apabila orang-orang jahil menyapa mereka, mereka mengucapkan kata-kata (yang mengandung) keselamatan.” (QS. Al-Furqon [25]: 63).

Ayat ini menunjukkan karakteristik orang-orang yang bertawadhu’. Mereka selalu menyapa dan mengucapkan salam (do’a keselamatan) kepada semua orang yang ditemuinya, tanpa melihat kelas sosial ataupun tingkat kecerdasannya, orang yang bodohpun tetap dia sapa dan do’akan. Sungguh ini merupakan sikap profesionalitas yang luar biasa.

Bahkan secara lebih jauh, Nabi Muhammad SAW juga mengatakan bahwa orang yang bersikap tawadhu’, ia akan diangkat derajatnya. Sebuah derajat dan kehormatan yang tentunya sangat tinggi dihadapan Tuhannya.

“Dan tidaklah Sesorang bertawadhu’ kepada Alloh kecuali Alloh akan mengangkat (derajat)nya.” (HR. Muslim).

Dalam hadist lain juga disebutkan:

“barangsiapa yang bersikap tawadhu’ karena mencari ridho Alloh, naka Alloh akan meninggikan derajatnya. Ia menganggap dirinya tiada berharga, namun dalam pandangan orang lain ia sangat terhormat. Barang siapa yang menyombongkan diri, maka Alloh akan menghinakannya. Ia menganggap dirinya terhormat, padahal dalam pandangan orang lain ia sangat hina, bahkan lebih hina daripada anjing dan babi.” (HR. Al-Baihaqi).

Dalam sebuah atsar juga diceritakan bahwa pada suatu malam datanglah seorang tamu kepada kholifah Umar bin Abdul Azis. Waktu itu beliau sedang menulis. Lampunya hampir saja padam. Tamu itu kemudian berkata: “Ya Amirul Mukminin, biarlah saya yang memperbaiki lampu itu.” Sang Amir menjawab: “Jangan, tidak baik seorang menganggap tamunya sebagai pelayan. Itu bukan Akhlak mulia.” Tamunya itu berkata lagi: ”Kalau begitu, biar saya bangunkan pelayan saja.” Sang Amir menjawab: “ Jangan ia baru aja tidur, sepertinya sejak tadi dia blom menikmati kenikmatan bantalnya.” Selanjutnya beliau sendiri yang membetulkan lampunya. Si tamu itupun bertanya: “Wahai Amirul Mukminin, mengapa anda sendiri yang membetulkan lampu itu?” Sang Amir menjawab: “ Mengapa tidak, kalau saya pergi sayapun tetap Umar. Tidak berkurang sedikitpun dari diriku dengan apa yang saya lakukan tadi, bukan? Selamanya saya tetap Umar.”

Ayat, hadist, dan atsar diatas telah menegaskan kepada kita semua tentang pentingnya tawadhu’. Sebuah sikap ketundukan total dihadapan Alloh SWT.

PEMBAGIAN TAWADHU’

Sikap Tawadhu’ di bagi menjadi empat macam:

1. Tawadhu’ kepada Alloh SWT.

Tawadhu’ kepada Alloh SWT artinya merendahkan diri di hadapan-Nya. Tanda-tanda orang tawadhu’ kepada Alloh SWT diantaranya:

a. Merasa kecil/sedikit dalam ta’at kepada-Nya. Artinya, seorang yang tawadhu’ kepada alloh SWT itu merasa bahwa dalam ketaatan dan ibadahnya masih sangat sedikit dibandingkan dengan dosa-dosa yang telah dilakukan.
b. Merasa besar/banyak dalam maksiat. Artinya, seorang yang tawadhu’ kepada Alloh SWT, merasa bahwa dosa/maksiat yang telah dilakukan sangat besar/banyak dibandingkan dengan amalnya.
c. memperbanyak pujian kepada Alloh SWT. Dan tidak pada diri sendiri.
d. Tidak menuntut hak kepada Alloh, tetapi berorientasi pada amal yang harus dilakukan.

2. Tawadhu’ kepada Agama

Tanda-tanda orang yang tawadhu’ kepada agama diantaranya:

a. Tunduk dan patuh kepada aturan-aturan, perintah-perintah dan larangan-larangan di dalam agama islam.
b. Tidak melanggar Islam baik dalam perkataan, perasaan pemikiran dan perbuatan.

3. Tawadhu’ kepada Rosululloh Saw.

Tanda-tanda orang tawadhu’ pada Rosululloh diantaranya:

a. Mengutamakan petunjuk Rosululloh diatas manusia lainnya.
b. Mencintai, mentaati, dan mengikuti setiap perkataan dan perbuatan beliau.
c. Menjadikan Rosululloh Saw. Sebagai teladan hidupnya.

4. Tawadhu’ kepada Sesama.

Tanda-tanda orang yang tawadhu’ kepada manusia diantaranya:

a. Menerima nasehat/saran kebenaran dari orang lain.
b. Senantiasa melihat kelebihan-kelebihan saudaranya, dan berusaha menutupi kekurangan-kekurangannya.
c. Siap membantu orang lain.
d. Bermusyawarah dengan anggota masyarakat yang lain.
e. Senantiasa berbaik sangka (khusnudzon) kepada orang lain.

CARA MENGUKUR SIKAP TAWADHU’

Meskipun kunci tawadhu’ berada dalam hati, tapi ada beberapa cara yang bisa dilakukan untuk mengetahui dan mengukurnya. Adalah seorang Sa’id Hawwa, dalam bukunya yang berjudul Al-Mustakholash fi Tazkiyatul Anfus (Ringkasan dalam penyucian jiwa), sebagai mana dilansir nurul huda (2008), dengan gamblang telah menwarkan beberapa tips dan cara untuk mengukur dan mengetahui apakah kita sudah bersikap tawadhu’ atau belum, antara lain:
1. Cobalah berdiskusi dengan orang lain tentang suatu masalah. Jika kita keberatan mengakui kebenaran perkataan lawan, berarti dalam hati kita masih ada kesombongan. Namun jika anda menerima kebenaran lawan dan berterima kasih serta mengakui kelemahan diri dengan tulus, maka kita boleh sedikit berlega hati karena memiliki sifat tawadhu’.

2. Cobalah berkumpul bersama teman-teman sebaya dalam suatu pertemuan. Kemudian dahulukan kepentingan orang lain di atas diri kita, tidak menonjolkan diri, dan berjalan ditengah atau dibelakang, bukan di depan. Jika kita berat melakukannya, berarti dalam hati kita masih terdapat benih kesombongan.

3. Cobalah memenuhi undangan orang miskin atau lebih rendah statusnya. Jika kita masih merasa berat mendatanginya, berarti dalam hati kita masih terdapat sifat sombong.

4. Bawalah sendiri barang-barang keperluan keluarga tanpa dibawakan oleh orang lain. Jika kita merasa berat melakukannya, walaupun tidak ada orang lain, berarti kita masih memiliki sifat sombong. Tapi jika kita melakukannya ingin dilihat orang lain berarti riya’.

5. Kenakanlah pakaian yang sederhana. Jika kita memakai pakaian yang bagus-bagus hanya karena ingin dilihat orang lain, berarti kita masih memiliki sifat riya’. Dan jika kita merasa berat mengenakan pakaian yang sedrhana didepan umum, berarti kita masih memiliki sifat sombong.

Inilah beberapa cara untuk mengukur sikap ketawadhu’an. Pendek kata, sikap tawadhu’ ibarat magnet yang bisa membuat orang-orang disekitarnya mendekat dan bahkan menempel. Sebaliknya sikap congkak akan menjauhkan dari dari orang-orang sekitarnya. Jangankan manusia, surga pun mengharamkan dirinya untuk dimasuki orang-orang yang dalam hatinya terdapat kesombongan walaupun sebesar debu.

“Takkan masuk surga orang yang dalam hatinya terdapat kesombongan walaupun sebesar biji sawi.” (HR. Muslim)

Alloh pun amat membenci orang-orang sombong. Sebagaimana fiman-Nya dalam Al-Qur’an yang artinya :

“Sesungguhnya Alloh tidak menyukai orang-orang yang sombong dan membangga-banggakan diri.” (QS. An-Nisa’ [4]: 36).

TIPS MENJADI PRIBADI YANG TAWADHU’

Bersikap tawadhu’ tidaklah mudah, sebab tawadhu’ mengharuskan seseorang untuk mengalahkan sifat keegoannya. Sikap tawadhu’ juga tidak dapat diperoleh secara spontan. Tapi harus diupayakan secara bertahap, serius dan berkesinambungan. Cara yang dapat dilakukan untuk melatih munculnya sifat tawadhu’ antara lain:

1. Mengenal Alloh.
Dengan mengenal Alloh beserta sifat-sifatnya, maka akan muncul kesadaran bahwa manusia adalah makhluk yang sangat lemah dan kecil. Begitu besarnya kuasa Alloh, begitu kaya, Agung dan besarnya Alloh. Maka tidaklah pantas bagi manusia untuk merasa sombong. Dengan mengenal Alloh kita tidak akan merasa memiliki dan dimiliki, sebab semua yang ada dialam ini hakekatnya hanyalah Alloh SWT yang maha memiliki.

2. Mengenal Diri.
Al-Farabi, seorang filosuf bangsa Arab kenamaan, mengatakan:”Ketahuilah dirimu, niscaya kamu akan mengenal Tuhanmu!.” Perkataan kita renungkan, perkataan ini memang benar. Sesorang yang mengetahui hakekat dirinya, secara otomatis, ia akan mengetahui bahwa dia tak lebih dari seonggok mahluk yang diciptakan Tuhan dari air yang hina dina. Manusia berasal dari setetes mani yang bercampur. Sesuai dengan firman Alloh dalam Al-Qur’an yang artinya:

“Sesungguhnya kami telah menciptakan manusia dari setetes mani yang bercampur yang kami hendak mengujinya (dengan perintah dan larangan), karena itu kami jadikan dia mendengar dan melihat.” (QS. Al-Insan [76]: 2).

Kemudian manusia lahir ke dunia tanpa daya dan tidak mengetahui apapun. Sesuai dengan firman Alloh dalam Al-Qur’an yang artinya:

“ Dan Alloh mengeluarkan kamu dari perut ibumu dalam keadaan tidak mengetahui sesuatupun, dan dia memberi kamu pendengaran, penglihatan dan hati, agar kamu bersyukur.” (QS. An-Nahl [16]: 78).

Oleh sebab itu, sungguh ironis bila manusia bersikap sombong dan takabur. Seharusnya manusia bersikap tawadhu’, sebab pada hakekatnya ia lemah dan tidak banyak mempunyai pengetahuan. Bahkan, sekedar untuk menyelamatkan makanan dari jilatan seekor lalat pun ia tidak memiliki kemampuan.

3. Mengenal Aib Diri.
Seseorang harus mengetahui aib dan kekurangannya yang ada pada dirinya, sebab kalau tidak, dia dapat terjebak dalam kubangan kesombongan. Banyak orang mengira bahwa dirinya telah melakukan amal kebaikan, padahal sejatinya ia sedang melakukan kerusakan dan kedzoliman. Alloh berfirman dalam Al-Qur’an yang artinya:

“Dan bila dikatakan kepada mereka: “Janganlah kamu membuat kerusakan dimuka bumi, mereka menjawab: “Sesungguhnya kami orang-orang yang mengadakan perbaikan.” (QS. Al-Baqoroh [2]: 11).

Oleh karena itu setiap muslim harus selalu melakukan intropeksi diri sebelum melakukan dan sesudah melakukan perbuatan. Dengan intropeksi diri, ia akan menyadari kekurangan dan aib dirinya sejak dini, sehingga ia akan bersikap tawadhu’ dan tidak sombong kepada orang lain.

4. Merenungkan Nikmat Alloh.
Pada hakikatnya, seluruh nikmat yang dianugerahkan Alloh pada kita sebagai hamba-Nya adalah ujian untuk mengetahui siapa yang bersyukur dan siapa yang kufur. Namun banyak diantara manusia yang tidak menyadari hal tersebut, sehingga membanggakan, bahkan menyombongkan nikmat yang Alloh berikan kepadanya.

5. Harus Ikhlas.
Kalau ada orang yang melakukan sesuatu dan merasa dirinya tidak layak melakukan sesuatu itu, sudah merupakan tanda bahwa orang tersebut tidak tawadhu’. Contohnya pejabat yang merapikan sendal, lalu dalam hatinya ia merasa mulia karena sudah merapikan sendal padahal ia merasa tidak pantas melakukan hal tersebut. Merapikan sendal merupakan hal yang biasa, dan bukan perbuatan nista. Apa salahnya pejabat merapikan sendal? Tidak ada yang salah, jadi jangan merasa hebat dan tawadhu’, karena itu ciri bahwa kita tidak tawadhu’.

6. Ingatlah bahwa Tiada Daya dan Upaya Kecuali dengan Alloh.
Jadi segala yang ada dengan Alloh, bukan dengan daya dan upaya kita. Bukan pula dengan kehebatan kita. Bukan pula dengan kecerdasan kita. Ingatlah, Qorun mendapatkan kecelakaan besar disebabkan ia merasa bahwa apa yang dimilikiny, berupa harta kekayaan yang melimpah, adalah hasil dari kecerdasan dan usahanya. Disebabkan ia merasa demikian maka Alloh menenggelamkan dia di muka bumi ini.

Begitulah cara-cara untuk menjadi orang yang tawadhu’. Dengan melakukan trik-trik diatas diharapkan kita semua bisa menjadi individu-individu yang tawadhu’. Sebab tawadhu’ adalah ciri kemuliaan pribadi muslim. Karenanya, tak berlebihan bila Imam Syafi’I mengatakan bahwa, “Sikap Tawadhu’ adalah akhlak orang-orang mulia. Sedangkan takabur adalah ciri-ciri orang tercela.”

0 komentar: